Allah Memperkenalkan (48) Haq dan Bathil

shubuh

Foto Dok Ilustrasi

Allah Memperkenalkan (48) Haq dan Bathil

Oleh: Lutfi Effendi

Ramadhan telah tiba, kembali kami tampilkan uraian singkat tentang Al Qur’an sebagai tadarus singkat selama bulan Ramadhan. Tadarus ini, meneruskan tulisan sejenis yang diupload Ramadhan tahun lalu. Moga Bermanfaat.

Pada tulisan kali ini,  ditampilkan Qs Al Baqarah ayat 42:

وَلَا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ

wa lā talbisul-ḥaqqa bil-bāṭili wa taktumul-ḥaqqa wa antum ta’lamụn

Dan janganlah kamu campuradukkan kebenaran dengan kebatilan dan (janganlah) kamu sembunyikan kebenaran, sedangkan kamu mengetahuinya. (Qs Al Baqarah 42)

Qs Al Baqarah ayat 42 ini masih merupakan lanjutan dari QS Al Baqarah ayat 40 dan 41. Kalau sebelumnya sudah ada 6 seruan kepada Bani Israil. Kini ditambah dengan dua seruan: Jangan mencampuradukkan yang haq dengan yang bathil dan jangan menyembunyikan kebenaran. Sehingga menjadi 8 seruan. Tetapi ingat meski seruan ini diperuntukkan kepada Bani Israil tetapi seruan ini juga berlaku untuk umat Nabi Muhammad saw.

Seruan pertama dalam ayat ini atau seuan ketujuh kepada Bani Israil adadalah janganlah kamu campuradukkan kebenaran (haq) dengan kebathilan. Kebenaran atau haq dan kebathilan adalah dua hal yang saling berlawanan. Haq berlawanan dengan bathil dan bathil berlawanan dengan haq.

Al-haq dalam bahasa Arab artinya adalah yang tetap dan tidak akan hilang atau tidak menyusut (semakin kecil). Sedangkan Al-bathil secara bahasa artinya ialah fasada wa saqatha hukmuhu (rusak dan gugur/tidak berlaku hukumnya).

Secara istilah, para ulama berpedoman kepada maknanya secara bahasa. Jadi, mereka menyebut al-haq dalam setiap uraian mereka sebagai segala sesuatu yang tetap dan wajib menurut ketentuan syariat. Al-bathil ialah semua yang tidak sah, tidak pula ada akibat hukumnya, sebagaimana halnya pada yang haq, yaitu tetap dan sah menurut syariat.

Sedangkan jika kita lihat terkait dengan petunjuk Allah dalam Al Qur’an ini, maka setiap perintah Allah adalah sesuatu yang haq. Sementara larangan Allah adalah sesuatu yang bathil. Dua hal ini jangan sampai bercampur dalam kehidupan sehari-hari, karena memang hal ini praktiknya terus berlangsung, yaitu perintah ibadah dilakukan tetapi maksiat jalan terus. Seolah-olah ibadah yang dilakukan tidak ada efek sama sekali. Mestinya yang kita utamakan adalah meninggalkan larangan, sembari beribadah semampu kekuatannya yang maksimal.

Larangan pencampuradukan yang haq dan yang bathil ini tidak hanya berlaku dalam hal ibadah, tetapi juga berlaku untuk semua bidang dalam kehidupan. Tidak hanya tujuannya yang haq, proses dan bahannya juga yang haq. Dalam hal makanan misalnya, halal adalah haq dan haram adalah bathil. Jika ingin mendapatkan makanan yang halal maka bahan dan proses memasaknya juga harus yang halal pula. Jika tercampur keduanya, makanan menjadi haram. Demikian juga jika yang haq dan bathil tercampur maka apa yang kita lakukan menjadi bathil pula dan ini mengakibatkan mudharat dan jika ibadah menjadi tertolak/

Seruan kedua dalam ayat ini atau kedelapan untuk Bani Israil adalah jangan kamu sembunyikan kebenaran. Ingat petikan kalimatdarri sebuah hadits::

أَنْ أَقُولَ بِالْحَقِّ وَإِنْ كَانَ مُرًّا

Maknanya adalah ‘Katakan kebenaran, sekalipun kebenaran itu pahit’ Yang versi panjangnya hadits yang diriwayatkan Ahmad itu sebagai berikut:

عَنْ أَبِى ذَرٍّ قَالَ أَمَرَنِى خَلِيلِى -صلى الله عليه وسلم- بِسَبْعٍ أَمَرَنِى بِحُبِّ الْمَسَاكِينِ وَالدُّنُوِّ مِنْهُمْ وَأَمَرَنِى أَنْ أَنْظُرَ إِلَى مَنْ هُوَ دُونِى وَلاَ أَنْظُرَ إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقِى وَأَمَرَنِى أَنْ أَصِلَ الرَّحِمَ وَإِنْ أَدْبَرَتْ وَأَمَرَنِى أَنْ لاَ أَسْأَلَ أَحَداً شَيْئاً وَأَمَرَنِى أَنْ أَقُولَ بِالْحَقِّ وَإِنْ كَانَ مُرًّا وَأَمَرَنِى أَنْ لاَ أَخَافَ فِى اللَّهِ لَوْمَةَ لاَئِمٍ وَأَمَرَنِى أَنْ أُكْثِرَ مِنْ قَوْلِ لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ فَإِنَّهُنَّ مِنْ كَنْزٍ تَحْتَ الْعَرْشِ

Dari Abu Dzaar, ia berkata, “Kekasihku Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan tujuh hal padaku: (1) mencintai orang miskin dan dekat dengan mereka, (2) beliau memerintah agar melihat pada orang di bawahku (dalam hal harta) dan janganlah lihat pada orang yang berada di atasku, (3) beliau memerintahkan padaku untuk menyambung tali silaturahim (hubungan kerabat) walau kerabat tersebut bersikap kasar, (4) beliau memerintahkan padaku agar tidak meminta-minta pada seorang pun, (5) beliau memerintahkan untuk mengatakan yang benar walau itu pahit, (6) beliau memerintahkan padaku agar tidak takut terhadap celaan saat berdakwa di jalan Allah, (7) beliau memerintahkan agar memperbanyak ucapan “laa hawla wa laa quwwata illa billah” (tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah), karena kalimat tersebut termasuk simpanan di bawah ‘Arsy.” (HR. Ahmad 5: 159. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih, namun sanad hadits ini hasan karena adanya Salaam Abul Mundzir

Tetapi larangan untuk tidak menyembunyikan kebenaran meski bersifat umum, namun secara khusus ditujukan kepada Bani Israil terhadap kebenaran kenabian Nabi Muhammad saw. Orang-orang Bani Israil menyembunyikan kebenaran ini, meski sebetulnya isyarat ini sudah ada dalam Kitab Suci mereka/

Lalu apa yang bisa kita ambil dari pelajaran di atas?

Apa yang menjadi seruan dari ayat ini hendaklah kita perhatikan. Pertama untuk tidak mencampuradukkan haq dengan bathil di semua bidang. Termasuk dalam prosesnya untuk melaksanakan yang haq jangan sampai menggunakan cara yang bathil. Kedua, Tidak menyembunyikan kebenaran. Walau kebenaran itu kelihatannya merugikan kita jangan disembunyikan. Niscaya kenyataannya jika kebenaran mengemukan akan menguntungkan semuanya, termasuk kita. Waallahu a’lam bisshawab

Exit mobile version