Kisah Dalam Al-Qur’an, Ramayana dan Kesehatan Spiritual (1)
Oleh: Wildan, Nurcholid Umam Kurniawan dan Bambang Wisanggeni
“Barangsiapa mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan, dalam keadaan beriman, maka sungguh akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sungguh akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik daripada apa yang telah mereka kerjakan” QS An-Nahl [16] : 97).
Betapa pentingnya fungsi kisah, Allah telah menurunkan satu surah (surah ke 28 dalam Al-Qur’an) yang dinamakan dengan surah Al-Qashash; kisah-kisah. Menurut Ibn ‘Asyur (dalam Shihab, 2012), surah ini menekankan keistimewaan Al-Qur’an serta kelemahan sastrawan kaum musyrikin membuat walau satu surah semacamnya. Selanjutnya dia berpendapat, bahwa surah ini turun sebagai pemenuhan harapan kaum Muslimin untuk mengetahui lebih banyak tentang Nabi Musa ‘alaihissalam. Allah subhanahu wa ta’ala menguraikannya agar mereka menarik pelajaran dari pengalaman Nabi Musa ‘alaihissalam dan kaumnya. Karena itu, uraian surah ini lebih banyak ditujukan kepada kaum Muslimin.
Menurut Dr. Hamid Ahmad Ath-Thahir (2017), penulis buku Kisah-Kisah Dalam Al-Qur’an , dengan menyimak kisah orang-orang terdahulu yang dituturkan di dalam Al-Qur’an dapat membuat seorang Muslim memiliki ikatan kuat dengan para pendahulu dari kalangan orang-orang Mukmin yang berserah diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala. dan bekerja untuk-Nya. Masa kini tidak lain adalah anak sah dari masa lalu, dan Islam tidak lain adalah fase terakhir pemakmuran bumi, serta risalah petunjuk umat manusia mencapai titik kesempurnaan di dalamnya. Oleh karena itu, kisah-kisah orang terdahulu patut direnungkan dan menjadi bahan pelajaran.
Ketika menuturkan kisah-kisah terdahulu, Al-Qur’an sejatinya memaparkan sebuah kehidupan baik yang didahului orang-orang saleh yang memenuhi kehidupan dengan iman dan ikhlas. Dengan demikian, kehidupan kita harus terhubung dengan kehidupan mereka dan bahkan kita harus meneladani serta mengikuti jejak mereka.
Kata-kata terakhir yang disampaikan Al-Qur’an dalam kisah-kisah umat terdahulu bahwa bumi ini milik Allah subhanahu wa ta’ala. yang akan Dia wariskan kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya, kesudahan baik itu milik orang-orang yang bertakwa, kerajaan berada di Tangan Allah, seseorang tidak akan memikul beban dosa orang lain, serta manusia itu dianggap ada karena imannya dan dianggap tiada karena kekafirannya.
Fungsi dan Faedah dari Kisah dalam Al-Qur’an
Menurut At-Thahir (2017), adapun fungsi dan faedah dari kisah dalam Al-Qur’an :
- Sebagai pelajaran dan nasihat, sebagaimana firman Allah : “Sungguh pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang yang mempunyai akal. (Al-Qur’an) itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya, menjelaskan segala sesuatu, dan (sebagai) petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman” (QS Yusuf [12] : 111).
- Meneguhkan hati Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan orang-orang Mukmin yang bersama beliau. Hal ini seperti firman Allah : “Dan semua kisah rasul-rasul, kami ceritakan kepadamu (Muhammad), agar kisah itu Kami teguhkan hatimu; dan di dalamnnya telah diberikan kepadamu (segala) kebenaran, nasehat dan peringatan bagi orang yang beriman” (QS Hud [11] : 120).
- Mengisahkan perjalanan hidup orang-orang saleh dari kalangan para nabi dan rasul agar mereka menjadi teladan bagi orang Mukmin dalam menjalani kehidupan. Allah telah berfirman : “Mereka itulah (para nabi) yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka” (QS Al-An’am [6] : 90).
- Peringatan bagi orang-orang kafir dan durhaka, bahkan juga bagi orng-orang Mukmin, agar jangan sampai melakukan kemaksiatan, karena balasan diberikan sesuai perbuatan yang dilakukannya.
