Waktu Subuh Perspektif Hadits dan Mazhab
Oleh: Ruslan Fariadi
Kontroversi waktu pelaksanaan shalat subuh masih terjadi hingga saat ini, terutama di kalangan ahli astronomi. Bahkan di kalangan ahli fikih-pun masih banyak yang mempertanyakan tentang validitas waktu pelaksanaan shalat subuh di Indonesia, termasuk di Muhammadiyah. Sebagian pihak menyatakan waktu pelaksanaan sahalat subuh di Indonesia terlalu cepat dari waktu yang semestinya. Bahkan konon seorang ulama Timur Tengah yang berkunjung ke Indonesia juga mengkritik orang Islam Indonesia yang terlalu cepat dalam melaksanakan shalat subuh. Dengan bahasa bergurau ia menyatakan; “umat Islam Indonesia terlalu bersemangat melaksanakan shalat subuh, sehingga maju dari waktu yang semestinya.”
Ada beberapa aspek yang menyebabkan terjadinya perbedaan pandangan tersebut, antara lain: perbedaan dalam menentukan kapan dimulainya waktu Fajar Shadiq; keutamaan waktu shalat subuh apakah di saat waktu taghlis ataukah di waktu ishfar; perbedaan interpretasi terhadap beberapa hadits yang berbica tentang waktu shalat, serta “dialog” yang belum tuntas antara kajian perspektif fikih dan astronomi. Tulisan ini mencoba mengkaji pandangan empat imam mazhab dalam berbagai literatur primer dan sekunder tentang persoalan tersebut dari berbagai aspek untuk selanjutnya dapat dijadikan sebagai bahan kajian dan sumbangan pemikiran dalam rangka melakukan singkronisasi pemahaman dari dua perspektif, yaitu perspektif fikih dan astronomi.
Waktu Shalat Subuh dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Hadits antara lain:
…إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا (النساء:103)
“…Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa’: 103)
أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآَنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآَنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا (الإسراء:78)
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh Malaikat) .” (QS. Al-Isra’: 78)
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَقْتُ الظُّهْرِ إِذَا زَالَتْ الشَّمْسُ وَكَانَ ظِلُّ الرَّجُلِ كَطُولِهِ مَا لَمْ يَحْضُرْ الْعَصْرُ وَوَقْتُ الْعَصْرِ مَا لَمْ تَصْفَرَّ الشَّمْسُ وَوَقْتُ صَلَاةِ الْمَغْرِبِ مَا لَمْ يَغِبْ الشَّفَقُ وَوَقْتُ صَلَاةِ الْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ الْأَوْسَطِ وَوَقْتُ صَلَاةِ الصُّبْحِ مِنْ طُلُوعِ الْفَجْرِ مَا لَمْ تَطْلُعْ الشَّمْسُ فَإِذَا طَلَعَتْ الشَّمْسُ فَأَمْسِكْ عَنْ الصَّلَاةِ فَإِنَّهَا تَطْلُعُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ. (رواه مسلم)
“Dari Abdullah bin ‘Amru bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Waktu shalat zhuhur adalah jika matahari telah concong dan bayangan sesorang seperti panjangnya selama belum tiba waktu shalat ashar, dan waktu shalat ashar selama matahari belum menguning, dan waktu shalat maghrib selama mega merah (syafaq) belum menghilang, dan waktu shalat isya` hingga tengah malam, dan waktu shalat shubuh semenjak terbit fajar selama matahari belum terbit, jika matahari terbit, maka janganlah melaksanakan shalat, sebab ia terbit di antara dua tanduk setan.” (HR. Muslim)
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَقْتُ الظُّهْرِ مَا لَمْ يَحْضُرْ الْعَصْرُ وَوَقْتُ الْعَصْرِ مَا لَمْ تَصْفَرَّ الشَّمْسُ وَوَقْتُ الْمَغْرِبِ مَا لَمْ يَسْقُطْ ثَوْرُ الشَّفَقِ وَوَقْتُ الْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ وَوَقْتُ الْفَجْرِ مَا لَمْ تَطْلُعْ الشَّمْسُ. (رواه مسلم)
“Dari Abdullah bin ‘Amru dari Nabi saw., beliau bersabda: “Waktu shalat zhuhur selama belum tiba waktu shalat ashar, dan waktu shalat ashar selama matahari belum menguning, dan waktu shalat maghrib selama tebaran syafaq (mega merah) belum menghilang, dan waktu shalat isya` hingga tengah malam, dan waktu shalat fajar selama matahari belum terbit.” (HR. Muslim)
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو هُوَ ابْنُ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ قَالَ سَأَلْنَا جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ صَلَاةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ كَانَ يُصَلِّي الظُّهْرَ بِالْهَاجِرَةِ وَالْعَصْرَ وَالشَّمْسُ حَيَّةٌ وَالْمَغْرِبَ إِذَا وَجَبَتْ وَالْعِشَاءَ إِذَا كَثُرَ النَّاسُ عَجَّلَ وَإِذَا قَلُّوا أَخَّرَ وَالصُّبْحَ بِغَلَسٍ. (روا البخاري)
“Dari Muhammad bin ‘Amru -yaitu Ibnu Al Hasan bin ‘Ali- ia berkata, “Kami pernah bertanya kepada Jabir bin ‘Abdullah tentang shalatnya Nabi saw. Ia lalu menjawab, “Beliau melaksanakan shalat Zhuhur jika matahari sudah condong, shalat ‘Ashar saat matahari masih terasa panasnya (masih terang), shalat Maghrib ketika matahari sudah tenggelam, sedangkan shalat ‘Isya; jika orang-orang sudah berkumpul maka beliau segerakan, dan jika belum maka beliau akhirkan. Dan waktu shalat Subuh saat pagi masih gelap.” (HR. al-Bukhari)
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي الصُّبْحَ بِغَلَسٍ فَيَنْصَرِفْنَ نِسَاءُ الْمُؤْمِنِينَ لَا يُعْرَفْنَ مِنْ الْغَلَسِ أَوْ لَا يَعْرِفُ بَعْضُهُنَّ بَعْضًا. (رواه البخاري)
