Idul Fitri: Baju Baru, Petasan, dan Kuliner
Oleh: Wardi, S Pd.M.A,
Tiga tradisi selalu ramai mewarnai Idul Fitri, yaitu berbaju baru, menyalakan petasan (termasuk kembang), serta makan enak. Semua hal tersebut sudah menjadi tradisi, tuntunan, dan tontonan masyarakat yang tidak boleh ditinggalkan.
Bagaimanakah tuntunan yang diberikan oleh Rasulullah? Apakah Rasulullah melaksanakan ketiga kegiatan di atas? Mari kita kaji lebih lanjut.
Sebuah ungkapan menarik dari Abu Yazid untuk bahan mawas diri kita:
لَيْسَ اْلعِيْدُ لِمَنْ لَبِسَ اْلجَدِيْدَ, وَلاَ لِمَنْ اَكَلَ اْلقَدِيْدَ, وَلَكِنَّ اْلعِيْدُ لِمَنْ طَاعَتُهُ تَزِيْدُ, وَخَافَ اْلوَعِيْدَ.
Artinya: “Hari raya itu bukanlah orang berbaju baru, dan bukan orang yang makan dendeng yang enak, tetapi orang yang beridul fitri adalah bagi barangsiapa saja bertambah ketaatannya dan bertambah takutnya
Qaul ini mengingatkan kita, betapa selama ini kita beridul fitri banyak hura-hura dan rutinitas belaka. Bukan ibadah Idul Fitrinya yang kita fokuskan, tetapi perayaannya. Kita ribut-ribut mencari uang tetapi tidak fokus untuk sedekah yang bisa menyelamatkan, Kita ribut menyiapkan makanan tetapi lupa menyantuni fakir-miskin, anak yatim, dan assa’ilin (peminta-minta),
Berbaju baru
Memakai baju baru ketika ber-Idul Fitri/IdulAdha itu tidak ditemukan dalam kebiasaan Rasulullah. Rasulullah hanya memerintahkan agar umatnya menggunakan baju terbaik. Namun, juga tidak ditemukan hadits yang melarang umatnya untuk menggunakan baju baru. Yang penting diperhatikan adalah sikap tidak sombong dan riya’.
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam Al Mustadrak ‘alaa Al-Shohihain:
عَنْ زَيْدِ بْنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ، عَنْ أَبِيهِ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: «أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْعِيدَيْنِ أَنْ نَلْبَسَ أَجْوَدَ مَا نَجِدُ، وَأَنْ نَتَطَيَّبَ بِأَجْوَدَ مَا نَجِدُ
Dari Zaid bin Al Hasan bin Ali, dari ayahnya, radliyallahu ‘anhuma, ia berkata: Kami diperintahkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam pada dua hari Ied untuk memakai pakaian yang ada dan memakai wangi-wangi dengan apa yang ada.
Dalam hadis lain diriwayatkan bahwa Rasulullah pernah ditawari oleh Umar agar beliau membeli baju sutra untuk dipakai pada saat hari raya dan penyambutannya.
أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ، قَالَ: أَخَذَ عُمَرُ جُبَّةً مِنْ إِسْتَبْرَقٍ تُبَاعُ فِي السُّوقِ، فَأَخَذَهَا، فَأَتَى بِهَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، ابْتَعْ هَذِهِ تَجَمَّلْ بِهَا لِلْعِيدِ وَالوُفُودِ، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّمَا هَذِهِ لِبَاسُ مَنْ لاَ خَلاَقَ لَهُ
Sungguh Abdullah bin Umar, ia berkata: “Umar mengambil sebuah jubah sutra yang dijual di pasar, ia mengambilnya dan membawanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan berkata: “Wahai Rasulullah, belilah jubah ini serta berhiaslah dengan jubah ini di hari raya dan penyambutan. Rasulullah berkata kepada Umar: “sesungguhnya jubah ini adalah pakaian orang yang tidak mendapat bagian” (HR. Al Bukhari).
Kuliner
Satu tradisi lain, bahwa setiap Idu lFitri disajikan aneka kuliner (makanan enak dan menarik). Salah satu kulinernya adalah ketupat. (Bahasa jawa disebut kupat). Ketupat digunakan oleh Sunan Kalijaga dalam mensyiarkan ajaran Islam di Pulau Jawa. Ketupat hanya dimasak saat lebaran dan hingga lima hari sesudahnya.
Kupat adalah simbolisasi ungkapan dari bahasa Jawa ku = ngaku (mengakui) dan pat = lepat (kesalahan). Dengan masakan ini, secara simbolis orang Jawa ingin menyatakan bahwa beliau punya banyak salah. Makanan itu disertai kue bernama ampem. Apem berasal dari kata ‘afuwun, mohon maaf. Dengan sajian makanan kupat dan kue apem, secara simbolis orang Jawa menyatakan dirinya banyak salah, maka mereka meminta maaf.
