Islam dan Dinamika Keagamaan di Indonesia
Oleh Prof DR H Haedar Nashir, M.Si.
Islam dan kekuatan agama di Indonesia memiliki posisi dan peran yang penting karena sejarah Indonesia tidak lepas dari kehadiran golongan agama. Manakala terdapat pihak yang mempertanyakan kenapa agama masuk di ranah publik di negeri ini, yang bersangkutan tentu berpikiran sekularistik ala Barat yang mengisolasi agama hanya di ranah pribadi atau domestik. Pada saat yang sama tentu kurang memahami sejarah dan peta sosiologis masyarakat Indonesia yang memang tidak terpisahkan dari agama dan umat beragama.
Ketika dalam Badan Usaha Penyelidikan dan Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) tahun 1945 maupun dalam Majelis Konstituante 1959 golongan Islam mengajukan Islam sebagai dasar negara, selain yang mengusulkan Pancasila, hal itu bukanlah bentuk pemikiran separatisme dan primordialisme atau apalagi radikalismeagama. Hal itu menunjukkan bahwa agama, selain ideologi, memang memiliki posisi dan peran fundamental dalam kehidupan umat manusia khususnya dalam kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia.
Masalahnya tentu saja bagaiamana substansi dan fungsi agama yang mesti dihadirkan ke ruang publik, yang menebar pencerahan dan misi rahmatan lil-‘alamin. Agama dan misi keagamaan yang menyebar nilai-nilai luhur kebaikan, damai, persaudaraan, kemanusiaan, dan dalam bahasa Muhammadiyah “ta’awun untuk negeri”. Bukan pesan, peran, dan isu-isu keagamaan yang menimbulkan permusuhan, kebencian, dan keterbelahan sesama umat maupun bangsa yang tentu saja bertentangan dengan nilai-nilai dasar agama manapun, lebih-lebih Agama Islam.
Jejak Historis
Indonesia sering disebut negara dan bangsa dengan kemajemukan umat beragama, di mana Islam merupakan golongan mayoritas di negeri yang dulu disebut Kelulauan Hindia. Kemajemukan agama sejak awal merupakan bagian dari jejak sejarah bangsa atau masyarakat Nusantara. Saling pengaruh agama sejak Hindu dan Budha, kemudian Islam, seterusnya Kristen dan Katholik menjadi bagian dari keragaman masyarakat Indonesia dalam beragama. Satu sama lain meninggalkan jejak yang menyatu dengan keindonesiaan. Dalam tulisan Crawfurd (2017, Volume 2), setelah “agama Nusantara” atau kepercayaan setempat, pada era awal hadir Hindu kuno yang banyak dianut mayarakat kala itu dan sebagian Budha yang jejaknya dapat dilihat dalam berbagai prasasti, arca-arca, dan candi seperti Candi Prambanan (Hindu) dan Candi Borobudur (Buhda).
Setelah itu datang Islam, bagi penduduk kepulauan Hindia, menurut Crawfurd (2017: 214), agama ini diterima dari jazirah Arabia dalam paham atau keyakinan yang ortodoks dan sejak itu penyebaran agama Islam terus berlangsung sampai menjadi mayoritas di negeri Nusantara. Crawfurd menuliskan, “Di antara empat mazhab besa4 yang semuanya juga ortodoks, seluruh masyarakat Nusantara dengan beberapa pengecualian yang tak penting untuk disebutkan, merupakan penganut mazhab Syafii, mazhab yang umum dianut di tanah Arabia, dan lebih khusus, di daerah pesisir negeri tersebut yang merupakan asal para penyebar Islam pertama di Nusantara.”. Meskipun ortodoksi Islam itu kaku, tetapi bukan berarti pemeluk agama Islam di kepulauan tersebut mereka intoleran. Di antara penganut Islam di Nusantara, tulis Crawfurd, masyarakat Jawa merupakan penganut Islam yang paling longgar dalam melaksanakan ajaran ibadah agamanya.
Menarik apa yang ditulis Crawfurd tentang kehadiran Agama Kristen di Kepulauan Hindia setelah era Hindu, Budha, dan Islam. Agama ini datang bersamaan dengan petualangan dan penjajahan Portugis dan Spanyol, kemudian disusul Belanda ke Indonesia. Crawfurd (2017: 223) menulis: “Para petualang Portugis dan Spanyol, yang merupakan bangsa Eropa pertama, yang sampai ke Nusantara, terkenal akan kefanatikan agama dan tindakan intoleran, pada masanya, sehingga begitu mereka bertemu para penduduk pribumi, mereka segera bekerja menyebarkan agamanya.”. Sayangnya, tulis administratur dan peneliti dari Inggris ini, hal tersebut terjadi sesaat sebelum kedatangan mereka di Nusantara, para penduduk pribumi telah menerima agama baru dan yang lebih populer —maksudnya Islam— karena disebarkan dengan begitu terampil dan dalam kondisi yang lebih dapat diterima dengan karakter pribumi, kondisi masyarakat, dan kesejahteraan yang dibawa mereka.