“Dari ‘Aisyah ra. bahwasanya Rasulullah saw. melaksanakan shalat Shubuh di waktu yang masih gelap, sehingga wanita-wanita yang beriman berlalu pergi tidak ada yang dapat mengenalinya, atau sebagian mereka tidak bisa mengetahui sebagian yang lain.” (HR. Al-Bukhari)
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ إِنْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيُصَلِّي الصُّبْحَ فَيَنْصَرِفُ النِّسَاءُ مُتَلَفِّعَاتٍ بِمُرُوطِهِنَّ مَا يُعْرَفْنَ مِنْ الْغَلَسِ. (رواه البخاري)
“Dari ‘Aisyah ia berkata, “Jika Rasulullah saw. melaksanakan shalat Shubuh, maka para wanita yang ikut berjama’ah datang dengan menutup wajah mereka dengan kerudungnya, tanpa diketahui (dikenal) oleh seorangpun karena hari masih gelap.” (HR. Al-Bukhari)
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى الصُّبْحَ بِغَلَسٍ ثُمَّ رَكِبَ فَقَالَ اللَّهُ أَكْبَرُ خَرِبَتْ خَيْبَرُ إِنَّا إِذَا نَزَلْنَا بِسَاحَةِ قَوْمٍ (فَسَاءَ صَبَاحُ الْمُنْذَرِينَ) فَخَرَجُوا يَسْعَوْنَ فِي السِّكَكِ وَيَقُولُونَ مُحَمَّدٌ وَالْخَمِيسُ قَالَ وَالْخَمِيسُ الْجَيْشُ فَظَهَرَ عَلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَتَلَ الْمُقَاتِلَةَ وَسَبَى الذَّرَارِيَّ فَصَارَتْ صَفِيَّةُ لِدِحْيَةَ الْكَلْبِيِّ وَصَارَتْ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ تَزَوَّجَهَا وَجَعَلَ صَدَاقَهَا عِتْقَهَا فَقَالَ عَبْدُ الْعَزِيزِ لِثَابِتٍ يَا أَبَا مُحَمَّدٍ أَنْتَ سَأَلْتَ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ مَا أَمْهَرَهَا قَالَ أَمْهَرَهَا نَفْسَهَا فَتَبَسَّمَ. (رواه البخاري)
“Dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah saw. melaksanakan shalat Shubuh dalam keadaan masih gelap, kemudian beliau mengendarai tunggangannya seraya bersabda: “Allahu Akbar, hancurlah Khaibar! Sesungguhnya kami apabila mendatangi perkampungan suatu kaum, (maka amat buruklah pagi hari yang dialami orang-orang yang diperingatkan tersebut) (Qs. Ash Shaffaat: 177). Orang-orang Khaibar keluar seraya berkata, “Muhammad dan Al Khamis!” Tsabit berkata, “Al Khamis artinya pasukan.” Maka Rasulullah saw. pun mengalahkan mereka, membunuh pasukan dan menawan tawanan. Maka Shafiah menjadi bagian Dihyah Al-Kalbi, kemudian ia menjadi milik Rasulullah saw. Beliau kemudian menikahinya, dan maharnya adalah pembebasannya.” ‘Abdul ‘Azizi berkata kepada Tsabit, “Wahai Abu Muhammad, apakah kamu bertanya kepada Anas bin Malik, apa yang Beliau jadikan mahar untuk wanita tersebut?” Tsabit menjawab, ‘Maharnya adalah pembebasannya.’ Ia pun tersenyum.” (HR. Al-Bukhari).
عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَجُلًا أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلَهُ عَنْ مَوَاقِيتِ الصَّلَاةِ فَقَالَ اشْهَدْ مَعَنَا الصَّلَاةَ فَأَمَرَ بِلَالًا فَأَذَّنَ بِغَلَسٍ فَصَلَّى الصُّبْحَ حِينَ طَلَعَ الْفَجْرُ ثُمَّ أَمَرَهُ بِالظُّهْرِ حِينَ زَالَتْ الشَّمْسُ عَنْ بَطْنِ السَّمَاءِ ثُمَّ أَمَرَهُ بِالْعَصْرِ وَالشَّمْسُ مُرْتَفِعَةٌ ثُمَّ أَمَرَهُ بِالْمَغْرِبِ حِينَ وَجَبَتْ الشَّمْسُ ثُمَّ أَمَرَهُ بِالْعِشَاءِ حِينَ وَقَعَ الشَّفَقُ ثُمَّ أَمَرَهُ الْغَدَ فَنَوَّرَ بِالصُّبْحِ ثُمَّ أَمَرَهُ بِالظُّهْرِ فَأَبْرَدَ ثُمَّ أَمَرَهُ بِالْعَصْرِ وَالشَّمْسُ بَيْضَاءُ نَقِيَّةٌ لَمْ تُخَالِطْهَا صُفْرَةٌ ثُمَّ أَمَرَهُ بِالْمَغْرِبِ قَبْلَ أَنْ يَقَعَ الشَّفَقُ ثُمَّ أَمَرَهُ بِالْعِشَاءِ عِنْدَ ذَهَابِ ثُلُثِ اللَّيْلِ أَوْ بَعْضِهِ شَكَّ حَرَمِيٌّ فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ أَيْنَ السَّائِلُ مَا بَيْنَ مَا رَأَيْتَ وَقْتٌ. (رواه مسلم)
“Dari Sulaiman bin Buraidah dari Ayahnya bahwa seorang laki-laki menemui Nabi saw. dan bertanya kepada beliau tentang waktu-waktu shalat. Beliau lalu bersabda; “Ikutlah shalat bersama kami.” Lalu beliau memerintahkan Bilal supaya mengumandangkan adzan ketika keadaan masih gelap, lalu beliau mengerjakan shalat subuh ketika fajar terbit, setelah itu beliau memerintahkan supaya mengumandangkan adzan zhuhur, yaitu ketika matahari agak condong dari permukaan langit, kemudian beliau memerintahkan shalat ashar ketika matahari telah putih bersih belum tercampuri oleh warna kuning, kemudian beliau memerintahkan Bilal supaya mengumandangkan (adzan) shalat maghrib ketika terbenamnya matahari, kemudian beliau memerintahkan untuk mengumandangkan (adzan shalat) Isya` ketika sepertiga malam -atau sebagiannya telah pergi, Harami ragu- keesokan harinya, beliau bertanya: “Dimanakah orang yang bertanya tadi? Diantara kedua waktu itulah, waktu-waktu shalat.” (HR. Musllim)
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ قَالَ لَمَّا قَدِمَ الْحَجَّاجُ الْمَدِينَةَ فَسَأَلْنَا جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ فَقَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي الظُّهْرَ بِالْهَاجِرَةِ وَالْعَصْرَ وَالشَّمْسُ نَقِيَّةٌ وَالْمَغْرِبَ إِذَا وَجَبَتْ وَالْعِشَاءَ أَحْيَانًا يُؤَخِّرُهَا وَأَحْيَانًا يُعَجِّلُ كَانَ إِذَا رَآهُمْ قَدْ اجْتَمَعُوا عَجَّلَ وَإِذَا رَآهُمْ قَدْ أَبْطَئُوا أَخَّرَ وَالصُّبْحَ كَانُوا أَوْ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّيهَا بِغَلَسٍ. (رواه مسلم)
