Tidak Menjadi Ashabul Kahfi di Era Disrupsi

Tidak Menjadi Ashabul Kahfi di Era Disrupsi

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Umat manusia sedang berada di era disrupsi. Ciri era disrupsi antara lain ditandai dengan gejolak dalam berbagai aspek kehidupan, ketidakpastian atau ketidakjelasan, kompleksitas atau punya banyak kemungkinan, ambiguitas atau saling bertentangan. Era baru ini perlu disikapi dengan strategi baru. Hal itu disampaikan Sekretaris Umum PP Muhamadiyah Abdul Mu’ti dalam Pengajian Ramadhan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Daerah Istimewa Yogyakarta (22/4/2021).

Menurut Mu’ti, era digitalisasi menuntut kecepatan. Sekarang perubahan terjadi dalam hitungan detik, bukan lagi tahun. “Jika kita tidak mengikuti perkembangan zaman itu, kita akan menjadi ashabul kahfi. Ashabul kahfi itu orang yang tidur di gua, begitu bangun, dia melihat dunia sudah berubah, mata uangnya sudah tidak laku.”

Di era disrupsi, kata Mu’ti, sumber daya yang diperebutkan adalah data. “Data menjadi power,” ujarnya. Menurut Yuval Noah Harari, algoritma big data dapat menciptakan kediktatoran digital, di mana kekuasaan atas data terkonsentrasi di tangan sekelompok kecil elite. Mereka yang menguasai data akan menguasai dunia.

Di era ini juga, semua orang ingin mengupdate informasi secepat mungkin. “Semua orang ingin be the first to know, ingin share kepada yang lain,” kata Mu’ti. Perubahan yang cepat ini menuntut kita untuk mempersiapkan diri. Tanpa persiapan, tatanan akan runtuh. “Kekacauan era disrupsi terjadi karena ketika nilai-nilai lama sudah roboh, sementara nilai-nilai baru belum terbentuk.”

“Kesiapan yang diperlukan adalah agility atau kelincahan. Dalam era disrupsi itu, kita harus menjadi orang yang lincah. Lincah itu able to move quickly and easily, berubah dengan cepat dan mudah.” Di dunia yang terdisrupsi ini, ungkap Mu’ti, kita dituntut mampu beradaptasi, mampu berpikir dan mengambil keputusan dengan cepat, tepat, dan akurat. Orang tidak mau berlama-lama.

Big data menuntut kita punya semua data yang lengkap. “Di era ini, melihat agama harus dari berbagai macam sudut pandang, harus disebarkan dengan berbagai channel.” Tidak lagi hanya lewat ceramah mengumpulkan banyak orang. Jika Muhammadiyah tidak mampu memenuhi keinginan dan kecenderungan masyarakat sekarang ini, kata Mu’ti, maka masyarakat atau warga Muhammadiyah akan bergeser atau berpindah haluan ke kelompok lain yang bisa memenuhi itu.

Supaya dapat mengikuti perkembangan zaman, diperlukan kekuatan visi dan kekuatan mental. “Muhammadiyah itu besar, punya jaringan yang luas, tetapi belum menjadi yang terbaik.” Tanpa menjadi yang terbaik, maka akan mudah tergeser. Mu’ti mencontohkan bahwa sekolah-sekolah Islam yang berkualitas sekarang dimiliki oleh kelompok tertentu, dan masyarakat berlomba memasukkan anaknya ke sana, meskipun berbiaya mahal.

“Kita perlu terus-menerus melakukan tajdid atas tajdid yang telah dilakukan oleh para pendahulu Muhammadiyah,” ujar Mu’ti. Dulu, katanya, memasukkan pendidikan agama ke sekolah itu tajdid, tapi sekarang biasa saja. Dalam melakukan perubahan, Mu’ti mengingatkan prinsip al-muhafadhatu ala qadim al-shalih, wa al-akhzu bi al-jadid al-ashlah. (ribas)

Exit mobile version