Al-Quddus, Yang Maha Suci

Al-Quddus

Dok Ilustrasi

Al-Quddus, Yang Maha Suci

Sebagai sifat Allah, Al-Quddus berarti suci dari segala kekurangan, kelemahan dan kesalahan, termasuk di dalamnya suci dari sangkaan, pemikiran dan imajinasi manusia. Sebab, tidak jarang manusia membayangkan dan menggambarkan Allah dengan keterbatasan akal pikirannya sendiri, sehingga Allah sering disamakan dengan dan diperlakukan seperti makhluk-Nya. Padahal, “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy Syura: 11)

Kesucian Allah itu kekal, tidak tergantung pada ruang dan waktu. Semua makh­luk di langit dan di bumi pun mengagungkan kesucian Allah dan mensucikan-Nya dari segala kekurangan. Sebagaimana firman Allah, “Senantiasa bertasbih kepada Allah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Yang Maha Raja Diraja, Yang Maha Suci (Al Quddus), Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS. Al-Jumu’ah:1).

Konsekuensi dari keyakinan Allah Yang Maha Suci tercermin dalam iktikad manusia un­tuk membersihkan dan mensucikan jasmani, hati dan akalnya. Dari sisi jasmaniah, Rasu­lu­llah memuji orang yang menjaga dirinya untuk se­lalu dalam keadaan berwudhu. Orang yang marah dan keruh hatinya juga disarankan untuk ber­wudhu. Artinya, kesucian jasmaniah akan mempengaruhi kesucian hati, jiwa dan pikiran seseorang.

Secara personal, kesucian diri diawali dari niat. Yaitu, niat untuk selalu berada dalam ridla-Nya. Jika niat seseorang mengerjakan kebaikan tidak karena Allah, maka di akhirat ia tidak akan mendapatkan apapun dari Allah. Bisa jadi ia akan mendapatkan keuntungan di dunia, namun ia tidak akan mendapatkan keberkahan hidup dari Allah. Niat suci dalam hati seseorang menjadi dasar bagaimana seseorang berperilaku terhadap dirinya dan orang lain.

Karenanya, secara sosial, seseorang juga niscaya mensucikan hati dan pikirannya. Ia tidak mudah berprasangka buruk kepada Allah dan sesama manusia. Ia tidak mudah iri dengki, berdusta dan mengkhianati sesamanya. Penyakit hati muncul ketika hati sudah tersentuh dan dinodai oleh nafsu duniawi. Maka, tidaklah mengherankan jika Jalaluddin Rumi pernah berpesan, “Genggamlah dunia ini seisinya, tapi jangan sekali-sekali dunia menyentuh hatimu.”

Dalam konteks pembentukan kepribadian, seorang muslim berkemajuan semestinya menjaga kejernihan berpikiranya. Kejernihan berpikir memiliki pengaruh positif dalam menjalani hidup dan kehidupan pada saat ingin mencapai target-target yang direncanakan. Yaitu, target untuk tetap maju dan berkembang sesuai dengan keridlaan-Nya.

Namun, ketika pikiran telah terbalut kecenderungan materialisme-hedonisme sebagai target hidupnya, maka hanya sedikit manusia yang mampu menjaga kesucian hati dan pikirannya. Ia akan terasing oleh dirinya sendiri di antara carut-marut kehidupan duniawi yang penuh tipu daya. Ala kulli hal, Al-Quddus semestinya menginspirasi seorang muslim untuk senantiasa membersihkan jasmani, pikiran dan hatinya. Kesucian diri inilah sebagai bekal mengarungi kehidupan dan berinteraksi sesama manusia. Wallahu a’lam.

Bahrus Surur-Iyunk, Kepala SMA Muhammadiyah 1 Sumenep

Sumber: Majalah SM Edisi 8 Tahun 2018

Exit mobile version