Salah nama terbaik Allah (al-Asmâ’ al-Husnâ) yang berkaitan dengan kehidupan makhluk-Nya, termasuk manusia, adalah al-Qâbidh, Maha Menyempitkan atau tidak meluaskan pemberian-Nya. al-Qâbidh, yang berbentuk ism fâ’il (nomina yang menunjukkan pelaku), termasuk nama Allah yang memiliki antonim (al-Asma’ al-mutaqâbilât), yaitu al-Bâsith, Maha Meluaskan. Apa esensi dari al-Qâbidh? Bagaimana kita memaknai nama dan sifat Allah yang satu ini dengan sikap positif sebagai hamba-Nya?
Al-Qâbidh yang berasal dari kata al-qabdhu pada mulanya berarti “keterhimpunan”. Dalam perkembangan semantiknya, al-qabdhu dimaknai sebagai “mengambil, menahan, menggenggam, dan mencegah”. Karena itu, salah satu makna al-Qâbidh adalah menahan rezeki bagi makhluk-Nya. Dalam hal ini, Allah SwT berfirman “Siapa meminjami Allah dengan pinjaman yang baik maka Allah melipatgandakan ganti kepadanya dengan banyak. Allah menahan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan.” (QS al-Baqarah[2]: 245)
Allah SwT juga dengan tegas menyatakan bahwa yang menahan burung, sehingga tidak jatuh saat terbang karena adanya gaya gravitasi (daya tarik bumi), adalah al-Qâbidh, yang Maha Menahan, meskipun kedua sayapnya dikepakkan. “Tidakkah mereka memperhatikan burung-burung yang mengembangkan dan mengatupkan sayapnya di atas mereka? Tidak ada yang menahannya (di udara) selain Yang Maha Pengasih. Sungguh, Dia Maha Melihat segala sesuatu.” (QS al-Mulk[67]:19)
Esensi al-Qâbidh menunjukkan bahwa Allah itu Maha Kuasa dalam mengatur segala hal, termasuk mengatur pemberian rezeki bagi hamba-Nya. Hamba al-Qâbidh itu harus meyakini sepenuh hati bahwa pengaturan anugerah dan rahmat Allah itu sangat adil, proporsional, sesuai dengan kadar kemaslahatannya. Ukuran sedikit dan banyaknya pemberian Allah kepada hamba-Nya merupakan hak prerogatif-Nya. Jika hamba “disempitkan” rezekinya, tidak berarti Allah tidak sayang dan tidak berlaku adil kepadanya. Allah Maha Bijaksana dan Adil dalam segala pembagian dan pemberian rezekinya.
Karena itu, hikmah yang dapat dipetik dari al-Qâbidh adalah pentingnya hamba berpikir positif (positive thinking), berbaik sangka, dan terus bersyukur atas segala rezeki yang diberikan. Jika hamba diuji dengan kemalangan, krisis ekonomi, dan kesedihan, di balik itu Allah pasti memberi pelajaran berharga baginya agar tidak mudah putus asa dan tenggelam dalam keterpurukan. Sebaliknya, jika hamba diluaskan dan dimudahkan rezekinya, maka Allah pasti sedang menguji apakah keluasan dan kemudahan rezekinya itu membuatnya lupa diri dan tidak bersyukur atau sebaliknya.
Muhbib Abdul Wahab, Dosen Pascasarjana FITK UIN Syarif Hidayatullah, Sekretaris Lembaga Pengembangan Pesantren PP Muhammadiyah
Sumber: Majalah SM Edisi 7 Tahun 2018