Menafsir Kembali Kalam Ilahi
Di alam kandungan, manusia telah membuat perjanjian primordial dengan Allah (Qs 7: 172). Tugas para Nabi adalah membangunkan kembali kesadaran manusia tentang perjanjian itu, sehingga hidupnya tetap di jalur fitrah. Allah membekali manusia dengan kodrat dan potensi. Selalu ada dua jalan, menuju kebaikan dan sebaliknya. Takwa merupakan titik keseimbangan yang menghimpun elemen positif supaya manusia tidak melanggar batas yang ditetapkan. Al-Qur’an berfungsi sebagai pengingat ketakwaan, hudan lil muttaqin.
Al-Qur’an, kata Fazlur Rahman, seharusnya menjadi katalisator untuk membangun pandangan dunia yang menyeluruh. Semangat utama Al-Qur’an adalah semangat moral. Perhatian utama Al-Qur’an adalah manusia dan perbaikan akhlaknya. Nabi Muhammad dengan statusnya sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, berjuang menyampaikan risalah guna mengubah peradaban jahiliah menjadi cerah.
Di Madinah, Nabi berhasil membangun sebuah peradaban baru berdasarkan nilai Qur’ani. Namun tak bertahan lama sepeninggalnya, perpecahan terjadi. Idealisme Qur’an pun ikut tertutupi oleh nafsu pragmatis dan ragam kepentingan. Sampai hari ini, umat Islam kehilangan bukti bahwa Al-Qur’an adalah penuntun takwa yang hakiki. Masih banyak yang membaca dan menghafal Al-Qur’an, tetapi tidak membawa dampak nyata bagi terwujudnya kehidupan yang baik. Karya tafsir terus bermunculan, tetapi nilai utama kitab suci belum menjadi sumber energi perubahan.
Dalam banyak kasus, umat Islam semakin jumud, taklid buta, dan hanya melakukan pengulangan tafsir. Adagium Al-Qur’an shalih likulli zaman wa makan, tidak tampak wujudnya. Mengapa? Fazlur Rahman dalam Islam and Modernity (1982), menyatakan bahwa Al-Qur’an yang diyakini sebagai firman Allah, telah disalahtafsirkan sejak masa keemasan Islam. Al-Qur’an hanya ditafsirkan penggalan ayat per ayat, yang terpisah dari konteks sosial dan historisnya, serta mengabaikan visi etis dan moral Al-Qur’an yang utuh dan terpadu.
Penafsiran secara parsial telah menjauhkan kita dari pemahaman tentang misi utama dan nilai dasar yang menjadi inti Al-Qur’an, semisal: tauhid, takwa, kasih sayang, kebaikan, kebenaran, keadilan, persaudaraan. Pada akhirnya, wajah Islam yang kita anut menjadi kaku dan beku oleh sebab kemalasan dan keterkungkungan kita dalam menggali samudera makna Al-Qur’an. Perlu dicamkan bahwa Al-Qur’an merupakan firman Allah yang sakral, namun tafsir terhadap Al-Qur’an merupakan buah pemahaman manusia yang sifatnya relatif.
Setelah lama terpuruk di lumbung sejarah, pada akhir abad ke-19, para pembaharu mulai menggaungkan kembali jargon al-ruju ila al-qur’an wa al-sunnah, dengan jalan membuka lebar pintu ijtihad. Mereka resah dengan kemunduran umat yang disebabkan oleh karena meninggalkan ajaran Islam yang otentik, sehingga keagungan Islam tertutupi oleh perilaku pemeluknya. Al-Afghani dan Muhammad Abduh termasuk dalam barisan yang mencoba melakukan peninjauan ulang terhadap tafsir Al-Qur’an.
Menurut Abdullah Saeed (2014), para pembaru menyadari bahwa agama yang sumber pokoknya Al-Qur’an, harus ditafsirkan sesuai perkembangan akal manusia. Islam merupakan agama fitrah untuk seluruh umat manusia sejak awal dunia, namun syariatnya disesuaikan dengan kesiapan penerimanya. Sebagaimana agama diturunkan oleh Allah sesuai perkembangan sejarah dan akal manusia, maka pemahaman terhadap Al-Qur’an pun harus berkembang, sesuai dengan kebutuhan serta konteks ruang dan waktu yang bergerak maju.
Relasi dengan Al-Qur’an terbagi dua: performatif (Qur’an sebagai sesuatu yang diperlakukan) dan informatif (Qur’an sebagai yang dipahami). Karya tafsir merupakan hasil pemahaman atau resepsi informatif terhadap al-Qur’an. Tafsir merupakan hasil ijtihad mufassir yang berusaha menawarkan syarahan baru, memperjelas, memperkuat, memerinci, atau melanjutkan narasi sebelumnya. Gagasan mufassir tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial-politik-budaya: endapan pengetahuan, cakrawala pengalaman, horison pergaulan, kecenderungan individu, hingga kepentingan dan ideologi yang melekat.
