Ahmad Badawi dan Dakwah Kekuasaan
Oleh Mu’arif
Dakwah yang paling jarang ditempuh para muballigh adalah dakwah di jalur kekuasaan. Jalur ini jarang ditempuh karena memang proses dakwah membutuhkan kedalaman pengetahuan agama juga integritas sang muballigh yang tidak mudah tergiur jabatan. Di samping itu juga membutuhkan kemampuan membangun relasi dengan struktur kekuasaan, kepiawaian berdiplomasi tingkat tinggi, dan sudah barang tentu membutuhkan karakter sang muballigh yang siap diterpa fitnah dan dan cibiran dari berbagai kalangan.
Pengalaman Ahmad Badawi, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1956-1968 dapat menjadi pelajaran berharga bagi warga Persyarikatan Muhammadiyah. Dakwah di jalur kekuasaan mutlak ditempuh agar para pemegang kebijakan di puncak struktur kekuasaan dapat dipengaruhi atau diarahkan supaya sejalan dengan kepentingan mayoritas umat Islam.
Ahmad Badawi Lahir pada 5 Februari 1902, Ia dalah salah seorang putra KH Muhammad Fakih, tokoh Kauman yang namanya tercantum dalam struktur Hoofdbestuur (HB) Muhammadiyah pertama. Dalam besluit rechtpersoon Muhammadiyah 1912 terdapat nama yang tertulis “M Tjarik MH Fakih,” komisaris HB Muhammadiyah pertama. Kyai Fakih menikah dengan Siti Habibah, yang tidak lain adalah adik kandung KH Ahmad Dahlan.
Ahmad Badawi, termasuk di antara murid-murid pertama Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah yang dirintis oleh KH Ahmad Dahlan sejak 1911. Di sekolah Islam modern pertama di Yogyakarta inilah sang tokoh menempuh pendidikan dasarnya. Pada tahun 1908-1913, ia juga belajar di Pesantren Lerap, Karanganyar, untuk mengenal Ilmu Nahwu dan Sharaf. Dalam catatan Yunus Anis (1971: 27), sosok Ahmad Badawi kecil rupanya pernah mengaji kepada KH Ibrahim, adik ipar KH Ahmad Dahlan yang dikenal mumpuni dalam bidang agama Islam.
Pada sekitar 1913-1915, ia melanjutkan belajar agama di Pesantren Termas, Pacitan, untuk memperdalam Ilmu Nahwu, Sharaf, dan seni kaligrafi. Dari Pesantren Tremas, Badawi muda melanjutkan pendidikannya di di Pesantren Besuk, Wangkal, Pasuruan, pada sekitar 1915-1920. Terakhir, ia melanjutkan belajar agama di Pesantren Kauman dan Pandean, Semarang pada 1920-1921. Pada masanya, nama-nama institusi pendidikan Islam tempat belajar Ahmad Badawi sangat populer karena kualitasnya.
Ahmad Badawi dikenal low profile, dan mampu di terima semua kalangan. Surat kabar Mertju Suar memberikan kesaksian, “Bukan sadja di kalangan ulama2 Muhammadijah, pun di kalangan ulama2 di luar Muhammadijah, apabila bersama-sama melakukan pembahasan agama, para ulama itu akan merasakan keluasan dan kedalaman ilmu agama KHA Badawi…” tulis Mertju Suar nomor 12 tanggal 26 April 1969.
Karir Ahmad Badawi di Muhammadiyah dimulai sejak 1926, ketika ia masuk Bagian Tabligh HB Muhammadiyah. Sambil berdakwah, ia mengajar di Madrasah Muallimin dan Muallimat (dulu Kweekschool Muhammadiyah dan Kweekschool Isteri), dan aktif menggerakkan literasi lewat Bagian Taman Pustaka. Ia juga aktif di Pemuda Muhammadiyah dan Hizbul Wathan. Sampai memasuki masa pendudukan Jepang, Ahmad Badawi tercatat sebagai salah seorang milisi yang bergabung dalam Hizbullah. Terhitung mulai tahun 1942-1945, Kyai Badawi menjadi pembantu Syu-Mu-Ka. Ia juga tercatat sebagai pengurus Asjkar Perang Sabil (APS), angkatan perang yang dibentuk dalam rangka mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari serangan tantara Belanda (Agresi Militer Belanda II).
