Implementasi Nilai Islam dalam Kesejahteraan Buruh

buruh

Implementasi Nilai Islam dalam Kesejahteraan Buruh

Oleh: Faiz Amanatullah

Permasalahan upah dan buruh di berbagai bagian dunia bagaikan kain kusut yang sulit untuk disetrika, meskipun hajat rutinan setiap tanggal 1 Mei diperingati sebagai Hari Buruh Internasional atau yang dikenal dengan sebutan “May Day” belum memiliki dampak yang begitu berarti. Kiranya “May Day” dewasa ini hanya berisikan agitasi dan edukasi dalam bentuk media. Ranah praksis belum memiliki dampak yang signifikan.

Kiranya perkembangan kapitalisme industry di awal abad 19 menandakan perubahan drastic ekonomi-politik, terutama di negara-negara kapitalis di Eropa Barat dan Amerika Sertikat. Pengetatan disiplin dan pengintensifan jam kerja, minimnya upah dan buruknya kondisi kerja di tingkatan pabrik, hingga muaranya melahirkan perlawanan dari kalangan kelas pekerja (Riyadi, 2015).

May Day berasal dari aksi buruh di Kanada pada 1872 untuk menuntut diberlakukannya delapan jam kerja sehari. Kemudian sejak 1886, 1 Mei ditetapkan sebagai Hari Buruh Sedunia oleh Federation of Organized Trade and Labor Unions.

Pemogokan pertama kelas pekerja Amerika Serikat terjadi di tahun 1806 oleh pekerja Cordwainers. Pemogokan ini membawa para pengorganisirnya ke meja pengadilan dan juga mengangkat fakta bahwa kelas pekerja di era tersebut bekerja dari 19 sampai 20 jam seharinya. Sejak saat itu, perjuangan untuk menuntut direduksinya jam kerja menjadi agenda bersama kelas pekerja di Amerika Serikat (Trachtenberg, 2002).

Upah dan Buruh dalam Perspektif Islam

Hakikat Islam adalah agama universal, komprehensif dan totalitas. Sebagai agama yang ajarannya meliputi segala lini kehidupan, sejatinya Islam tidak phobi terhadap kehidupan politik, terlebih ekonomi yang menyangkut terhadap kesejahteraan umat. Jika kita cermati alur masing-masing pemikiran kapitalisme dan sosialisme dalam hal ekonomi, ternyata memiliki kesamaan dengan ekonomi Islam.

Mekanisme pasar bebas yang dianjurkan dalam kapitalisme, ternyata jauh sebelumnya Rasulullah saw telah menyetujuii market mechanism of price dan mengajurkan kepada ummatnya untuk memanfaatkan mekanisme pasar dalam penyelesaian problematika ekonomi dan mengindari ta’sir (penetapan harga oleh pemerintah) jika tidak diperlukan.

Namun bukan berarti penetapan harga selamanya dilarang, melainkan dianjurkan untuk barang-barang public (public goods) dan kondisi khusus lainnya seperti dijabarkan oleh Ibnu Taimiyyah dalam bukunya, Ahkam al suq (Qardhawi, 2001).

Dalam Islam, besaran upah ditetapkan oleh kesepakatan antara pengusaha dan pekerja. Kedua belah pihak memiliki hak independent untuk menetapkan jumlah upah, serta bebas menetapkan syarat dan cara pembayaran upah tersebut. Dengan catatan saling rela dan tidak merugikan salah satu pihak (Riyadi, 2015).

Tingkat upah minimum dalam Islam harus cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar pekerja yaitu pangan, sandang dan papan. Sadeq (1989) menjelaskan bahwa terdapat dua factor yang harus diperhatikan dalam menentukan upah, yaitu faktor primer dan sekunder. Faktor primer adalah kebutuhan dasar, beban kerja dan kondisi pekerjaan. Faktor sekunder adalah memperlakukan pekerja sebagai saudara (Sadeq, 1989).

Langkah Awal Islam terhadap Upah dan Buruh

Terkait ini, Islam menata dua aspek dengan tatanan regulasi sedemikian rupa sehingga tidak muncul problem perburuhan. Pertama, aspek mikro terkait kontrak kerja antara buruh dan pengusaha. Adanya akad tersebut akan terjawab bukan hanya besaran upah, namun juga masalah kepastian kerja dan besarnya pesangon.

Kedua, aspek makro yang menyangkut hak setiap orang, termasuk buruh untuk memperoleh kesejahteraan. Penyelesaian aspek ini akan menempatkan buruh dan pengusaha dan posisi tawar yang semestinya. Keterbatasan lapangan kerja, rendahnya SDM dan rendahnya kesejahteraan hidup pekerja, serta tidak terpenuhi jaminan hidup dan tujangan sosial akan mendapatkan solusinya sendiri tanpa merugikan salah satu pihak, baik dari buruh maupun pengusaha.

Upah Kerja

Upah harus dilakukan dengan cara-cara musyawarah dan konsultasi terbuka, sehingga dapat terwujudkan di dalam diri setiap individu pelaku ekonomi, rasa kewajiban moral yang tinggi dan dedikasi yang loyal terhadap kepentingan umum.