Sahiron Syamsuddin dalam Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an (2009), membagi karya tafsir berdasarkan segi pemaknaan terhadap objek penafsiran menjadi tiga. Pertama, aliran quasi-objektivis tradisionalis, yang memandang bahwa ajaran Al-Qur’an harus dipahami, ditafsirkan, dan diaplikasikan pada masa kini sebagaimana ia telah dibaca, ditafsirkan, dan diaplikasikan di masa Nabi dan generasi awal. Semua ketetapan hukum dalam Qur’an dipahami sebagai esensi pesan Tuhan, yang harus ditaati dan dilaksanakan/ditinggalkan oleh umat Islam di berbagai belahan dunia dalam setiap masa secara rigid, tanpa melihat maqasid syari’ah atau alasan yang melatarbelakanginya.
Kedua, aliran quasi-obyektivis modernis, yang berpandangan bahwa mufassir di masa kini harus terlebih dahulu menggali makna asal atau makna objektif dari suatu ayat dengan menggunakan seperangkat metodologi ilmu tafsir klasik. Namun kemudian dipadukan dengan teori ilmu-ilmu bahasa dan sastra modern. Menggali makna asal suatu ayat menjadi pijakan awal bagi penafsiran Al-Qur’an. Selanjutnya, mufassir harus memahami makna di balik pesan harfiah, yang disebut dengan ratio legis (menurut Fazlur Rahman), maqashid (dalam konsep Muhammad al-Thalibi), maghza (dalam pandangan Nasr Hamid Abu Zayd). Makna di balik pesan literal inilah yang harus disingkap oleh mufassir untuk diimplementasikan atau dikontekstualisasikan pada masa kontemporer sesuai dengan kondisi kekinian dan kedisinian.
Ketiga, aliran subjektivis, yang berpendapat bahwa setiap aktivitas penafsiran, sepenuhnya merupakan hasil dari pemahaman subjektif penafsir. Semua individu dianggap memiliki hak untuk menafsirkan Qur’an. Muhammad Syahrur yang menganut pandangan ini, menyatakan bahwa setiap penafsir hendaknya menafsirkan sesuai dengan sudut pandang dan perkembangan ilmu modern yang dikuasainya, baik ilmu eksakta maupun ilmu sosial humaniora. Sehingga terjadi kesesuaian antara suatu penafsiran dengan kebutuhan dan situasi serta perkembangan ilmu. Dasarnya adalah kaidah: tsabat al-nash wa harakat al-muhtawa, bahwa teks Al-Qur’an itu tetap, tetapi kandungan maknanya terus berkembang.
Hamim Ilyas dalam Fikih Akbar (2018), mengingatkan tentang pentingnya memahami perihal al-tsawabit (yang tidak berubah) dan al-mutaghayyirat (yang berubah sesuai konteks sejarah). Termasuk yang tetap dan tidak berubah adalah sistem kepercayaan keagamaan, sistem peribadatan, sistem nilai, dan sistem gagasan visioner. Keempat hal ini merupakan sesuatu yang otentik berupa sistem keyakinan yang wajib dipercayai dan dilakukan untuk mewujudkan hidup baik. Sehingga terwujud umat teladan, sesuai predikat khairu ummah.
Di era kontemporer, ungkap Tafsir Tematik Al-Qur’an tentang Hubungan Sosial Antarumat Beragama (2000) dalam pengantarnya, diperlukan tafsir Al-Qur’an tematis yang menghimpun masukan dari berbagai disiplin keilmuan, antara lain ilmu-ilmu sosial, kealaman, budaya, dan kemanusiaan, di samping juga ilmu-ilmu ketuhanan dan kebahasaan. Majelis Tarjih dan Tajdid menawarkan Tafsir At-Tanwir (2016) sebagai upaya pencerahan, yang mengedepankan pandangan hidup atau etos: ibadah, sosial, ekonomi, dan keilmuan. Menggali makna Al-Qur’an yang menggugah dan menggerakkan umat menuju hidup baik di dunia dan akhirat.
Dalam memahami kalam ilahi, mentalitas umat Islam harus terhindar dari sekadar penafsiran apologia, berupa mencari kebanggaan dari mencocokkan (ayatisasi) Al-Qur’an dengan fakta ilmu pengetahuan. Dalam pendahuluan Tafsir Al-Azhar, kata Hamka, tidak benar jika mengatakan bahwa semua ilmu ada di Qur’an, yang benar adalah bahwa Al-Qur’an menyuruh kita untuk menyelidiki semua cabang ilmu. (ribas)
Sumber: Majalah SM Edisi 10 Tahun 2019