“Dari Muhammad bin ‘Amru bin Hasan bin Ali katanya; “Ketika Hajjaj tiba di Madinah, kami bertanya kepada Jabir bin Abdullah seraya berkata; Rasulullah saw. pernah shalat zhuhur di pertengahan siang ketika hari sangat panas, dan ashar ketika matahari masih bersih, dan maghrib ketika matahari terbenam, dan isya` kadang beliau mengakhirkannya dan kadang beliau menyegerakannya. Jika beliau lihat para sahabat telah berkumpul, maka beliau menyegerakannya dan jika beliau lihat para sahabat kurang bergegas mendatanginya, beliau akan mengakhirkannya, adapun subuh maka para sahabat atau Nabi saw. melakukannya ketika pagi masih gelap gulita.” (HR. Muslim)
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي مُوسَى عَنْ أَبِيهِ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ أَتَاهُ سَائِلٌ يَسْأَلُهُ عَنْ مَوَاقِيتِ الصَّلَاةِ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِ شَيْئًا قَالَ فَأَقَامَ الْفَجْرَ حِينَ انْشَقَّ الْفَجْرُ وَالنَّاسُ لَا يَكَادُ يَعْرِفُ بَعْضُهُمْ بَعْضًا ثُمَّ أَمَرَهُ فَأَقَامَ بِالظُّهْرِ حِينَ زَالَتْ الشَّمْسُ وَالْقَائِلُ يَقُولُ قَدْ انْتَصَفَ النَّهَارُ وَهُوَ كَانَ أَعْلَمَ مِنْهُمْ ثُمَّ أَمَرَهُ فَأَقَامَ بِالْعَصْرِ وَالشَّمْسُ مُرْتَفِعَةٌ ثُمَّ أَمَرَهُ فَأَقَامَ بِالْمَغْرِبِ حِينَ وَقَعَتْ الشَّمْسُ ثُمَّ أَمَرَهُ فَأَقَامَ الْعِشَاءَ حِينَ غَابَ الشَّفَقُ ثُمَّ أَخَّرَ الْفَجْرَ مِنْ الْغَدِ حَتَّى انْصَرَفَ مِنْهَا وَالْقَائِلُ يَقُولُ قَدْ طَلَعَتْ الشَّمْسُ أَوْ كَادَتْ ثُمَّ أَخَّرَ الظُّهْرَ حَتَّى كَانَ قَرِيبًا مِنْ وَقْتِ الْعَصْرِ بِالْأَمْسِ ثُمَّ أَخَّرَ الْعَصْرَ حَتَّى انْصَرَفَ مِنْهَا وَالْقَائِلُ يَقُولُ قَدْ احْمَرَّتْ الشَّمْسُ ثُمَّ أَخَّرَ الْمَغْرِبَ حَتَّى كَانَ عِنْدَ سُقُوطِ الشَّفَقِ ثُمَّ أَخَّرَ الْعِشَاءَ حَتَّى كَانَ ثُلُثُ اللَّيْلِ الْأَوَّلِ ثُمَّ أَصْبَحَ فَدَعَا السَّائِلَ فَقَالَ الْوَقْتُ بَيْنَ هَذَيْن (رواه مسلم)
“Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Musa dari Ayahnya dari Rasulullah saw., bahwa seseorang datang menemui beliau dan bertanya tentang waktu-waktu shalat, namun beliau tidak menawabnya sama sekali. Kata ayah Abu Musa; “Kemudian beliau mendirikan shalat fajar ketika fajar baru merekah dan antara sahabat satu dengan yang lain belum bisa mengenal, kemudian beliau memerintahkan (untuk mendirikan shalat shubuh), setelah itu beliau mendirikan shalat zhuhur ketika matahari condong, lantas penanya berkata; “Siang telah berlalu separuhnya.!” seolah-olah dirinya orang yang paling pandai di antara mereka, kemudian beliau memerintahkan lalu beliau mendirikan shalat ashar ketika matahari masih tinggi,
kemudian beliau memerintahkan supaya mendirian shalat maghrib ketika matahari tenggelam, setelah itu beliau memerintahkan supaya beliau mendirikan shalat isya`, yaitu ketika mega merah telah hilang, keesokan harinya beliau mengakhirkan shalat fajar, seusai shalat (fajar) laki-laki itu berkata; ‘Matahari telah terbit atau nyaris terbit.!” Setelah itu beliau mengakhirkan shalat zhuhur hingga mendekati waktu ‘ashar seperti waktu kemarin, kemudian beliau mengakhirkan shalat ashar, setelah selesai shalat penanya berkata; “Matahari telah memerah.!” kemudian beliau mengakhirkan shalat maghrib hingga syafaq (mega merah) menghilang, setelah itu beliau mengakhirkan shalat isya` hingga sepertiga malam pertama berlalu, di pagi hari beliau memanggil si penanya, lalu beliau bersabda: ‘Waktu-waktu shalat ada di antara dua waktu ini.” (HR. Muslim)
عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَصْبِحُوا بِالصُّبْحِ فَإِنَّهُ أَعْظَمُ لِأُجُورِكُمْ أَوْ أَعْظَمُ لِلْأَجْرِ. (رواه الخمسة و صححه الترمذي وابن حبان)
“Dari Rafi’ bin Khadij dia berkata; Rasulullah saw. bersabda: “Laksanakanlah shalat Shubuh ketika pagi telah tiba, karena itu lebih besar pahalanya bagi kalian, atau lebih besar pahalanya.” (HR. at-Tirmidzi dan lainnya)
عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ أَسْفِرُوا بِالْفَجْرِ فَإِنَّهُ أَعْظَمُ لِلْأَجْر. (رواه الترمذي والنسائي و أحمد)
“Dari Rafi’ bin Khadij ia berkata; “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Shalatlah subuh ketika agak siang, karena itu lebih banyak pahalanya.” (HR. at-Tirmidzi, an-Nasa’i dan Ahmad)
Ibadah shalat merupakan salah satu ibadah mahdah yang telah ditentukan tata cara dan waktu pelaksanaannya. Bahkan di dalam al-Qur’an secara tegas disebutkan bahwa shalat merupakan kewajiban yang telah ditentukan waktunya bagi orang-orang yang beriman, sebagaimana dijelaskan dalam surat An-Nisa’: 103. Dalam surat Hud ayat 114 dan surat al-Isra’ ayat 78 juga dijelaskan tentang waktu pelaksanaan shalat wajib secara lebih spesifik. Begitu pula halnya dalam hadits Nabi saw. ditemukan banyak sekali hadits-hadits Nabi yang berbicara tentang waktu shalat, bahkan secara sangat rinci dan detail, termasuk di antaranya tentang waktu shalat subuh. Atas dasar itulah dalam kitab-kitab fikih persoalan waktu-waktu shalat (mawaqit as-shalah) ini termasuk persoalan yang sangat diperhatikan.