Dalam Islam, upayah yang telah ditetapkan sebelumnya di dalam akad dapat direvisi oleh manajemen perusahaan, baik pada saat mengalami laba ataupun rugi. Namun, revisi tersebut haruslah terlebih dahulu komunikasi dengan pekerja sebagai pihak terkait. Adapun penetapan upah dapat memperhatikan aspek berikut ini:

  1. Kelayakan Upah

Upah merupakan suatu penerimaan sebagai imbalan dari pemberi kerja kepada penerima kerja untuk sesuatu pekerjaan atau jasa yang telah dan atau akan dilakukan, yang berfungsi sebagai jaminan kelangsungan kehidupan yang layak bagi kemanusiaan dan produksi. Kira-kira definisi menurut penulis seperti itu.

Maka penetapan upah bagi tenaga kerja harus mencerminkan keadilan, dan mempertimbangkan berbagai aspek kehidupan. Sebagaimana di dalam Al-Qur’an juga dianjurkan untuk bersikap adil dengan menjelaskan keadilan itu sendiri. Dalam surat an-Nisa ayat 135 Allah tegaskan:

Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. [QS. An-Nisa: 135].

Upah yang diberikan seharusnya sebanding dengan besaran kegiatan maupun tenaga yang telah dikeluarkan, seharusnya cukup juga bermanfaat bagi pemenuhan kebutuhan hidup yang wajar.

  1. Adil bagi Kedua Belah Pihak

Tidak hanya bagi para pekerja, Islam juga menetapkan konsep upah tertinggi dalam membayar para pekerja. Artinya, pekerja tidak boleh meminta bayaran atas pekerjaannya di luar batas kemampuan perusahaan untuk membayarnya. Dalam Islam, upah yang telah ditetapkan sebelumnya di dalam akad dapat direvisi oleh manajemen perusahaan, baik pada saat mengalami laba ataupun rugi.

Jangan sampai karena mengharapkan bayaran yang tinggi akhrinya menzhalimi perusahaan. Meminta bayaran yang tinggi kepada perusahaan yang tidak mampu membayarnya juga merupakan suatu kezaliman (Didin Hafidhuddin, 2003). Yusuf Qardhawi menyatakan, “tidak boleh juga bagi pekerja untuk menuntut upah di atas haknya dan di atas kemampuan pengguna jasanya (perusahaan) melalui tekanan dengan cara aksi mogok kerja, rekayasa organisasi buruh, atau cara-cara lainnya.

Maka untuk menghindari adanya fenomena seperti ini, perlunya ada transparansi antara perusahaan dan pekerja perihal upah yang akan diberikan selama kontrak kerja berjalan.

  1. Tidak Menunda-nunda Pembayarannya

Pengusaha (musta’jir) berkewajiban membayar upah kepada buruh yang telah selesai melaksanakan pekerjannya. Entah itu secara harian, mingguan, bulanan ataupun lainnya. Islam menganjurkan untuk mempercepat pembayaran upah saat pekerjaan itu sempurna atau diakhir pekerjaan sesuai kesepakatan, jangan ditunda-tunda. Jika diakhirkan tanpa ada udzur, maka termasuk bertindak zalim.

Allah Ta’ala berfirman mengenai anak yang disusukan oleh istri yang telah diceraikan yang artinya, “Kemudian jika mereka menyusukann (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya.” [QS. At-Talaq: 6].

Dalam tradisi Nabi saw, ada perintah memberikan upah sebelum keringat si pekerja kering.” [HR. Ibnu Majah, Shahih]. Maksud hadits tersebut adalah bersegera menunaikan hak si pekerja setelah selesainya pekerjaan, begitu juga bisa dimaksud jika telah ada kesepakatan pemberian gaji setiap bulan.

Al Munawi mengtakan, “Diharamkan menunda pemberian gaji padahal mampu menunaikannya tepat waktu. Yang dimaksud memberikan gaji sebelum keringat si pekerja kering adalah ungkapan yang menunjukkan diperintahkannya memberikan gaji setelah pekerjaan itu selesai ketika si pekerja meminta walau keringatnya tidak kering atau keringatnya telah kering.” [Al-Munawi, Juz 1: 718].

Setiap orang berhak mendapatkan kesejahteraan. Islam menetapkan dua jalan untuk memenuhi semua kebutuhan. Yakni pemenuhan kebutuhan sandang, pangan dan papan dibebankan kepada setiap individu masyarakat. Baik dipenuhi langsung atau melalui ayah, wali dan ahli waris.

Sedangkan kebutuhan biaya pendidikan, layanan kesehatan dan keamanan menjadi tanggung jawab negara untuk menyediakannya bagi setiap warga negara. Negara tidak membebani rakyat untuk menanggung sendiri biaya pendidikan, kesehatan, dan keamanannya, apalagi dengan biaya yang melambung tinggi.

Faiz Amanatullah, Mahasiswa PAI UMY

Exit mobile version