- Sebagai hiburan dan pelipur lara bagi hati orang-orang Mukmin. Seperti dalam firman Allah : “Kami menceritakan kepadamu (Muhammad) kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al-Qur’an ini kepadamu, dan sesungguhnya engkau sebelum itu termasuk orang yang tidak mengetahui“ (QS Yusuf [12] : 3).
- Sebagai perumpamaan bagi orang-orang beriman dan orang-orang kafir. Sebagaimana firman Allah : “Dan berikanlah (Muhammad) kepada mereka sebuah perumpamaan” (QS Al-Kahfi [18] : 32), dalam sejumlah kisah, sehingga kisah yang disampaikan menjadi seperti nyata, meski hanya berupa perumpamaan untuk mengingatkan akibat buruk atau jangan mengalami nasib yang sama.
- Pelajaran yang selalu dipetik dari kisah-kisah Al-Qu’an adalah bahwa kemenangan dan kesudahan baik berpihak kepada para wali Allah, dan kebinasaan menimpa orang-orang kafir, meski waktu mereka lama dan jumlah mereka banyak.
- Orang-orang Mukmin di setiap zaman terhubung dengan saudara-saudara mereka dari kalangan orang-orang Mukmin terdahulu melalui tangan para Rasul
- Membedakan antara yang hak dan yang batil, mengalahkan Ahli Kitab dengan hujah (alasan) dan penjelasan, khususnya terkait persoalan melebihkan kaum Yahudi di atas seluruh umat manusia, kisah dosa palsu, dan kabar gembira Al-Masih.
- Menjelaskan metode-metode yang harus ditempuh para da’i. Da’i adalah ulama dan ulama adalah da’i. Siapa yang memisahkan di antara keduanya, dia seperti orang yang bermaksud memisahkan antara unsur-unsur air untuk dijadikan udara.
- Menjelaskan asas-asas syariat terdahulu.
- Memperlihatkan kebenaran Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam yang menuturkan kisah-kisah para pendahulu tanpa mengubah atau pun mengganti sedikit pun keterangan yang tertera dalam kitab-kitab sebelumnya. Allah berfirman : “Itulah sebagian berita gaib yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad)” (QS Yusuf [12] : 102).
Kisah Ashabus Sabt
Kisah ini menceritakan tentang orang-orang yang melakukan pelanggaran pada hari Sabat. Allah berfirman: “Dan tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeri yang terletak dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabat, (yaitu) ketika datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan air, padahal pada hari-hari yang bukan Sabat ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami menguji mereka disebabkan mereka berlaku fasik. Dan (ingatlah) ketika suatu umat di antara mereka berkata, ‘Mengapa kamu menasehati kelompok yang akan dibinasakan atau diazab Allah dengan azab yang sangat keras?. Mereka menjawab, ‘Agar kami mempunyai alasan (lepas tanggung jawab) kepada Tuhanmu, dan agar mereka bertakwa’. Maka setelah mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang orang berbuat jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik. Maka setelah mereka berrsikap sombong terhadap segala apa yang dilarang. Kami katakan kepada mereka, ‘Jadilah kamu kera yang hina’” (QS Al-A’raf [7] : 163- 166).
Menurut Shihab (2012), di antara nikmat-nikmat Allah yang dianugerahkan kepada Bani Israil antara lain adalah nikmat melimpahnya ikan buat mereka. Dan tanyakanlah, wahai Nabi Muhammad Saw., kepada mereka, yakni Bani Israil untuk mengecam sekaligus mengingatkan mereka tentang negeri yang terletak di dekat laut, yaitu Teluk Aqabah, yakni kota Aylah sekarang, ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, di waktu datang kepada mereka ikan-ikan mereka yang bagaikan terapung-apung di permukaan air, dan di hari-hari yang bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka, yakni menjauh sehingga tidak dapat mereka jala atau kail. Kami lakukan hal tersebut dengan tujuan menguji kepatuhan mereka. Demikianlah Kami mencoba mereka disebabkan karena mereka selama ini terus-menerus berlaku fasik (Fasiqin = perbuatan orang-orang fasik keluar atau menyimpang dari ketentuan hukum Allah, padahal mereka sebenarnya mengetahui dan meyakini kebenaran hukum Allah yang dilanggarnya. Sifat-sifat orang fasik, yaitu mereka berpaling dan menyembunyikan kebenaran; mereka melanggar perjanjian Allah setelah perjanjian itu dipegang teguh; mereka tidak mau mengamalkan kebenaran yang diyakini, yang asalnya dari Allah; mereka suka memutuskan perkara dengan tidak berdasarkan hukum Allah; mereka menukar dan menjual hukum-hukum itu atau ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit; perbuatan mereka suka dipuji).