Konsep dasar kuliner Islami adalah halan thayyiban (Qs.Albaqarah: 168). Halal berarti terbebas dari segala bentuk dzat yang diharamkan, yaitu: bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang disembelih tidak menyebut nama Allah (QS. Al-Maidah: 3). Thayyiban, yaitu baik untuk tubuh dan kesehatan manusia, bergizi. Tidak boleh makan makanan yang merusak tubuh, kesehatan, akal dan kehidupan manusia,
Berpangkal dari ayat ini, disusunlah resep kuliner. Perkembangan makanan tak pernah statis, Makanan yang semula sebagai bahasa simbolis, kini menjadi tradisi, makanan jajanan atau kesukaan.
Makanan pokok masyarakat Islam zaman Rasulullah adalah roti gandum yang dibakar menggunakan pemanggang dari tanah liat. Roti bakar semacam ini kemudian diberi daging kambing, domba, atau kelinci merupakan makanan kesukaan Rasulullah SAW. Roti ini dibentuk bola-bola yang disebut couscous. Saus ditambahkan sehingga terasa masam atau manis asam. Saus itu diberi pewarna alami, seperti kunyit, safron, delima, atau bayam kemudian ditambahkan gula.
Membunyikan Petasan
Membunyikan petasan saat Hari Raya itu bukan tuntunan Rasulullah. Tradisi membakar petasan, menurut legenda berasal dari Cina, sejak pemerintahan Dinasti Han pada 200 SM, Ada makluk gunung bernama Nian. Setiap tahun baru Cina, Nian keluar gunung, mengganggu perayaan tahun baru. Untuk mengusir Nian, penduduk membuat suara ledakan dari bambu, yang mereka sebut baouzhu. Sejak itu petasan dipakai dalam setiap perayaan maupun festival di Cina, termasuk Imlek atau tahun baru Cina.
Petasan berkembang dengan penemuan bubuk mesiu pada era Dinasti Sung (960-1279) oleh pendeta bernama Li Tian yang tinggal dekat kota Liu Yang di Provinsi Hunan. Saat itu pula didirikan pabrik petasan yang menjadi dasar pembuatan kembang api, yang memancarkan warna-warni dan pijar-pijar api di angkasa. Sampai sekarang Provinsi Hunan masih dikenal sebagai produsen petasan dunia
Membunyikan petasan dan sejenisnya adalah suatu mubazir/ pemborosan dana. Allah tidak menyukai orang yang suka boros. Allah berfirman dalam Qs Al_Isra’ ayat 27 bahwa “Sesungguhnya orang-orang yang menghambur-hamburkan (tanpa manfaat yang jelas) itu adalah saudaranya setan. Dan setan itu ingkar terhadap Tuhan-Nya.”.
Kecuali itu, membunyikan petasan itu dapat mengganggu keamanan dan ketertiban umum. Banyak orang menderita sakit dan meninggal, serta mendapat kerugian besar karena rumahnya terbakar gara-gara petasan.
Awas Tiga Tipu Daya Syaithan
Dari Wahab bin Munabbih bahwa dia berkata: “Beliau Nabi Saw berkata:
اِنَّ اِبْلِيْسَ عَلَيِهِ لَعَنَةَ يَصِيْحُ فِي كُلِّ يَوْمِ عِيْدِ فَيَجْتَمَعَ اَهْلُهً عِنْدَهُ فَيَقْوْلُوْنَ؛ يَا سَيِّيدَنا مَنْ اَغْضَبُكَ اِنَّانَكْسَرَهُ، فَيَقُوْلُ؛ لَاشَئْ وَلَكِنْ اللهُ اتَعَالً قَدْ غَفَرَلِهَذاهُ الْاُمَّةُ فِيْ هَذَا اْليَوْمِ فَعَلَيْكُمْ اَنْ تَشْغُلُوهُمْ بِاَلْلِذَاتِ وَالشَّهْوَاتِ وَشَرَبَ الْخَمْرَ حَتَّى يْغْضَبَهُمُ اللهَ
Sesungguhnya Iblis yang dilaknat berteriak-teriak pada setiap hari Idul Fitri. Maka berkumpullah semua ahlinya (bala tentaranya) di sekelilingnya, maka berkatalah mereka: “Wahai Baginda kami, siapakah yang menjadikan engkau murka, maka sungguh dia akan kami hancurkan.” Iblis berkata: “Tidak ada sesuatu, akan tetapi Allah ta’ala pada hari ini telah mengampuni umat ini. Maka kamu sekalian harus menyibukkan mereka dengan segala macam yang lezat-lezat, dengan syahwat, dan dengan minuman arak, sehingga Allah murka kepada mereka.”
Wardi, S Pd.M.A, PCM Semin Majelis Pustaka