Memasuki fase Orde Lama, kiprah Ahmad Badawi di Muhammadiyah maupun di pemerintahan sangat strategis. Ditopang dengan kepiawaian berdiplomasi tingkat tinggi, jaringan dakwahnya merambah ke struktur kekuasaan Orde Lama pada waktu itu. Bahkan ia mendapat amanat untuk menjabat sebagai Penasehat Kementerian Agama pada tahun 1946-1947. Dalam Muktamar Setengah Abad di Jakarta, Kyai Badawi mendapat amanat sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah. Memasuki tahun 1963, Kyai Badawi diangkat sebagai penasehat pribadi Presiden Soekarno untuk urusan bidang agama.
Dakwah Komunitas Elite KH Ahmad Badawi
Apa yang telah dilakukan Ahmad Badawi ketika ia menjabat sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah dan sekaligus Penasehat Pribadi Presiden Soekarno pada waktu itu sangat menentukan bagi keberlangsungan persyarikatan dan kepentingan mayoritas umat Islam. Namun, pilihan sikap Ahmad Badawi bukannya tanpa hambatan karena di kalangan internal Muhammadiyah sendiri ia mendapat kritik yang cukup tajam. Apalagi, pada masa itu situasi politik dalam suasana menyudutkan umat Islam, terutama pasca pembubaran Partai Masyumi.
Kelompok lain yang tidak senang dengan Muhammadiyah mencoba mempengaruhi Presiden Soekarno agar persyarikatan ini dibubarkan. Djarnawi Hadikusuma merekam kondisi genting ini sebagai berikut: “Sebagaimana diketahui sebenarnja, Masjumi hanja namanja sadja jang bubar, tetapi pendukungnja masih utuh, di antara lain jaitu Muhammadijah bekas anggauta istimewanja. Tjukup diketahui bahwa Muhammadijah membahajakan pemerintah Sukarno dan Nasakomnja. Tidaklah heran bagi pihak lawan menghasut presiden supaja membubarkan Muhammadijah…” tulis Djarnawi Hadikusuma (1971) dalam artikel “Menghadapi Bung Karno.”
Momentum pembubaran Partai Masyumi memang menjadi bukti nyata pembungkaman suara umat Islam pada waktu itu. Setelah Partai Masyumi dibubarkan, sasaran bidik diarahkan kepada ormas-ormas Islam kritis. Selain Muhammadiyah, beberapa organisasi kemasyarakatan yang kritis terhadap pemerintah juga menjadi sasaran untuk segara dibubarkan.
Dengan posisi strategis sebagai Penasehat Pribadi Presiden, Ahmad Badawi berhasil meyakinkan Bung Karno agar organisasi-organisasi tersebut tidak dibubarkan sekalipun mendapat tekanan dari kelompok Sosialis dan Komunis di Parlemen. Jika bukan karena kapasitas keilmuan, kesantunan pribadi, dan kepiawaian diplomasi dari sosok Ahmad Badawi, tentu Bung Karno tidak akan mendengarkan nasehat dari Ketua Umum PP Muhammadiyah pada waktu itu.
Sekalipun berdakwah di jalur kekuasaan, Ahmad Badawi tetap memiliki integritas yang kokoh. Ia dikritik, dihujat, dan dicibir oleh kelompok yang telah dikecewakan oleh rezim pasca pembubaran Partai Masyumi. Tetapi ia bergeming. Dalam posisi sebagai juru kunci yang menghubungkan antara rezim dengan mayoritas umat Islam, termasuk Muhammadiyah, pilihan sikapnya menunjukkan karakter ‘moderat yang berprinsip’.
Sekalipun berada di ring kekuasaan Orde Lama, Ahmad Badawi tetap tegas dan kritis. Pada November 1965, PP Muhammadiyah melayangkan surat kepada Bung Karno yang berisi permohonan agar Muhammadiyah diberi wewenang membentuk partai politik baru pasca pembubaran Partai Masyumi. Namun, Bung Karno berdalih selalu sibuk, tidak sempat membaca surat PP Muhammadiyah. Di sinilah peran Kyai Badawi selaku Penasehat Presiden yang terus mengawal surat tersebut sampai pada titik akhir batas kesabarannya, ia bersikap tegas. “Bacalah Bung! Tidak akan makan waktu lebih dari lima menit!” hardik Kyai Badawi kepada Bung Karno. Akhirnya, Sang Presiden pun membaca surat PP Muhammadiyah sampai selesai (Djarnawi Hadikusuma, 1971: 40).
Mu’arif, Pengkaji sejarah Muhammadiyah-Aisyiyah
Sumber: Majalah SM Edisi 13 Tahun 2019