Hari Sabtu adalah hari yang ditetapkan Allah bagi orang-orang Yahudi – sesuai usul mereka – sebagai hari ibadah yang bebas dari kegiatan duniawi. Mereka dilarang mengail atau menjala pada hari itu. Tetapi, sebagian dari mereka melanggar dengan cara yang licik. Mereka tidak mengail atau menjala, tetapi membendung ikan dengan menggali kolam sehingga air bersama ikan masuk ke dalam kolam itu.
Perintah kepada Nabi Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wasallam untuk bertanya itu agaknya disebabkan peristiwa tersebut dan hukumannya sangat memalukan mereka sehingga mereka menyembunyikannya. Untuk itu, dalam konteks kecaman, hal tersebut ditanyakan guna menunjukkan bahwa peristiwa tersebut tidak perlu mereka sembunyikan karena telah ketahuan.
Firman-Nya : hitanuhum atau ikan-ikan mereka dengan menisbahkan bahwa ikan itu sebenarnya “milik mereka” untuk mengisyaratkan bahwa seandainya mereka bersabar, dan mengail atau menjala pada selain Sabtu, ikan itu akan tetap mereka miliki. Kelobaan menjadikan mereka tergesa-gesa untuk meraih apa yang sebenarnya telah ditetapkan Allah menjadi milik mereka.
Ayat ke 164, menggambarkan tiga kelompok. Pertama, kelompok pendurhaka yang diberi nasehat. Kedua, kelompok yang pernah memberi nasehat dan telah berputus asa melanjutkan nasehatnya karena merasa bahwa nasehat itu tidak berguna lagi. Dan yang ketiga, adalah mereka yang masih melanjutkan nasehat untuk dua tujuan, pertama melaksanakan kewajiban nasehat-menasehati, terlepas apakah mereka terima atau tidak; dan kedua, siapa tahu nasehat itu menyentuh kesadaran mereka sehingga mereka menjadi sadar. Kelompok ketiga adalah yang terpuji. Mereka mendapat ganjaran karena mereka telah menyampaikannya dan keterbebasan dari tanggung jawab sosial menyangkut amar ma’ruf dan nahi mungkar.
Ayat ke 165, tujuan perbincangan serta nasehat berkelanjutan yang terbaca pada ayat yang lalu adalah mengantar para pendurhaka itu sadar dan bertakwa, tetapi mereka tetap lengah dan lupa. Maka, tatkala mereka melupakan, yakni mengabaikan, apa yang diperingatkan kepada mereka oleh siapa pun antara lain peringatan bahwa Allah boleh jadi menunda hukuman tapi sama sekali tidak akan mengabaikan, Kami selamatkan orang-orang yang terus-menerus melarang keburukan dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim, antara lain kepada mereka yang mengail pada hari Sabtu, siksaan yang keras disebabkan mereka selalu berbuat fasik.
Ayat ke 166, menguraikan tentang kebinasaan mereka yakni Maka, tatkala mereka bersikap amat sangat sombong walau siksa Kami telah menimpa mereka, yakni kesombongan dan ketidakpedulian terhadap apa yang mereka dilarang mengerjakannya, masih juga mereka lakukan bahkan semakin menjadi-jadi. Kami katakan kepada mereka : Jadilah kamu kera yang hina terkutuk.
Peintah pada penutup ayat ini bukanlah kepada Bani Israil untuk mereka laksanakan, tetapi taskhir, yakni perintah yang menghasilkan terjadinya sesuatu, sebagaimana firman-Nya : “Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya, Jadilah ! maka terjadilah dia” (QS Yasin [36] : 65).
