Buku dan Pembajakan yang Menyesatkan
Oleh: A.R. Bahry Al Farizi
Prof. Abdul Malik Fadjar, Allahu Yarham, tokoh Muhammadiyah, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Kabinet Gotong Royong 2001-2004 adalah inisiator di balik diperingatinya 17 Mei sebagai Hari Buku Nasional. Mengapa 17 Mei? Sebab pada tanggal tersebut pemerintah pertama kali mendirikan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, tepatnya pada 17 Mei 1980.
Mengapa perlu ada Hari Buku Nasional? Sebab literasi di negeri kita masih terbilang memprihatinkan. Bukan bermaksud untuk membawa narasi pesimistik. Tetapi pada faktanya ramainya pembajakan buku, rendahnya jumlah cetak judul buku per-tahun, serta minat literasi yang tertinggal dibanding negara-negara lain, mengasumsikan krisis literasi tengah terjadi di negeri ini.
Salah satu dampak rendahnya tingkat literasi di negeri ini adalah perilaku para warganetnya yang bandel. Beberapa bulan yang lalu, Indonesia dinobatkan sebagai negara dengan warganet paling tidak sopan se-Asia Tenggara. Microsoft (25/02/2021) merilis sebuah laporan berjudul “Digital Civility Index” mengenai tingkat kesopanan netizen di beberapa negara. Lantas apa yang terjadi? Microsoft terpaksa menutup kolom komentar akun Instagram resminya karena ramai-ramai diserang oleh netizen Indonesia.
Kaitan yang sangat erat antara buku dan literasi tidak bisa dilepaskan begitu saja karena berkembangnya dunia informasi kita melalui dunia digital, bahkan E-book pun sudah ramai ditemui. Tetapi tetap saja, karena dunia perbukuan bukan hanya menyoal tentang “buku” saja, tetapi ada banyak sekali orang yang menggantungkan hidup di sana. Kita perlu berpikir lebih jauh, bahwa buku yang berada di tangan kita sekarang tidak muncul begjtu saja tetapi melalui proses yang panjang dan butuh kesabaran.
Karena pembahasannya yang cukup luas, maka tulisan ini sekiranya bisa sedikit menggambarkan keadaan dunia perbukuan di Indonesia, berikut perkembangan dan kemundurannya. Terutama yang perlu diperhatikan, banyaknya pengusaha buku atau orang-orang yang berkhidmat di jalan sunyi literasi cukup kesusahan dengan hadirnya buku-buku repro atau bajakan. Tidak lupa pula buku digital illegal yang sangat banyak tersebar di internet. Penulis pernah membaca pernyataan salah seorang penulis buku yang mengeluh karena ramainya pembajakan buku terjadi. Dan anehnya dianggap hal-hal yang wajar saja. Ia dengan tegas menyatakan betapa banyaknya orang yang rezekinya “dibunuh” lewat pembajakan buku.
Buku-buku repro atau bajakan bisa dibilang sangat murah dibanding buku original atau buku asli. Ini yang menjadi daya tarik utama, khususnya bagi mahasiswa yang hobi membaca buku tapi terhalang oleh ekonomi. Walaupun tampilannya sangat berbeda dengan buku asli, mahasiswa tetap tertarik untuk membeli buku repro karena biayanya yang sangat-sangat murah menggiurkan.
Secara tampilan, karena namanya juga buku bajakan, otomatis secara kualitas tampilannya sangat buruk. Banyak sekali tulisannya yang samar atau tidak terbaca, tidak jarang menimbulkan rasa sakit di mata. Biasanya, bukunya dicetak dengan kertas kuning. Bukunya pun rata-rata lebih tipis dengan buku aslinya, plus cover yang dengan gampang dikenali lebih samar daripada buku aslinya.
Salah satu yang cukup menjadi alasan kuat bagi para pembeli buku bajakan ialah karena rata-rata buku-buku yang dijual biasanya adalah buku-buku dengan genre pergerakan atau buku-buku kiri yang tidak mendapatkan cetak ulang. Begitu juga dengan buku-buku lawas, berkualitas, apalagi buku-buku “viral” di kalangan mahasiswa seperti karya-karya Muhidin M. Dahlan yang sangat mudah ditemui versi bajakannya. Begitu pula karya Pramoedya Ananta Toer, banyak yang sudah tidak cetak ulang bahkan hilang dari peredaran dan toko-toko buku tetapi anehnya buku bajakannya sangat banyak dijual, baik itu di pinggir-pinggir jalan maupun di internet. Plus karya-karya babon seperti Das Kapital Karl Marx, banyak menjadi incaran para pembajak buku. Di beberapa daerah, memang ada tempat yang lazim diketahui sebagai pasarnya buku bajakan, contohnya Shopping di Jogja.
Tahun 2019, oleh Konsorsium Penerbit Jogja (KPJ) menyatakan kerugian yang dialami 13 penerbit di Jogja ditaksir mencapai Rp 13 Miliar. Maka bukankah ini adalah suatu kekhawatiran bagi kita semua yang cinta dengan dunia literasi. Begitu pula dengan penerbit-penerbit kecil yang mulai merintis karir di dunia perbukuan pasti menghadapi kekhawatiran yang cukup besar dengan masih berkeliarannya para pembajak buku.
Harapannya, Muhammadiyah bisa berperan penting untuk menyatakan perang terhadap pembajakan buku. Sebab dalam agama, pembajakan sama saja dengan mencuri, bahkan lebih dari itu karena banyak sekali orang yang dirugikan. Sebagai ormas Islam yang mempunyai visi cemerlang yakni menciptakan masyarakat ilmu tentu saja harus mempunyai komitmen untuk menjaga iklim perbukuan di Indonesia. Mega-Industri pembajakan buku tentu saja punya dampak signifikan terhadap kemunduran ilmu pengetahuan di negeri ini.
A.R. Bahry Al Farizi, Kabid RPK PK IMM FAI UAD 2021-2022