Abdurrahman al-Jaziri menjelaskan menurut mayoritas ulama, masuknya waktu merupakan salah satu syarat sahnya shalat. Sehingga tidak wajib bagi seorang mukallaf untuk melaksankan shalat, kecuali jika telah masuk waktunya. Sedangkan mazhab Hanafi sekalipun tidak menjadikan masuknya waktu sebagai syarat wajib maupun syarat sahnya shalat. Namun mereka tetap berpendapat bahwa masuknya waktu sebagai syarat untuk melaksanakan shalat (Al-Fiqh ‘ala madzahib al-Arba’ah: 180)
Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa, berbicara tentang waktu shalat merupakan persoalan yang sangat penting untuk dituntaskan, sehingga dapat memberikan kepastian dan menjawab berbagai macam keraguan di tengah masyarakat, khususnya yang terkait dengan waktu subuh. Oleh sebab itu, dalam tulisan ini membahas tentang problematika waktu shalat subuh perspektif empat imam mazhab.
Dalam kitab al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah dijelaskan bahwa, untuk mengetahui masuknya waktu-waktu shalat dapat menggunakan dua cara, yaitu dengan falakiyah (hisab) yang dihasilkan dan dijelaskan dengan ilmu hisab yang benar, dan rukyat atau melihat fenomena alam sesuai dengan masing-masing waktu shalat fardhu. Misalnya, tergelincirnya matahari, untuk mengetahui tibanya waktu shalat dzuhur, terbenamnya matahari untuk mengetahui tibanya waktu shalat maghrib, hilangnya mega merah (syafaq al-ahmar) atau sinar putih (syafaq al-abyadh) setelah hilangnya mega merah untuk mengetahui tibanya waktu shalat isya’ dan sinar putih (khait al-abyadh) yang tampak di ufuk, untuk mengetahui tibanya waktu shalat subuh (Al-Fiqh ‘ala madzahib al-Arba’ah: 182).
Menentukan Waktu Shalat
Dalam menentukan tibanya waktu shalat, terdapat beberapa pertimbangan yang perlu diperhatikan sebagaimana dijelaskan dalam banyak hadits Nabi saw., baik secara tersurat maupun tersirat. Pertimbangan-pertimbangan tersebut antara lain;
Waktu shalat dimulai setelah berakhirnya waktu shalat sebelumnya.
عَنْ أَبِي قَتَادَةَ قَالَ….أَمَا إِنَّهُ لَيْسَ فِي النَّوْمِ تَفْرِيطٌ إِنَّمَا التَّفْرِيطُ عَلَى مَنْ لَمْ يُصَلِّ الصَّلَاةَ حَتَّى يَجِيءَ وَقْتُ الصَّلَاةِ الْأُخْرَى فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَلْيُصَلِّهَا حِينَ يَنْتَبِهُ لَهَا فَإِذَا كَانَ الْغَدُ فَلْيُصَلِّهَا عِنْدَ وَقْتِهَا….(رواه مسلم)
“Dari Abi Qatadah berkata…(Rasulullah saw. bersabda): “Tidaklah dikatakan mengakhirkan (meremehkan) shalat karena ketiduran, hanya saja meremehkan (shalat) itu bagi orang yang tidak menunaikan shalat hingga tiba waktu shalat yang lain. Oleh kerena itu, siapa yang melakukan hal ini, hendaknya ia shalat ketika sadar/terjaga. Dan hendaknya esok hari ia melakukan tepat pada waktunya.” (HR. Muslim)
عَنْ أَبِي قَتَادَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْسَ فِي النَّوْمِ تَفْرِيطٌ إِنَّمَا التَّفْرِيطُ فِي الْيَقَظَةِ أَنْ تُؤَخِّرَ صَلَاةً حَتَّى يَدْخُلَ وَقْتُ أُخْرَى. (رواه أبو داود)
“Dari Abu Qatadah dia berkata; Rasulullah saw. bersabda: “Tidak ada sikap lalai ketika tidur, akan tetapi kelalaian itu hanya ada ketika terjaga, yaitu mengakhirkan shalat hingga datang waktu shalat yang lain.” (HR. Abu Dawud)
Tidak Adanya Waktu Vakum Antara Satu Shalat Dengan Shalat Berikutnya.
