‘Aisyiyah

aisyiyah

Di saat perempuan masih dianggap “konco wingking” dalam budaya patriarkhi yang kental di masyarakat Jawa awal abad ke-20, Kiai Ahmad Dahlan dan Siti Walidah melakukan kepeloporan. Kedua tokoh ini memandang perempuan seharusnya memiliki kesempatan sebagaimana laki-laki, mengabdikan diri untuk memajukan agama dan masyarakat.

Terdengar semisal ungkapan bahwa perempuan itu tempatnya di dapur, sumur, dan kasur. Kata Kiai Dahlan, “Urusan dapur janganlah dijadikan halangan untuk menjalankan tugas dalam menghadapi masyarakat.” Perempuan kerap dipersepsikan tak berdaya. Kata Nyai Walidah, “Wanita jangan memiliki jiwa kerdil, tetapi berjiwa srikandi.”

Langkah pertama yang dilakukan Kiai Dahlan bersama istrinya adalah membuka akses pendidikan bagi anak-anak perempuan. Pada 1913, Kiai Dahlan mengajak tetangganya menyekolahkan anak-anak perempuan mereka di Neutraal Meisjes School (kini menjadi SD 1 Ngupasan). Generasi pertama yang mengeyam bangku pendidikan ini adalah Siti Badriah, Siti Wadingah, dan Siti Dawimah. Upaya Kiai dan Nyai mendapatkan resistensi dari para ulama tradisional Kauman. Neutraal Meisjes School disebut sekolah orang kafir (Ahmad Adaby Darban, Sejarah Kauman, 2000).

Kiai juga memasukkan para gadis lainnya ke beberapa sekolah umum. Tahun 1914, Kiai bersama istri menyelenggarakan kursus agama bagi perempuan Kauman melalui kelompok Wal Ashri dan Maghribi School. Sebelumnya, pada 1911, Kiai Dahlan mendirikan dan mengelola Madrasah Diniyah Ibtidaiyah yang mengakomodir para siswa perempuan, semisal Siti Munjiyah dan Siti Umniyah (Mu’arif dan Hajar, Srikandi-Srikandi Aisyiyah, 2011).

Pendidikan membuka wawasan dan melahirkan kesadaran. Di tahun 1914, para anggota pengajian perempuan, siswa Madrasah Ibtidaiyah, dan siswa Neutraal Meusjes School membentuk perhimpunan Sapa Tresna. Perkumpulan ini menjadi embiro lahirnya ‘Aisyiyah.

Pemilihan nama ‘Aisyiyah merupakan usulan dari Haji Fachrodin dalam sebuah rapat yang diinisiasi Kiai Mokhtar dan dihadiri Kiai Dahlan, Ki Bagus, dan Nyai Walidah di rumahnya. Organisasi ini diharapkan senantiasa meneladani istri Nabi, Aisyah, gadis cerdas yang terlibat aktif dalam memajukan agama. Di ‘Aisyiyah, Kiai Dahlan memberi bimbingan agama dan Kiai Mokhtar memberi bimbingan administrasi dan organisasi.

Peresmian ‘Aisyiyah dilaksanakan dalam peringatan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad yang diselenggarakan PB Muhammadiyah pada 27 Rajab 1335 H/19 Mei 1917 M. Di antara pesan Nyai Walidah dalam peresmian ini adalah (1) Dengan keikhlasan hati menunaikan tugasnya sebagai wanita Islam sesuai dengan bakat dan kecakapannya, tidak menghendaki sanjung puji dan tidak mundur selangkah karena dicela, (2) Penuh keinsyafan, bahwa beramal itu harus berilmu… (Profil 1 Abad Muhammadiyah, 2010).

‘Aisyiyah sebagai kelompok tercerahkan, melakukan berbagai cara untuk menumpas buta huruf dan melibatkan diri dalam perjuangan menumpas kebodohan. Kaum perempuan diajak untuk meningkatkan pengetahuan, dan kemudian berpartisipasi di ruang publik.

Pada 1919, ‘Aisyiyah merintis pendidikan anak usia dini dengan nama Frobel School, yang menjadi cikal Taman Kanak-kanak pertama di Indonesia. Di kemudian hari, namanya diseragamkan menjadi TK ABA. Pada 1926, ‘Aisyiyah menerbitkan majalah Suara Aisyiyah.

Organisasi ini memiliki peran penting di masa perjuangan kemerdekaan. ‘Aisyiyah berada di balik Kongres Perempuan pertama, 22-25 Desember 1928, di Pendopo Joyodipuran, Mataram, Yogyakarta. Terutama melalui tokohnya Siti Munjiyah dan Siti Hayinah. (ribas)

Sumber: Majalah SM Edisi 6 Tahun 2020

Exit mobile version