Namun corak keragaman agama dan karakter yang dibawa masing-masing secara berproses membentuk kesatuan kehidupan dalam masyarakat di Kepulauan Hindia saat itu, yang kemudian melalui proses pergumulam sejarah menjadikan mereka hidup berdampingam secara damai di negeri kepulauan Indonesia itu. Selain agama, masyarakat Indonesia juga secara niscaya terdiri atas beragam suku, ras, dan kedaerahan dengan sebaran yang luar biasa, yang membentuk masyarakat manemuk atau Bhineka Tunggal Ika. Tentu saja dalam masyarakat yang heterogen terdapat perbedaan yang tajam dan kadang sulit dipersatukan. Dalam masyarakat yang homogen sekalipun masalah interaksi sosial akan diwarnai perbedaan dan konflik kepentingan satu sama lain.
Ketika bangsa Indonesia yang bineka itu bersatu, menurut para ahli hal itu terjadi karena ada nilai perekat yang disepakati bersama, yakni Pancasila, yang menjadi komitmen nasional para pendiri bangsa tahun 1945 melalui proses pergumulan yang intens dan sarat pengorbanan, termasuk peran Ki Bagus Hadikusumo dan Kasman Singodimedjo dalam memberi solusi dari tujuh kata pada Piagam Jakarta ke Sila Ketuhanan Yang Maha Esa demi keutuhan Indonesia yang baru satu hari merdeka. Peristiwa sejarah yang penting itu oleh Menteri Agama Alamsjah Ratu Perwiranegara disebut sebagai “hadiah terbesar umat Islam untuk Indonesia”. Dalam pandangan antropolog ternama, Koentjaraningrat, umat Islam sebagai mayoritas merupakan kekuatan integrasi sosial dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Pengaruh Islam
Khusus tentang umat Islam di Indonesia memang memiliki pengaruh kuat dan luas dalam kehidupan kemasyarakatan dan kebangsaan karena posisinya sebagai penduduk mayoritas. Selain itu, Islam dan umat Islam telah terbentuk lama dalam kehidupan masyarakat atau bangsa Indonesia sejak kedatangannya di negeri kepulauan ini pada abad ke-7 atau menurut versi lain setelah abad ke-7, sehingga terjadi proses integrasi sosial yang kuat di masyarakat Indonesia. Sementara itu proses Islamisasi di Nusantara pun berlangsung kultural sehingga Islam dapat menjadi agama yang dipeluk secara meluas dan menggantikan pengaruh Hundu yang sebelumnya banyak dianut penduduk Nusantara.
Pengaruh Islam pasca Hindu sangat menarik. Penyebaran Islam berlangsung secara damai dan membawa pengaruh pada corak Islamisasi yang bersifat sosial-kultural (Kartodirjo, 1993). Islam Indonesia berkembang menjadi agama masyarakat secara luas, sekaligus menjadi kekuatan integrasi nasional dalam pembentukan kebudayaan Indonesia (Kontjaraningrat, wawancara Kompas). Fenomena yang menarik, pada abad ke-19 masyarakat Jawa menjadi Islam, pada saat yang sama menjadi Muslim telah merupakan suatu identitas diri terutama di kalangan istana dan bangsawan, meskipun tidak selalu identik dengan menjalankan ritual ibadah (Furnivall, 2009: 109). Artinya umat Islam dan keislaman sejak awal telah menyatu dengan kehidupan masyarakat Indonesia.
Dalam proses Islamisasi yang “indigeneous” atau “mempribumi” Islam Indonesia membentuk muslim yang lembut, damai, toleran, dan harmoni. Menurut Esposito (1997), wajah Islam Indonesia lebih lembut, dibentuk oleh angin tropis dan pengalaman multikultural yang panjang. Inilah wajah Islam yang sekarang populer disebut Islam moderat atau Islam tengahan (wasithiyah). Islam moderat dalam bingkai sosio-historis masyarakat Indonesia tidaklah tunggal dan bukan merupakan identitas satu golongan, tetapi beragam orientasi pandangan termasuk golongan Islam modern yang watak dasarnya moderat tetapi memiliki pemikiran maju dan kritis terhadap keadaan yang dipandang memerlukan reformasi atau pembaruan. Deliar Noer (1996) bahkan menunjukkan bahwa golongan Islam modern sejak awal abad ke-20 memiliki peran yang penting dalam kebangkitan Islam di Indonesia.
Dalam konteks ini maka menjadi tidak terhindarkan manakala Islam dan umat Islam secara sosiologis menjadi berpengaruh luas dalam kehidupan bangsa Indonesia. Namun keadaan tersebut tidak identik dengan kekuatan dalam kehidupan politik dan ekonomi, karena sampai batas yang jauh secara kualitatif pengaruh Islam dalam dua budang tersebut masih lemah. Pada situasi kekinian partai-partai Islam tidak merupakan kekuatan dominan, prosentasenya pada Pemilu 2014 hanya menembus sekitar 29% lebih sedikit. Keadaan ini sering menimbulkan masalah tersendiri dalam artikulasi politik Islam antara harapan dan kenyataan, yang oleh Olivier Roy (1999) disebut sebagai “image politik Islam”. Di tubuh partai dan kekuatan politik Islam pun terjadi fragmentasi yang tajam, sehingga kekuatan Islam politik tidaklah sepadan dengan piramida demografis umat Islam sebagai penduduk mayoritas di Indonesia. Dalam bidang ekonomi jauh lebih tertinggal dan kalah oleh kelompok minoritas. Inilah agenda strategis yang penting menjadi pemikiran para elite dan tokoh Islam lebih dari sekadar berebut serpihan kekuasaan jangka pendek yang sering berakhir dengan benturan keras secara internal dan berujung kegagalan!
Sumber: Majalah SM Edisi 1 Tahun 2019