JAKARTA, Suara Muhammadiyah – Sejak didirikannya Persyarikatan Muhammadiyah sudah menegaskan dirinya sebagai gerakan dakwah dan tajdid. Namun, Muhammadiyah sebagai harakatul tajdid (gerakan pembaruan) yang melekat menjadi identitasnya tidak terlepas dari berbagai dinamika.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Dr Haedar Nashir, MSi menyebut dalam perjalanannya tajdid Muhammadiyah mengalami penyempitan makna yang menonjol lebih pada purifikasi (pemurnian). Padahal jika dilihat sejarah yang lebih komprehensif, Muhammadiyah juga memiliki watak tajdid yang kuat dalam praksis Islam berkemajuan seperti gemar beramal hingga cinta membangun Amal Usaha yang maju.
“Mari kita coba lengkapi lagi pemahaman tentang tajdid Muhammadiyah baik dalam konteks sejarah (historis) maupun dasar-dasar teologisnya,” tutur Haedar Nashir dalam Pengajian PWM DKI bertajuk “Tajdid dan Dinamisasi Organisasi dalam Pencerahan Dakwah Semesta”, Sabtu, 1 Mei 2021. Muhammadiyah hidup di era perubahan zaman yang terus terjadi dinamika, begitu juga tadjid harus terus menerus diperbarui.
Tajdid memiliki 4 (empat) makna, pertama mengembalikan sesuatu pada tempatnya, ini yang sering dimaknai sebagai purifikasi di mana dalam praktek agama umat Islam sudah terpengaruh ajaran yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kedua, menghidupkan sesuatu yang mati, misalkan menghidupkan spirit ijtihad. Ketiga, kebangkitan yang bermakna tidak cukup untuk hidup namun Islam perlu untuk bangkit menjadi harakah (gerakan). Keempat, islah yaitu memperbarui atau membangun.
Haedar Nashir mengajak agar saat ini ketiga dimensi terakhir tersebut perlu dihidupkan kembali. Inilah yang disebut bahwa Muhammadiyah harus mengalami proses yang dinamakan re-tajdid yaitu mentajdidkan kembali Muhammadiyah.
Pada Muktamar di Yogyakarta tahun 1968 Muhammadiyah mengusung tema re-tajdid di bidang ideologi, dakwah, strategi perjuangan, Amal Usaha, dan organisasi. Hal ini dilakukan Muhammadiyah karena setelah mengalami dua perjalanan dinamika berbangsa serta benturan yaitu modernitas dan kancah politik. Maka, lahirlah Kepribadian Muhammadiyah yang perlu terus dipelajari dan menjadi patokan dalam beroganisasi. Kemudian, lahirlah khittah Muhammadiyah tahun 1971, 1978, hingga khittah 2002.
Menurut Haedar Nashir, sebenarnya secara organisasi pemikiran-pemikiran organisasi Muhammadiyah sudah melampaui zamannya. Seperti ketika masuk zaman era reformasi, lahir Pedoman Hidup Warga Muhammadiyah (PHIWM) yang merupakan acuan nilai, norma, dan etika warga dalam berislam. Setelah itu lahirlah pedoman Dakwah Kultural, Kristalisasi Ideologi, Revitalisasi Visi Karakter Bangsa, hingga Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Abad Kedua. “Ini pikiran tajdid karena di situ lahirlah konsep Islam Berkemajuan sebagai keputusan Muhammadiyah yang memiliki perspektif luas,” imbuhnya.
Dari situ lahir lagi pemikiran Indonesia Berkemajuan serta terbaru yaitu konsep Negara Pancasila Darul Ahdi wa Syahadah yang hanya dimiliki oleh Muhammadiyah. “Kita memposisikan Indonesia sebagai final dari hasil ijtihad konsensus seluruh kekuatan bangsa termasuk umat Islam, maka kita sebut denga negara Pancasila supaya ada value (nilai) dasar. Tapi tidak cukup hanya dalam klaim itu, kita harus isi dan bangun Pancasila dan negara ini agar sesuai dengan cita-cita kemerdekaan yaitu negara yang merdeka, berdaulan, adil, dan makmur atau dalam konsep Islam sama dengan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur,” ungkap Prof Haedar.
Begitu juga tajdid internasionalisasi gerakan Muhammadiyah yang saat ini terus bersemai melalui Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah di 27 negara. Bahkan beberapa PCIM sudah memiliki Amal Usaha. Selain itu perlu juga internasionalisasi pemikiran persyarikatan sebagai sarana dakwah dalam mencerahkan semesta. (Riz)