Ta’awun untuk Negeri

Ta'awun

Ta’awun untuk Negeri

Oleh DR H Haedar Nashir, M.Si.

Muhammadiyah memperingati Milad ke-106 dengan mengusung tema “Ta’awun Untuk Negeri”. Suatu tema yang sesuai dengan situasi nasional saat ini. Pertama adanya musibah gempa bumi di Lombok-Sumbawa Nusa Tenggara Barat dan Palu-Donggala serta daerah sekitarnya di Sulawesi Tengah. Kedua, keadaan bangsa yang mengalami sejumlah gesekan atau konflik di tengah kehidupan kebangsaan yang cenderung saling-rebut kepentingan secara bebas akibat liberalisasi politik, ekonomi, dan budaya di negeri tercinta ini.

Mengusung tema “Ta’awun Untuk Negeri” berarti menyuarakan pesan keruhanian khususnya bagi warga Muhammadiyah dan umat Islam maupun secara umum kepada seluruh warga bangsa untuk mengembangkan segala daya  untuk mengembangkan sikap saling tolong-menolong atau bekerjasama dalam hal segala kebaikan bagi kepentingan dan kemaslahatan negeri Indonesia. Tolong menolong dalam hal kebaikan dan taqwa, bukan tolong menolong dalam hal dosa dan keburukan sebagaimana pesan luhur Allah dalam Al-Quran Surat Al-Ma’idah ayat kedua.

Karenanya melalui Milad ke-106 dengan tema “Ta’awun Untuk Negeri” penting untuk menjadi rujukan seluruh anggota dan institusi Muhammadiyah dalam meneguhkan sikap serta melakukan berbagai aktivitas yang dijiwai spirit Al-Ma’idah ayat kedua itu yang diaktualisasikan ke dalam aksi-aksi Muhammadiyah untuk negeri. Spirit ta’awun itu dapat menjadi energi moral dan sosial yang luar biasa dalam membangun kebersamaan dan mencegah keretakkan di tubuh persuarikatan, umat,  dan bangsa di Indonesia.

Ajaran Ta’awun

Nilai “Ta’awun” atau tolong-menolong secara luas merupakan pesan ajaran Islam yang aseli (autentik) sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran sebagai berikut:

ۘ وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Artinya : “…. Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”  (QS Al-Mâidah/5:2).

Ayat ini, dalam tafsir Ibnu Katsir, dikaitkan dengan hadis Nabi yang bunyinya “unshur akhaka dhaliman aw madhluman”, artinya “Tolonglah sadaramu yang menganiaya dan yang dianiaya” [HR Imam Ahmad (11538) dari Anas bin Malik]. Ketika Nabi ditanya kenapa harus menolong orang yang menganiaya? Rasul menjawab, yang artinya “Engkau larang dia agar tidak berbuat aniaya, begitulah cara kamu menolongnya”. Betapa tegas tapi moderat cara Rasulullah mengajarkan dakwah meskipun dalam mencegah kemunkaran, tidak apologi meski dalam menghadapi pihak yang salah.

Dalam riwayat yang dikabarkan Zaid bin Aslam bahwa turunnya ayat tersebut dalam konteks peristiwa umat Islam sewaktu perjanjian Khudaibiyah yang dilarang masuk ke Makkah. Ketika kaum Quraisy menghalang-halangi kaum muslim masuk Kakbah, sebagian muslim mengajak agar membalas menghalangi kaum Quraisy yang melintasi Baitullah. Rasulullah mencegahnya atas perintah Allah dalam Surat Al-Ma’idah tersebut, yang intinya jangan berbuat buruk seperti mereka yang berbuat buruk kepada kita, sebaliknya kembangkan kebaikan kepada mereka atau setidaknya diam.

Dalam kisah lain menurut Imam Ahmad dari Al-A’masyi, dari Yahya bin Watsab, dari salah seorang sahabat Nabi, dia berkata yang artinya: “Orang-orang mukmin yang berbaur dengan manusia  dan bersabar terhadap cercaan mereka itu lebih besar pahalanya daripada orang mukmin yang tidak berbaur dan tidak sabat terhadap cercaan mereka”. Senada dengan itu menurut riwayat Al-Hafidz Abu Bakar Al-Bazzar dari Abdullah, bahwa Nabi bersabda yang artinya, “Orang yang menunjukkan pada kebaikan seperti orang yang melakukannya”. Betapa inklusifnya ajaran ta’awun dari Rasulullah bagi umat Islam.

Spirit  ta’awun dalam Islam paralel dengan ajaran ihsan, yang mengandung makna bahwa karena dekatnya seorang muslim atau mukmin dengan Allah Yang Maha Rahman dan Rahim maka dirinya ikhlas secara melintasi untuk berbuat segala kebaikan kepada siapapun tanpa pandang bulu. Termasuk kepada yang berbeda agama dan golongan, bahkan terhadap kaum kafir dan pihak yang memusuhi. Sebaliknya menjauhi atau tidak boleh berbuat dan bekerjasama dalam hal segala keburukan dengan dalih apapun kepada siapapun.