Pada prinsipnya tidak ada waktu kosong (waktu vakum) antara satu shalat sebelumnya dengan shalat berikutnya, kecuali antara waktu shalat subuh dengan awal tibanya waktu shalat dzuhur karena adanya dalil khusus yang menjelaskan tentang awal tibanya waktu shalat dzuhur. Hal ini selaras dengan beberapa hadits yang menjelaskan tentang waktu shalat sebagaimana dijelaskan di atas yang juga dijelaskan oleh as-Shan’ani dalam Subulussalam; “Fainnahu dalilun ‘ala imtidad waqti kullu shalatin ila dukhul waqtin ukhra, illa annahu makhshushun bi al-fajri faina akhira waqtiha thulu’ al-syamsi wa laisa biwaqti allati ta’udduha.” Artinya, “maka sesungguhnya (hal tersebut) sebagai argumentasi (bukti) atas berlangsungnya waktu shalat hingga masuk waktu (shalat) berikutnya, hanya saja khusus untuk shalat fajar (shalat subuh) maka sesungguhnya akhir waktunya (sampai) terbitnya matahari dan bukan berdasarkan waktu yang ditentukan.” (Subulussalam: 1: 195)
Terdapat beberapa teori tentang klasifikasi waktu shalat menurut para ulama’ fikih, khususnya di kalangan empat imam mazhab. Ada yang mengklasifikasikannya menjadi empat macam hingga delapan kategori. Berikut ini pendapat para ulama’ tentang klasifikasi waktu shalat. Pertama, pendapat yang membagi menjadi empat kategori waktu;
Waktu utama atau afdhal
Hal ini didasarkan pada hadits tentang keutamaan shalat di awal waktu:
عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْأَعْمَالِ أَفْضَلُ قَالَ الصَّلَاةُ لِوَقْتِهَا وَبِرُّ الْوَالِدَيْنِ ثُمَّ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ. (رواه البخاري)
“Dari Ibn Mas’ud ra., bahwa seorang laki-laki pernah bertanya kepada Nabi saw., amalan apa yang paling utama? ‘ Nabi menjawab: “Shalat tepat pada waktunya, berbakti kepada kedua orang tua, dan jihad di jalan Allah.” (HR. al-Bukhari)
عَنْ أُمِّ فَرْوَةَ قَالَتْ سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْأَعْمَالِ أَفْضَلُ قَالَ الصَّلَاةُ فِي أَوَّلِ وَقْتِهَا. (رواه مسلم و أبو داود)
“Dari Ummu Farwah dia berkata; Rasulullah saw., ditanya; Amalan apakah yang paling utama? Beliau menjawab: “Shalat di awal waktu.” (HR. Muslim dan Abu Dawud)
Waktu longgar atau waktu p
Waktu longgar adalah waktu yang berada pada waktu shalat tertentu sebelum mendekati tibanya waktu shalat berikutnya. Waktu-waktu ini merupakan bagian dari waktu yang telah ditentukan oleh nash untuk melaksanakan jenis shalat tertentu, sebagaimana dipahami dari beberapa hadits Nabi, antara lain:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ أَخَّرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةَ الْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ. (رواه البخاري)
“Dari Anas bin Malik berkata, “Nabi saw. pernah mengakhirkan shalat ‘Isya hingga pertengahan malam.” (HR. al-Bukhari)
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ أَعْتَمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ حَتَّى ذَهَبَ عَامَّةُ اللَّيْلِ وَحَتَّى نَامَ أَهْلُ الْمَسْجِدِ ثُمَّ خَرَجَ فَصَلَّى فَقَالَ إِنَّهُ لَوَقْتُهَا لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي. (رواه مسلم)
“Dari ‘Aisyah katanya; “Suatu malam Nabi saw. mendirikan shalat ‘atamah (isya`) sampai berlalu sebagian besar malam dan penghuni masjid pun ketiduran, setelah itu beliau datang dan shalat. Beliau bersabda: “Sungguh ini adalah waktu shalat isya’ yang tepat, sekiranya aku tidak memberatkan umatku.” (HR. Muslim)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ أَنْ يُؤَخِّرُوا الْعِشَاءَ إِلَى ثُلُثِ اللَّيْلِ أَوْ نِصْفِهِ. (رواه الترميذي)
“Dari Abu Hurairah ia berkata; “Rasulullah saw. bersabda: “Sekiranya tidak memberatkan umatku, sungguh akan aku perintahkan mereka untuk mengakhirkan shalat isya hingga sepertiga atau pertengahan malam.” (HR. at-Tirmidzi)
Waktu dharurat
Pengertian waktu dharurat di sini bisa memiliki makna, dekatnya waktu shalat tertentu dengan akan tibanya waktu shalat berikutnya, sehingga orang yang melaksanakan shalat berada di waktu yang sangat dekat dengan waktu shalat berikutnya. Pengertian yang kedua, waktu dharurat juga dikaitkan dengan ahlu al-dharurah (orang yang berada pada posisi dharurat), seperti seorang wanita yang terhenti darah menstruasinya menjelang akhir waktu shalat, sehingga ia berada dalam waktu yang sangat terbatas untuk melaksanakan thaharah dan melaksanakan shalat yang menjadi kewajibannya. Dasar haditsnya:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ أَدْرَكَ مِنْ الصُّبْحِ رَكْعَةً قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ الصُّبْحَ وَمَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ الْعَصْرِ قَبْلَ أَنْ تَغْرُبَ الشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ الْعَصْرَ. (رواه البخاري و مسلم)
“Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa mendapatkan satu rakaat dari shalat subuh sebelum terbit matahari berarti dia mendapatkan subuh. Dan siapa yang mendapatkan satu rakaat dari shalat ‘Ashar sebelum terbenam matahari berarti dia telah mendapatkan ‘Ashar.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Shalat adalah satu jenis ibadah yang telah ditentukan waktu pelaksanaannya, sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 103. Dalam pelaksanaannya, terdapat waktu yang afdhal (utama) namun juga ada waktu yang dilarang melaksanakannya berdasarkan hadits yang shahih dan sharih. Waktu larangan tersebut ada yang bersifat mutlak seperti pada saat matahari terbit, ada pula yang larangannya itu tidak bersifat mutlak (muqayyad), juga karena sebab tertentu seperti larangan shalat ba’diyah subuh dan ashar. Tapi, seseorang boleh melaksanakan shalat karena sebab tertentu seperti kebolehan shalat jenazah sekalipun setelah pelaksanaan shalat ashar. Waktu terlarang shalat ini didasarkan salah satu hadits:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صَلَاتَيْنِ بَعْدَ الْفَجْرِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ وَبَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ. (رواه البخاري ومسلم)
“Dari Abu Hurairah berkata, “Rasulullah saw. melarang dari dua macam shalat; dua rakaat setelah Shubuh hingga terbit matahari dan dua rakaat setelah ‘Ashar hingga matahari terbenam.” (HR. al-Bukhari dan Mulim).
Ibnu Qudamah mengklasifikasikan waktu shalat menjadi dua kategori, yaitu: ikhtiyari (yang terdiri dari waktu fadhilah dan waktu tausi’ah) dan waktu dharuri. Sementara Imam as-Syafi’i membagi waktu shalat menjadi 8 (delapan) kategori, yaitu: (1) Waktu fadhilah (utama), yaitu di awal waktu; (2) Waktu ikhtiyar, yaitu setelah waktu fadhilah hingga tersisanya waktu untuk menyelesaikan shalat; (3) Waktu jawaz (waktu yang diperbolehkan untuk shalat) tanpa dimakruhkan; (4) Waktu tahrim (waktu yang diharamkan untuk shalat); (5) Waktu dharurat, yaitu akhir waktu bagi orang yang telah hilang faktor larangan shalat seperti haid dan nifas; (6) Waktu idrak, waktu antara awal waktu shalat hingga menjelang akhir bagi seseorang yang terkena faktor larangan shalat di waktu-waktu tersebut; (7) Waktu ‘uzur, waktu (bolehnya) menjamak shalat dzuhur dengan ashar atau shalat Maghrib dengan isya’, baik jamak taqdim maupun jamak ta’khir; (8) Waktu mubah bi al-karahah (waktu diperbolehkan namun dimakruhkan) untuk shalat, yaitu ketika tampak jelas warna kuning sebelum matahari terbenam.