Tidak jelas, apakah bentuk rupa mereka yang diubah menjadi kera atau pikiran dan perasan mereka saja. Namun yang jelas, kisah ini dikenal di kalangan mereka – khususnya para pemuka agama Yahudi – sebagaimanma diisyaratkan oleh QS Al-Baqarah [2] : 65 yang menguraikan juga peristiwa ini dengan menyatakan “sesungguhnya kalian telah mengetahui” . Dalam ayat lain, dijelaskan bahwa ada di antara mereka yang dijadikan kera dan babi (QS Al-Ma’idah [5] : 60).
Menurut Ath-Thahir (2017), tidak ada seorang nabi pun yang mengawali dakwahnya dengan seruan untuk kembali pada akhlak mulia atau semacamnya. Hal pertama yang mereka lakukan adalah tauhid, sebagaimana firman-Nya : “Dan sungguh, Kami mengutus seorang rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan), ‘Sembahlah Allah, dan jauhilah thagut’ ” (QS An-Nahl [16] : 36). Dan firman-Nya, “ Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Muhammad), melainkan Kami wahyukan kepadanya, bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Aku, maka sembahlah Aku” (QS Al-Anbiya [21] : 25).
Akidah membuat ruhani kian luhur dan mengaitkan manusia dengan Penciptanya, agar si pemilik akidah menjauhi segala hal-hal yang tidak bernilai, menuju fitrah lurus dan bukannya malah terperosok ke dalam jebakan-jebakan setan yang membinasakan. Di sinilah akidah tampil untuk memberikan keseimbangan antara keinginan-keinginan spiritual dan materi, seperti mencurangi timbangan, merampok, dan perilaku semena-mena terhadap sesama.
Sebagian ruhani manusia menghiasi kemungkaran melalui tipu daya, sehingga menganggap khamar sebagai minuman ruhani, menyebut riba sebagai bunga dan laba, menganggap telanjang sebagai seni, menilai suap sebagai hadiah dan penghormatan, menganggap zina sebagai kebebasan individu, menganggap tindakan mesum sebagai drama seksual, menyebut rumah-rumah bordil sebagai rumah-rumah bunga, menganggap dendam sebagai puncak segala pekerjaan, menganggap tipuan sebagai kecerdasan, dan memperolok-olok ayat-ayat Allah dianggap sebagai wawasan dan pemikiran !
Manusia memang diciptakan dalam kondisi lemah, dan dia (Adam – Hawa) melakukan kesalahan ketika memakan pohon larangan, sehingga dia durhaka. Namun kala itu dia tidak terus-menerus melakukan kemaksiatan. Dia segera bertobat sehingga Allah menerima tobatnya. Allah memberinya kalimat-kalimat yang dengannya tobat terwujud. Dengan demikian, dia mampu melewati ujian kemaksiatan seraya meninggalkan warisan (cara dan doa) tobat (bukan dosa) untuk keturunannya sepeninggalnya.
Islam dan Budaya Lokal
Menurut Bagir (2017), ada bebarapa cara yang dapat dipakai dalam memandang hubungan agama dan budaya, hubungan keberagamaan dan kebudayaan. Pertama, melihat agama sebagai menghargai budaya sebagai sumber kearifan. Dalam Islam, kebangsaan dan etnisitas – yang menjadi lokus budaya – dilihat secara positif sebagai sumber kearifan (wisdom) , “Hai manusia, sesungguhnya Kami ciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan suku-suku agar kamu dapat saling belajar kearifan (li ta’arafu). Sesungguhnya orang yang paling mulia di antaramu adalah yang paling sadar –Tuhan (bertakwa)” (QS Al-Hujurat [49] : 13).
Kedua, melihat budaya sebagai warisan hikmah ketuhanan yang diturunkan lewat nabi-nabi yang pernah diutus Tuhan sepanjang sejarah umat manusia “Bagi tiap-tiap umat seorang Rasul” (QS Yunus [10] : 47). Sementara sebuah sabda Nabi bahwa jumlah seluruh nabi yang pernah diutus Tuhan adalah tak kurang dari 124.000 orang. Dari sinilah sebagian ahli menyatakan bahwa sesungguhnya peninggalan budaya – selama bisa dibuktikan tak bertentangan dengan aturan agama yang pasti keberadaan (qathi’i al-wurud) dan pemahamannya (qath’i al-dilalah) – sedikit atau banyak adalah peninggalan nabi. Dengan demikian, bukan saja ia boleh dianut, budaya memiliki tempat yang absah (legitimate), kalau tak malah memiliki tingkat kesakralan tertentu.