Dalam Muhammadiyah ajaran ta’awun sejiwa dan seiring dengan spirit Al-Ma’un sebagaimana menjadi salah satu ciri gerakan Islam ini sejak diririkannyan oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan 106 tahun yang silam. Bahwa setiap muslim yang menganut Islam dia harus mewujudkan agamanya dalam membela dan memberdayakan kaum miskin, yatim, dan dhu’afa-mustadh’afin. Sebaliknya termasuk dusta beragama manakala dirinya tidak mau menolong terhadap kaum yang lemah dan papa. Apalah artinya beragama manakala tidak peduli dan berbagi untuk mereka yang bernasib malang dalam kehidupannya.

Ajaran Al-Ma’un dalam Muhammadiyah telah menjadi gerakan praksis sosial Islam yang bersifat membebaskan (emansipasi, liberasi), memberdayakan (empowerment), dan memajukan kehidupan umat dan bangsa yang lemah. Gerakan Al-Ma’un melahirkan rumah sakit, klinik, pelayanan sosial, tanggap kebencanaan, dan pemberdayaan masyarakat. Praksis Al-Ma’un saat ini melahirkan aksi kemanusiaan (humanitarian) untuk semua baik di dalam maupun luar negeri dalam gerakan “Muhammadiyah For All”  atau “Muhammadiyah  Untuk Semua”. Inilah yang disebut Asghar Ali sebagai teologi pembebebasan (The Theology of Liberation)  dalam Islam.

Konteks Kebangsan

Tema “Ta’awun Untuk Negeri” bagi Muhammadiyah telah dilakukan sejak awal kelahirannya melalui gerakan Al-Ma’un sebagai teologi dan praksis sosial Islam yang membebaskan, memberdayakan, dan memajukan kehidupan kaum dhu’afa-mustadh’afin dalam berbagai bentuk dan perwujudan. Seraya dan  termasuk di dalamnya gerakan  Filantropi Islam sebagai praksis kedernawan sosial yang menyatu dengan aktualisasi zakat, infaq, dan shadaqah, serta usaha-usaha kemanusiaan untuk mengentaskan kaum miskin, marjinal, tertindas, dan tidak beruntung nasibnya.

Gerakan “Ta’awun Untuk Negeri” juga diaktualisasikan dalam usaha-usaha dakwah kemasyarakatan melalui peogram kemanusiaan, amal usaha, dan kegiatan-kegiatan lain dalam memajukan kehidupan berbasis kebersamaan. Semangat ukhuwah atau kebersamaan mesti terus digelorakan di tubuh bangsa ini ketika sebagian golongan maupun perorangan dihinggapi egoisme hanya mengurus dan memperjuangkan diri sendiri dan kelompoknya. Egoisme individual dan kolektif bertentangan dengan prinsip ukhuwah di kalangan umat Islam dan asas gotong royong di tubuh bangsa Indonesia yang selama ini sering didengungkan di ruang publik dengan suara nyaring.

Wujudkan ta’awun sesama warga dan komponen umat maupun bangsa dengan sikap, tindakan, dan usaha bekerjasama untuk mau saling peduli dan berbagi, serta saling hidup maju dan makmur bersama-sama. Dalam kehidupan politik jangan sampai perebutan kekuasaan menyuburkan ananiyah-hizbiyah atau egoisme kelompok secara ekslusif dan berlebihan, yang menggerus kebersamaan. Jangan sampai terjadi parasoks, di ruang publik menyuarakan ukhuwah dan gotong royong, tetapi dalam praktik menampilkan sikap ajimumpung, mau menang sendiri, dan memiliki kebiasaan menyingkirkan pihak lain yang berbeda pandangan atau golongan demi kekuasaan dan kejayaan diri atau golongan sendiri. Jangan pula atasnama bela bangsa dan negara secara ekslusif dan sempit meruntuhkan kebersamaan hanya karena ingin tampil sendiri seperti pahlawan nasionalisme yang salah kaprah.

Gerakan “Ta’awun Untuk Negeri” juga menggelorakan gerakan pemberdayaan masyarakat dan pemberdayaan ekonomi untuk mengangkat harkat umat dan bangsa yang lemah menuju kehidupan “khaira ummah”. Jika satu prosen penduduk negeri ini menguasai mayoritas kekayaan Indonesia, maka inilah sumber ksenjangan sosial-ekonomi dan politik, yang harus dipotong matarantainya secara sistemik. Kesenjangan  sosial jangan dibiarkan seolah wajar hanya karena tidak ingin menempuh langkah drastis dalam menghadapinya, sebab rakyat dan negaralah yang dirugikan. Tidak boleh pula para mafia, oligarki, pengusaha hitam, petualang politik,  dan kelompok-kelompok haus kuasa dibiarkan menguasai Indonesia untuk meraih kejayaan sendiri dengan mengorbankan kepentingan kolektif bangsa dan negara.

Spirit ta’awun dalam wujud kebersamaan atau gotong royong di Indonesia mesti diaktualisasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara kolektif. Ta’awun atau kebersamaan yang sejati dapat menjadi faktor kekuatan bagi kesatuan, keutuhan, dan kemajuan Indonesia. Sebagaimana pesan Bung Karno ketika berpidato pada  1 Juni 1945, bahwa:  “Kita hendak mendirikan suatu negara semua buat semua. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, tetapi semua buat semua”. Itulah mozaik ta’awun atau spirit kebersamaan yang diletakkan dengan kokoh oleh para pejuang dan pendiri bangsa secara autentik menuju kejayaan Indonesia. Di Republik ini tidak ada satu pihak pun yang paling berjasa dan maju sendirian!

Sumber: Majalah SM Edisi 22 Tahun 2018

Exit mobile version