Waktu makruh menurut mazhab Hanafi ada 5 macam yaitu: waktu terbitnya matahari, sebelum waktu terbit seukuran tidak ada kesempatan untuk shalat, waktu istiwa’ (saat tergelincirnya matahari), waktu ghurub (terbenam) matahari dan sebelum waktu ghurub setelah pelaksanaan shalat Ashar (Al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah: 186-187)
Sedang khusus terkait dengan waktu shalat subuh, Sayyid Abi Bakar ad-Dimyathi al-Mishri dalam kitabnya “I’anatu al- Thalibin, mengklasifikasikannya menjadi enam macam yaitu: Waktu utama (afdhal), waktu pilihan (ikhtiyar), waktu yang diperbolehkan tanpa dimakruhkan (mubah bi la karahah), waktu yang diperbolehkan namun dimakruhkan (mubah bi al-karahah), waktu yang diharamkan (waktu tahrim), dan waktu dharurat. (I’anatu al-Thalibin 1: 117). Sementara mazhab Maliki membagi waktu shalat subuh menjadi dua macam yaitu: waktu ikhtiyari (sejak terbit fajar shadiq sampai waktu Isfar (waktu cerah sebelum terbitnya matahari) dan waktu dharurat, yaitu setelah waktu Isfar sampai terbitnya matahari (Al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah: 185)
Terkait dengan waktu pelaksanaan shalat subuh, terdapat beberapa istilah yang harus diperhatikan. Setidaknya terdapat lima macam istilah yang terkait dengan waktu subuh, yaitu: 1) Waktu ghalas, waktu pagi ketika masih gelap gulita; 2) Waktu isfar, terangnya waktu fajar sehingga tidak lagi ada keraguan tentang kehadirannya atau sinar cerah sesaat sebelum terbitnya matahari; 3) Fajar kadzib, fajar pertama sebelum tibanya fajar shadiq, dimana langit terlihat cerah lalu kembali gelap gulita; 4) Fajar shadiq, yaitu fajar kedua dimana sinar putih terlihat di ufuk; 5) Thulu’ al-Syam, terbitnya matahari.
Waktu Shalat Subuh Perspektif Empat Imam Mazhab
Terkait permulaan dan akhir waktu shalat subuh, Ibnu Rusyd menjelaskan dalam Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid-nya, bahwa para ulama fikih sepakat bahwa permulaan waktu shalat subuh adalah ketika terbit fajar shadiq, sedangkan akhir waktunya adalah terbitnya matahari. Kecuali riwayat Ibnu Qasim dan beberapa ahli fikih Syafi’iyah yang menyimpulkan bahwa batas akhir waktu shalat subuh adalah sampai tampaknya sinar sebelum matahari terbit (waktu isfar). Sedang terkait dengan waktu pilihan (ikhtiyar) dari waktu subuh, terdapat beberapa pendapat, yaitu: Ahli fikih Kufah, Abu Hanifah, as-Tsauri dan jumhur ulama Irak berpendapat bahwa melaksanakan shalat subuh ketika sinar sudah tampak itu lebih bagus. Sedang Imam Malik, Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur dan Dawud berpendapat, bahwa melaksanakan shalat subuh ketika akhir malam (fajar shadiq) lebih bagus (afdhal). Perbedaaan pendapat tersebut disebabkan karena perbedaan dalam memahamai beberapa hadits berikut ini:
عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ أَسْفِرُوا بِالْفَجْرِ فَإِنَّهُ أَعْظَمُ لِلْأَجْرِ. (رواه الترمذي والنسائي)
“Dari Rafi’ bin Khadij ia berkata; “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Shalatlah subuh ketika waktu mulai terang (pagi), karena itu lebih banyak pahalanya.” (HR. at-Tirmidzi dan Nasa’i)
قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الْعَمَلِ أَفْضَلُ قَالَ الصَّلَاةُ عَلَى مِيقَاتِهَا. (رواه البخاري ومسلم)
“Abdullah bin Mas’ud ra., berkata berkata: “Aku bertanya kepada Rasulullah saw., aku katakan: “Wahai Rasulullah, amal apakah yang paling utama?” Beliau menjawab: “Shalat pada waktunya”. (HR. al-Bukhari dan Muslim)
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ إِنْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيُصَلِّي الصُّبْحَ فَيَنْصَرِفُ النِّسَاءُ مُتَلَفِّعَاتٍ بِمُرُوطِهِنَّ مَا يُعْرَفْنَ مِنْ الْغَلَسِ. (رواه البخاري)
“Dari ‘Aisyah ia berkata, “Jika Rasulullah saw. melaksanakan shalat Shubuh, maka para wanita yang ikut berjama’ah datang dengan menutup wajah mereka dengan tanpa diketahui oleh seorangpun karena hari masih gelap.” (HR. al-Bukhari)
Wahbah az-Zuhaili dalam Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh (hal. 507-508) menjelaskan bahwa waktu shalat subuh dimulai sejak terbit fajar shadiq hingga terbitnya matahari. Fajar shadiq adalah sinar putih yang terpancar cahayanya di ufuk, yang sebelumnya diawali dengan kemunculan fajar kadzib, yaitu cahaya yang muncul kemudian disusul kembali oleh kegelapan. Fajar shadiq sangat terkait dengan hukum-hukum agama, seperti dimulainya waktu berpuasa (Ramadhan) dan dimulainya waktu subuh dan berakhirnya waktu shalat isya. Hal yang sama juga dijelaskan Sayyid Sabiq dalam Fikih Sunnah (1: 72), waktu shalat subuh dimulai sejak terbitnya fajar shadiq dan berlangsung sampai terbitnya matahari. Sedang menurut pendapat di kalangan empat imam mazhab, dijelaskan sebagai berikut:
Pendapat Mazhab Hanafi
Dalam kitab al-Mabsuth, dijelaskan tentang pendapat mazhab ini, dimana Imam Hanafi berpendapat, waktu shalat fajar (subuh) dimulai sejak terbit fajar hingga terbitnya matahari. Baginya, fajar ada dua macam yaitu: Fajar kadzib, yaitu sinar putih yang muncul di langit secara horizontal lalu disusul dengan kegelapan, sedang fajar shadiq yaitu cahaya putih horizontal di ufuk. Kemunculan fajar Kadzib belum (dianggap) masuk waktu shalat dan tidak dilarang untuk makan dan minum bagi orang yang hendak berpuasa berdasar sabda Rasul saw.; “Janganlah kalian terperdaya (tertipu) oleh fajar vertikal (fajar kadzib), akan tetapi makan dan minumlah sampai terbitnya fajar horizontal (fajar shadiq) yang terbentang di ufuk.” Selain itu, pendapat Imam Hanafi didasarkan pada beberapa hadits antara lain:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ لِلصَّلَاةِ أَوَّلًا وَآخِرًا وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ صَلَاةِ الظُّهْرِ حِينَ تَزُولُ الشَّمْسُ وَآخِرَ وَقْتِهَا حِينَ يَدْخُلُ وَقْتُ الْعَصْرِ وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ صَلَاةِ الْعَصْرِ حِينَ يَدْخُلُ وَقْتُهَا وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِينَ تَصْفَرُّ الشَّمْسُ وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ الْمَغْرِبِ حِينَ تَغْرُبُ الشَّمْسُ وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِينَ يَغِيبُ الْأُفُقُ وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ الْعِشَاءِ الْآخِرَةِ حِينَ يَغِيبُ الْأُفُقُ وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِينَ يَنْتَصِفُ اللَّيْلُ وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ الْفَجْرِ حِينَ يَطْلُعُ الْفَجْرُ وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِينَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ.(رواه الترمذي و أحمد)
“Dari Abu Hurairah ia berkata; “Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya shalat mempunyai waktu awal dan waktu akhir. Awal waktu shalat zhuhur adalah ketika matahari tergelincir dan waktu akhirnya adalah ketika telah masuk waktu asar. Awal waktu shalat asar adalah ketika telah masuk waktunya dan akhirnya adalah ketika matahari berwarna kekuningan. Awal waktu shalat maghrib adalah ketika matahari terbenam dan waktu akhirnya adalah ketika warna kemerahan telah menghilang. Awal waktu isya adalah ketika warna merah telah menghilang dan waktu akhirnya adalah pertengahan malam. Dan awal shalat subuh adalah ketika terbit fajar, dan akhir waktunya adalah ketika matahari terbit.” (HR. at-Tirmidzi dan Ahmad).