Dalam ‘Irfan (tasawuf teoritis), Tuhan dipercayai sebagai Wujud Transenden, yang pada saat yang sama, ber-tajali (bermanifestasi, mengejawantah) dalam ciptaan-ciptaannya. Dengan kata lain, setiap mahluk membawa dalam dirinya nama sifat, ayat (tanda) Allah Swt. Sehingga, dalam konteks ini, Tuhan memiliki 2 sifat-paradoksal sekaligus, sifat transenden (tanzih) dan sifat imanen (tasybih) terhadap ciptaannya. Dalam kaitan ini, setiap ciptaan, sesuai dengan sifat-sifat bawaannya (kesiapan, predisposisi, isti’dad-nya) merupakan wadah (mazh-har atau lokus) pengejawantahan Tuhan.
Selanjutnya, Tuhan bermanifestasi bukan hanya pada ciptaan fisik, yakni fisik alam dan manusia, melainkan juga pada ciptaan-ciptaan non-fisiknya, termasuk hukum-hukum alam, hukum-hukum kemanusiaan (psikologi, sosiologi, sejarah, politik, dan sebagainya), termasuk budaya. Beragam budaya yang ada, dengan segala keunikannya, adalah lokus-lokus unik dari manifestasi-Nya. Dengan kata lain, budaya adalah juga tanda-tanda (ayat) Tuhan, tanda-tanda yang membawa kebenaran ketuhanan. Maka, sebagaimana mempelajari diri manusia dan alam semesta dapat memberi kita pengetahuan dan kedekatan dengan Tuhan, maka belajar dan menghayati budaya merupakan sumber pengetahuan dan penghayatan terhadap agama itu sendiri.
Sebagai konsekuensinya, orang Indonesia, Muslim bukan hanya dapat memeluk, melainkan wajib memelihara budaya Indonesia. Pertanyaannya, seperti apa budaya Indonesia itu? Sutan Takdir Alisyahbana pernah mengupas budaya Nusantara, yang dia sebut memiliki tiga lapisan. Pertama, lapisan budaya asli Indonesia yang lebih kurang masih mistis. Kedua, lapisan budaya Hindu (India) yang telah diwarnai oleh budaya literasi. Ketiga, lapisan budaya Islam, yang menurut Alisyahbana, telah membawa bersamanya rasionalisme keagamaan dan ilmu pengetahuan.
Budaya lokal bisa merupakan bagian dari tajalli Tuhan, atau warisan keagamaan nabi-nabi terdahulu. Pada saat yang sama, bukan tak mungkin ia adalah penyimpangan dari ajaran keagamaan. Maka, di sini sikap kritis-dialogis perlu dikembangkan agar keakraban agama dengan budaya lokal, sebaliknya dari mendistorsi ajaran Islam, bisa justru memperkuat akarnya dalam masyarakat. Rasionalisme mendorong ilmu pengetahuan, teknologi, dan ketertiban sosial-politik, sementara spiritualisme menyodorkan gagasan-gagasan mendasar di bidang ontologi (ilmu yang mempelajari realitas atau kenyataan kongkret secara kritis, non-reduksionistik), epistemologi (ilmu yang membahas tentang teori) dan aksiologi (kajian tentang nilai ilmu pengetahuan) .
Peran penting Wali Songo, dengan pola kerja mereka banyak mengadopsi corak seni budaya lokal di mana mereka berdakwah. Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, dan Sunan Kudus menjadi contoh termudah bagi kita untuk menelaah masa perjumpaan budaya yang hangat ini, Gresik, Demak, Mataram, Giri Kedaton, Cirebon dan Banten, membuktikan betapa Islam yang ramah budaya bisa menciptakan “Andalusia” yang lain nun jauh di Timur dunia.
Wildan, Dokter Jiwa RS PKU Muhammadiyah Bantul
Nurcholid Umam Kurniawan, Dokter Anak, Direktur Pelayanan Medik RS PKU Muhammadiyah Bantul dan Dosen FK-UAD
Bambang Wisanggeni, Dalang Wayang Kulit tinggal di Palbapang, Bantul