PURWOKERTO, Suara Muhammadiyah – Rektor Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP), Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Dr Jebul Suroso mengajak umat Islam untuk kembali dalam kemurnian jiwa dan fisik yang sehat setelah satu bulan menjalani ibadah puasa.
“Seperti butiran embun yang murni, cerahnya langit, dan sinarnya matahari yang tak terhalang, maka seperti inilah kita hari ini. Dengan rida Allah SWT, terlahirlah kembali diri kita dalam kemurniah jiwa dan fisik yang sehat, setelah lengkap sebulan lamanya kita menjalani ibadah puasa,” katanya saat menyampaikan khutbah dalam Shalat Id di Lapangan Mas Mansoer, Kampus I UMP, Desa Dukuhwaluh, Kecamatan Kembaran, Banyumas, Kamis.
Ia mengharapkan proses panjang pembelajaran pada bulan Ramadhan bisa membawa umat Islam menjadi mukmin yang semakin baik, salah satunya dengan senantiasa berperilaku untuk bersegera menuju ampunan Allah SWT karena tidak ada manusia yang terbebas dari salah, maka minta ampunlah kepada Allah SWT.
Menurut dia, setiap yang minta ampunan setidaknya telah menjalankan tiga proses, yakni pertama, pengakuan diri yang tulus bahwa telah melakukan kesalahan sehingga melahirkan perasaan perlu untuk diampuni.
Proses kedua, ada tekad yang kuat untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama, dan yang ketiga berupa keinginan untuk menjadi lebih baik dan mendapat ampuan Allah SWT.
“Ingatlah bahwa Rasulullah beristigfar sehari tidak kurang dari 80 kali, doa yang diminta untuk kita panjatkan di malam lailatul qodar adalah doa minta ampunan. Setiap akan memohon kepada Allah, kita disunahkan untuk bersitigfar, dan saat Nabi Yunus berada di perut ikan, yang dia panjatkan adalah doa untuk diampuni,” katanya.
Ia mengatakan dari situlah umat Islam akan mendapatkan pelajaran yang berharga, pentingnya untuk bersegera menuju ampunan Allah, yang seharusnya dilakukan setiap waktu.
“Karena sesunguhnya memohon ampunan Allah merupakan jalan kita untuk mendapat pertolongan dan rida Nya. Dalam skala individu, jika kita diampuni Allah maka pertolongan-Nya akan sampai kepada kita, dalam skala keluarga, masyarakat, dan bangsa juga demikian,” katanya.
Jebul mengatakan dalam kondisi bangsa yang sedang banyak terkena musibah, itu merupakan saat terbaik agar setiap individu dan segenap komponen bangsa untuk semakin medekat dan memohon ampunan Allah.
“Dengan demikian semoga senantiasa tercurah karunia untuk kita dan ditariklah musibah dari kita semua,” katanya.
Menurut dia, cara lain untuk menjadi mukmin yang baik adalah dengan rajin belajar selama bulan Ramadhan, memperdalam pengetahuan khususnya tentang praktik beribadah dan muamalah berdasarkan tuntunan Allah dan Rasulullah.
“Jika ini terus kita lakukan, maka setiap amal yang kita lakukan selanjutnya akan berdasar pada ilmu. Tradisi mengkaji ilmu, melalui penelitian-penelitian telah dilakukan oleh para pendahulu kita, tokoh-tokoh muslim di masa kejayaan. Karya-karya mereka fenomenal, dan menjadi acuan pengembangan ilmu pengetahuan terkini, termasuk bermanfaat dalam kehidupan bermasyarakat,” katanya.
Ia mengatakan kajian agama akan bermuara pada lahirnya pembaruan cara berpikir dan praktik beribadah yang sesuai dengan tuntunan Rasul
Dengan senantiasa melandaskan setiap amal yang dilakukan berdasar pada ilmu dan keimaman kepada Alah, kata dia, maka setiap teknologi yang dikembangkan akan diarahkan untuk kemakmuran alam.
“Pada skala individu, setiap yang kita lakukan memiliki sandaran pengetahuan yang kuat dan bermanfaat. Pada skala lebih besar, setiap kebijakan yang dibuat oleh kita dan oleh para pemimpin kita, pastinya diarahkan untuk kemanfaatan, keadilan, dan jauh dari aniaya kepada sesama manusia. Bahkan diharapkan baik bagi sekalian alam, kita besarkan dan kita berdoa agar inklusi tempat saat ini berkumpul, bisa semakin jaya dan bermanfaat untuk sesama,” katanya.
Lebih lanjut, Jebul mengingatkan bahwa manusia diciptakan bersuku-suku dan berbangsa adalah untuk saling mengenal.
Dalam persepektif yang luas, kata dia manusia berasal dari induk yang sama, yakni diciptakan oleh Allah penguasa alam semesta.
“Cara pandang ini akan membuat kita semakin bijaksana dalam memandang sesama manusia, yang berasal dari berbagai golongan, ras, suku, dan bahkan agama.Allah tidak meminta kita untuk memaksa, yang Allah perintahan kepada Rasul adalah mengajak mereka dengan bil hikmah,” katanya.
Dengan demikian, kata dia, semangat kembali ke fitri akan melandasi umat Islam untuk lebih mengoreksi diri sendiri dibanding mencari kesalahan orang lain, sehingga akan terlebih dahulu bertanya ke dasar hati “Bagaimana jika aku yang diperlakukam begitu”, sebelum memperlakukan orang lain.
Maka dalam skala luas, lanjut dia, bangsa Indonesia akan bijak, akan menjadi bangsa yang dewasa dalam menghargai perbedaan, membuat setiap perbedaan menjadi warna-warni yang indah dalam setiap peradaban, sehingga kesejukan dan kedamaian akan senantiasa tercipta di bumi tercinta ini.
“Bukan lagi kehebohan yang muncul, dan terus dikembangan isu terorisme, radikalimse, yang tentu menguras energi, biaya, dan mengoyak kerukunan sesama umat beragama.
Rektor mengatakan saat momentum fitri ini, selain tinginya marwah umat Islam di hadapan Allah karena ibadah mahdhah, tidak kalah penting adalah tingginya derajat masing-masing individu karena hubungan baik dengan sesama manusia.
“Ingatlah ketika Allah menjanjikan surga yang luasnya seluas langit dan bumi kepada manusia yang bertakwa. Ciri orang-orang yang bertakwa sebagai ahli surga di antaranya menyedekahkan hartanya di saat lapang dan sempit, yang mampu menahan amarah, dan yang memaaafkan kesalahan orang lain,” katanya.
Ia mengatakan integritas sosial umat Islam diuji saat ini, ketika pendemi masih menghantui setiap manusia, kehidupan ekonomi sosial dan kehidupan berbangsa belum pulih, masih banyak warga yang membutuhkan uluran tangan dermawan umat manusia.
“Maka inilah saatnya kita yang diberi lebih untuk bisa berbagi. Pastikan anggota keluarga kita bahagia, pastikan tetangga kita tidak sengsara, ketika di saat yang sama kita merasa serba ada dan punya,” katanya.
Rektor mengajak umat Islam untuk menjadikan Hari Raya Idul Fitri sebagai momentum untuk saling memaafkan dengan melupakan kesalahan orang lain.
“Marilah kita lebih pandai menjaga emosi, mengendalikan diri. Kuasai bibir kita, jari jemari kita yang biasanya dengan serta merta berucap dan menulis hal-hal yang menyakiti hati orang lain.Ingatlah bahwa kita mahluk sosial, maka akhlak kita kepada sesama sangat penting, yaitu akhlak yang mulia,” katanya. (tgr)