Pendapat mazhab Hanafi tentang waktu subuh juga didasarkan pada beberapa hadits:
عن عَائِشَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ الْفَجْرِ قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَهَا (رواه النسائي)
“Dari Aisyah ra. dari Nabi saw., beliau bersabda: “Barang siapa mendapatkan satu rakaat shalat Subuh sebelum matahari terbit, dia telah mendapatkan shalat subuh.” (HR. an-Nasa’i)
أَخْبَرَنِي نَافِعُ بْنُ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ قَالَ أَخْبَرَنِي ابْنُ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَمَّنِي جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَام عِنْدَ الْبَيْتِ مَرَّتَيْنِ فَصَلَّى الظُّهْرَ فِي الْأُولَى مِنْهُمَا حِينَ كَانَ الْفَيْءُ مِثْلَ الشِّرَاكِ ثُمَّ صَلَّى الْعَصْرَ حِينَ كَانَ كُلُّ شَيْءٍ مِثْلَ ظِلِّهِ ثُمَّ صَلَّى الْمَغْرِبَ حِينَ وَجَبَتْ الشَّمْسُ وَأَفْطَرَ الصَّائِمُ ثُمَّ صَلَّى الْعِشَاءَ حِينَ غَابَ الشَّفَقُ ثُمَّ صَلَّى الْفَجْرَ حِينَ بَرَقَ الْفَجْرُ وَحَرُمَ الطَّعَامُ عَلَى الصَّائِمِ وَصَلَّى الْمَرَّةَ الثَّانِيَةَ الظُّهْرَ حِينَ كَانَ ظِلُّ كُلِّ شَيْءٍ مِثْلَهُ لِوَقْتِ الْعَصْرِ بِالْأَمْسِ ثُمَّ صَلَّى الْعَصْرَ حِينَ كَانَ ظِلُّ كُلِّ شَيْءٍ مِثْلَيْهِ ثُمَّ صَلَّى الْمَغْرِبَ لِوَقْتِهِ الْأَوَّلِ ثُمَّ صَلَّى الْعِشَاءَ الْآخِرَةَ حِينَ ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ ثُمَّ صَلَّى الصُّبْحَ حِينَ أَسْفَرَتْ الْأَرْضُ ثُمَّ الْتَفَتَ إِلَيَّ جِبْرِيلُ فَقَالَ يَا مُحَمَّدُ هَذَا وَقْتُ الْأَنْبِيَاءِ مِنْ قَبْلِكَ وَالْوَقْتُ فِيمَا بَيْنَ هَذَيْنِ الْوَقْتَيْنِ. (رواه الترمذي وأحمد)
“Telah mengabarkan kepadaku Nafi’ bin Jubair bin Muth’im berkata; telah mengabarkan kepadaku Ibnu Abbas bahwa Nabi saw. bersabda: “Jibril as. pernah mengimamiku di sisi Kabah dua kali. Pertama kali, ia shalat zhuhur ketika bayang-bayang seperti tali sandal. Kemudian ia shalat asar ketika bayangan sesuatu seperti benda aslinya. Kemudian shalat maghrib ketika matahari terbenam dan orang-orang yang berpuasa berbuka. Kemudian shalat isya ketika warna merah di langit hilang. Setelah itu ia shalat subuh ketika fajar terbit dan makanan menjadi haram bagi orang yang berpuasa. Pada kali kedua, ia shalat zhuhur bayangan sesuatu sebagaimana aslinya, persis untuk waktu shalat asar kemarin. Lalu ia shalat asar ketika bayangan setiap sesuatu dua kali dari benda aslinya. Kemudian ia shalat maghrib sebagaimana waktu yang lalu, lalu shalat isya yang akhir ketika telah berlalu sepertiga waktu malam. Kemudian shalat subuh ketika matahari telah merekah menyinari bumi. Setelah itu Jibril menoleh ke arahku seraya berkata; “Wahai Muhammad, ini adalah waktu para Nabi sebelummu, dan waktu shalat adalah antara kedua waktu ini.” (HR. at-Tirmidzi dan Ahmad)
Pendapat Mazhab Maliki
Dalam kitab Mawahib al-Jalil fi Syarhi Mukhtashar Syaikh Khalil, dijelaskan shalat fajar (shalat subuh) wajib dilaksanakan sejak terbit fajar kedua, yaitu waktu diharamkan makan dan minum bagi orang yang akan berpuasa. Tidak ada perbedaan pendapat awal waktu shalat subuh sejak terbit fajar shadiq, yaitu cahaya yang terbentang di ufuk. Hal sama juga dalam kitab Al-Kafi fi Fiqhi Ahli al-Madinah, bahwa awal waktu shalat subuh bila terbit fajar shadiq di ufuk timur, yaitu awal munculnya cahaya putih pertanda awal waktu siang (pagi hari) kemudian berlanjut sampai tibanya waktu isfar (sinar terang sebelum matahari muncul). Jika waktu Isfar tiba, habislah waktu ikhtiyar dan tidak boleh menunda shalat bagi orang yang tidak ada uzur sampai terbitnya matahari.
