Setan Diskon, dan Setan-setan Lain yang Belum Tersebutkan
Oleh: Aditya Pratama
Macam-macam Setan dalam Bulan Ramadhan
Ada satu hal menarik yang saya dengar dalam suatu khutbah Jumat di tengah Ramadhan kali ini. Ketika orang jamaknya bersuka cita lantaran pada Ramadhan setan-setan dibelenggu dan pintu-pintu surga dibuka selebar-lebarnya—sebagaimana disebutkan dalam Hadis Bukhari dan Muslim— khatib shalat Jumat malah memperingatkan jamaahnya agar lebih waspada.
Apa sebab? Ternyata, katanya, yang harusnya membelenggu setan di bulan Ramadhan itu bukanlah Allah, melainkan manusia. Artinya, Hadis itu sesungguhnya justru berisi peringatan sekaligus perintah dari Allah kepada manusia untuk lebih waspada dan sigap dalam membelenggu setan, bukannya merasa aman lantaran setan sudah dibelenggu oleh Empunya Semesta.
Lanjutnya, manusia seharusnya lebihlah waspada di bulan Ramadhan ini, sebab setan-setan yang beredar kala itu bukanlah setan yang hanya lulusan sekolah menengah, melainkan juga profesor-profesor setan. Artinya, mereka sama sekali bukanlah setan kaleng-kaleng. Setelah sekejap memutar otak, saya pikir betul juga pernyataan pak khatib ini.
Mengapa betul? Tentu saja jika setan sudah dibelenggu semuanya oleh Allah, umat Islam akan menjalani puasa dengan begitu mudahnya. Tak ada tantangan yang berarti, sehingga semua Muslim—baik yang maqam keislamannya sudah wali, kaffah, baru hijrah, newbie (baca: mualaf), atau malah masih Islam KTP—akan dapat berpuasa dan melaksanakan sejibun ibadah Ramadan lainnya dengan lancar, mantap jaya, sebulan penuh tanpa putus.
Sementara itu, kenyataannya, banyak sekali setan-setan lainnya. Berdasarkan pengalaman pribadi, dan barangkali pengalaman ini juga dirasakan orang lain, bolehlah di sini saya sebutkan setan es teh, setan es kelapa muda, dan setan es-es lainnya, yang biasanya sekonyong-konyong muncul di siang hari, saat tenggorokan kering kerontang.
Ada juga setan warung tegal, kedai burjo, atau kedai-kedai makan lainnya—lebih-lebih yang kedainya ber“hijab”, sehingga pengunjung bebas beraksi di dalamnya tanpa terlihat dari luar—yang minta dijamah ketika perut manusia keroncongan di bulan Ramadhan.
Banyak juga orang yang terbuai dibelai oleh setan kasur, yang biasanya mengajak manusia untuk membuta, sampai tak segan-segan menyahihkan Hadis “Tidurnya orang puasa adalah ibadah”. Tak kalah serunya, ada juga setan ngabuburit, yang senang mengajak manusia ndobos (berbual) dan membuang waktu (yang hanya datang sekali seumur hidup itu) saat berbuka puasa hingga akhinya melupakan shalat magrib, bahkan isya dan taraweh, lantaran lebih mendewakan buka puasanya.
Soal zakat, masih ada saja setan yang ikut meramaikan. Serahkan zakat sambil difoto atau divideo, lalu disebarkan ke orang lain media sosial untuk menyenangkan hati setan promosi, sehingga tampaklah keikhlasan dan kemurahatian diri, selain juga menegaskan bahwa diri sudah benar-benar fitri.
Setan Diskon
Menjelang penghabisan Ramadhan, biasanya muncul setan yang tak kalah mengerikannya. Namanya setan diskon. Goyangan setan yang satu ini memanglah dahsyat sangat, sampai-sampai pola hidup sederhana yang diajarkan oleh Ramadhan kepada manusia dalam satu bulan belakangan bisa sontak ambyar dibuatnya.
Waktu kesetanan, banyak orang beramai-ramai menjalankan “ibadah” belanja, berburu barang di rumah ibadah yang dinamakan pusat perbelanjaan. Tak jarang yang nongkrong dan mabuk diskon sejak sebelum magrib hingga malam, selama beberapa hari di akhir Ramadhan.
Slogan “Diskon 75%”, “Diskon 50%”, “Beli satu dapat dua”, “Beli satu dapat satu”, “Gratis ongkir”, biasanya menghiasi pusat perbelanjaan, baik di dunia nyata maupun maya, di penghujung Ramadhan. Sekilas, slogan-slogan itu memang tampak seperti blessing in disguise, bagai wujud kemurahan hati para monster kapitalis/industrialis kepada kawula jelata yang mendambakan barang-barang baru.
Tentu saja, kondisi seperti itu memang sengaja diciptakan, apalagi dengan adanya tunjangan hari raya yang biasanya dimaksudkan untuk mendongkrak daya beli masyarakat. Pemandangan seperti itu sudah berulang kali diulas oleh banyak tulisan yang bertema meningkatnya konsumerisme selama Ramadhan.
Pun demikian, meski belanja itu adalah kegiatan yang sah, sepatutnyalah kita sadari bahwasannya belanja seharusnya dilandaskan pada kebutuhan, bukannya hasrat atau keinginan. Sebab, jika kita mengikuti keinginan dalam berbelanja dan terjun ke utopia yang ditawarkan oleh berbagai pusat perbelanjaan, maka sesungguhnya kita tengah berkubang dalam nafsu berbelanja.
Perlulah kita sadari pula bahwa dengan mengedepankan nafsu dalam berbelanja dan semakin banyak kita belanja bisa jadi kita terperosok di dalam perilaku berlebih-lebihan yang dibenci Allah itu. Selain itu, “ghirah” berbelanja yang berlebihan juga memperbesar kemungkinan eksploitasi atas tenaga kerja manusia, hewan, dan alam, serta menghasilkan lebih banyak polusi dan kerusakan lantaran para kapitalis/industrialis harus menggenjot produksinya untuk memenuhi permintaan pasar.
Dengan semakin banyak barang yang kita beli, tentu saja sampah yang kita hasilkan semakin banyak, hal yang pada gilirannya akan mendatangkan kemudaratan bagi alam dan manusia pula. Apalagi jika sampahnya berupa plastik yang berserakan di laut atau darat, dan mengganggu ekosistem di sana.
Tambahan pula, satu hal yang tak kalah bahayanya di kala pandemi ini adalah setan diskon mampu menyedot kerumunan untuk menyerbu suatu tempat perbelanjaan dalam waktu yang cukup lama—pemandangan yang sering ditemukan di pelbagai media massa belakangan ini—sehingga membuka lebar peluang penyebaran Covid-19.
Akhirnya, perlullah kita ingat bahwasannya, meski pasar dan pusat perbelanjaan adalah tempat sebagian orang mencari rezeki dan mendapatkan barang yang bermanfaat, pasar dan pusat perbelanjaan juga tempat yang paling dibenci Allah (HR Muslim, Kitab Al-Salat No. 1416), barangkali salah satunya karena ada setan diskonnya. Wallahu a’lam.