Pendapat Mazhab Syafi’i
Dalam kitab al-Umm (1: 63) dijelaskan bahwa, apabila fajar yang terakhir (fajar shadiq) sudah terlihat jelas, maka sah untuk shalat subuh dan siapa yang shalat sebelum terlihat jelas fajar tersebut, hendaknya mengulangi shalatnya saat pertama kali ia yakin terpancarnya sinar fajar shadiq. Imam Syafi’i mendasarkan pendapatnya tersebut sebagaimana matan hadits di atas (pada pembahasan sebelumnya). Dengan demikian sangat jelas sekali bahwa pendapatnya tentang awal waktu shalat subuh dimulai sejak terbit fajar dan berakhir hingga menjelang terbitnya matahari, sebagaimana pendapat mayoritas ahli fikih lainnya. Pendapat senada juga banyak dikemukakan oleh ulama’-ulama’ Syafi’iyah, sebagaimana terdapat dalam kitab-kitab kuning yang dikaji di pesantren seperti I’anatut Thalibin, Kifayatul Akhyar dan Al-Muhadzzab fi fiqhi al-Imam as-Syafi’i.
Pendapat Mazhab Hanbali
Ibnu Quddamah dalam al-Mughni menjelaskan pendapat mazhab Hambali dalam hal ini, menurutnya, apabila telah terbit fajar yang kedua, wajib untuk melaksanakan shalat subuh dan waktunya berakhir sampai menjelang terbitnya matahari. Siapa yang menjumpai satu rakaat sebelum matahari terbit, berarti ia telah mendapati shalat subuh. Kebolehan tersebut jika dalam keadaan dharurat. Bahkan secara tegas beliau mengatakan bahwa waktu subuh itu masuk sejak terbitnya fajar kedua (fajar shadiq) secara ijma’. Dikarenakan terdapatnya banyak dalil yang menjelaskan tentang waktu-waktu shalat (khususnya waktu subuh) yaitu sinar putih yang terpancar di ufuk yang disebut dengan fajar shadiq, karena ia memberikan kepastian (kebenaran) tentang tibanya waktu subuh, sedangkan fajar yang pertama (fajar kadzib) tidak menunjukkan tibanya waktu shalat subuh. Kemudian waktu ikhtiyar berakhir hingga tibanya waktu isfar (sinar terang sesaat sebelum terbitnya matahari) sesuai dengan hadits Jibril dan Buraidah, sedangkan waktu setelahnya disebut dengan waktu uzur dan dharurat sampai terbitnya matahari, sesuai dengan hadits Abdullah bin Amr: “Wa waqtul fajri ma lam tathlu’is syamsu (dan waktu subuh selama belum terbit matahari).”
Dari penjelasan para ulama’ fikih (Fukaha’), khususnya di kalangan empat imam mazhab terkait dengan permulaan waktu shalat subuh, disimpulkan bahwa para ulama sepakat tentang permulaan waktu shalat subuh yaitu sejak terbit fajar shadiq sampai menjelang terbitnya matahari. Hal ini didasarkan pada banyak hadits yang menjelaskan tentang persoalan tersebut. Sedangkan terkait dengan pendapat mazhab Hanafi yang menyatakan bahwa waktu shalat subuh yang utama (afdhal) pada saat pagi atau sinar matahari mulai tampak, dengan berargumen pada hadits Rafi’ bin Hadij, telah dijelaskan oleh para ulama maksud dari hadits tersebut. Sayyid Sabiq (Fikih Sunnah: 72-73) menjelaskan bahwa hadits Rafi’ bin Hadij yang memerintahkan untuk shalat subuh pada waktu pagi (Asbihu /Asfiru bis subhi fainnahu a’zhamu liujurikum), maksudnya adalah shalat subuh sejak terbit fajar sampai tibanya waktu isfar. Jadi waktu isfar itu merupakan waktu menjelang terbitnya matahari (menjelang akhir waktu subuh), bukan awal waktu untuk memulai shalat subuh. Sehingga makna hadits tersebut adalah memperpanjang bacaan (surat) sebagaimana yang dilakukan oleh Rasul dengan membaca 60 sampai 100 ayat yang dimulai sejak terbit fajar hingga tibanya waktu isfar.
Terlebih lagi ditemukan banyak hadits yang menjelaskan tentang keutamaan shalat di awal waktu, termasuk shalat subuh. Bahkan hadits Rafi’ bin Hadij tersebut dapat ditemukan penjelasannya dalam hadits lain, yang artinya: “Dari Abi Mas’ud al-Anshari, bahwasanya Rasulullah saw. shalat subuh terkadang ketika waktu masih gelap dan pada kesempatan yang lain ketika cahaya telah terang. Setelah itu shalatnya adalah pada saat taglis (waktu masih gelap) hingga beliau wafat dan tidak pernah mengulangi shalat subuh hingga cahaya telah terang.” (HR. Abu Dawud dan al-Baihaqi)
Dalam kitab Kasyful Qina’ ‘An Matnil Iqna’ juga dijelaskan bahwa hadits tersebut di atas sangat memadai untuk menjelaskan hadits Rafi’ bin Hadij. Hadits Abi Mas’ud sanadnya shahih, tsiqah, dan ziyadah min as-Tsiqah maqbulah. Ibnu Abdil Bar menyatakan, terdapat hadits shahih yang menjelaskan bahwa Nabi saw., Abu Bakar, Umar dan Utsman melaksanakan shalat subuh saat masih gelap (waktu taghlis). Ahli fikih yang berpendirian bahwa hadits riwayat Rafi’ di atas adalah khusus dan pernyataan Nabi mengenai shalat subuh pada permulaan waktu itu adalah umum. Sedang menurut ketentuan populer bahwa sesuatu yang khusus itu mengalahkan yang umum. Dengan demikian, hadits Aisyah difahami sebagai “boleh”. Hadits Aisyah itu tidak berarti Nabi selalu mengerjakan seperti itu. Maka, kelompok ini mengambil kesimpulan bahwa tatkala terbit sinar subuh itu lebih afdhal dibanding ketika masih gelap untuk melaksanakan shalat subuh.
Ruslan Fariadi, Peminat Kajian Hadits dan Mahasiswa Doktoral PPI-UMY
Sumber: Majalah SM No 1-5 Tahun 2019