Beguru Kepada Romo Mangunwijaya
Mobil buatan Jepang mendaki. Setelah lewat jembatan Krasak masuk desa lalu mencari jalan menuju desa di atas. Termasuk wilayah Srumbung. Romo Mangun bilang, desa yang akan didatangi sudah dihapus dari peta. Karena kawasan rawan bencana. Bencana Merapi.
Waktu itu kami naik mobil bertiga. Yang memegang sopir teman saya wartawan yang punya hobi investigasi macam macam, Herin Priyono. Dia yang membujuk Romo Mangun agar mau diobati karena mengeluh matanya sakit. Saya diajak Herin agar berombongan lengkap. Maksudnya, rombongan dengan semangat kebinekaan yang otentik. Ada Romo Mangun yang pastur Ordo Pr atau Praja, ada saya yang wartawan Muhamadiyah inklusif yang akrab dengan Romo Mangun gara gara dia punya mahasiswa jurusan arsitektur yang sahabat saya Kotagede, Darwis Khudori. Lewat Darwis ini saya kenal dengan komunitas mahasiswa jurusan arsitektur UGM lengkap dengan para dosen, terutama dosen favorit seperti Romo Mangun.
Karena dekat, saya paling gampang wawancara dengan Romo lulusan Jerman ini. Waktu akan mulai kegiatan di lembah Code, saya ditawari oleh asisten Romo Mangun untuk bergabung memberdayakan masyarakat Gondolayu bawah Jembatan. Tetapi saya keburu diajak suami adik Mbah Putri dari Ibu untuk merantau ke Jakarta, cari pekerjaan yang wangun. Maklum waktu itu yang saya kerjakan sehari-hari adalah menjadi guru privat agama pada tiga keluarga juragan, menulis cerpen, cerita anak, naskah sandiwara radio, puisi, berita untuk dimuat di media komunitas lokal Kotagede, dan jalan jalan hiking melihat pemandangan indah di gunung dan menabung bahan untuk penulisan cerpen dan novel.
Kalau malam sehabis ngajar ngaji saya ngobrol dengan teman grup pecinta alam, atau latihan drama atau rapat aneka organisasi anak muda Kotagede. Juga menemani temu dari kampus yang ingin blusukan mengenal kotaku. Kesibukan macam ini dianggap tidak menghasilkan uang dan dianggap bukan pekerjaan. Maka sebelum saya ikut terjun ke lembah Code saya sudah disambar oleh keluarga untuk dinaikkan kereta api menuju Setasiun Gambir.
Saya pun berpisah dengan sahabat cah arsitek dan dosennya. Termasuk dengan Romo Mangun. Ternyata saya hanya bertahan di Jakarta setahun. Sebab kantor tempat saya magang ternyata sarang korupsi dan tokoh yang saya ikuti, pejabat tinggi eselon di bawah Dirjen, orangnya jujur atau malahan terlalu jujur justru tersingkir di departemennya saat ada pergantian menteri. Untung selama setahun itu saya masih memelihara komunikasi dengan komunitas sastra setempat, Kelompok Poci Bulungan dan Kelompok Sembilan Menteng Raya. Saya juga sempat merampungkan belajar saya di Balai Pendidikan Wartawan Jakarta.
Sepulang dari Jakarta, saya dipanggil untuk bekerja di harian Masa Kini. Saya pun bisa bertemu dengan Romo Mangun, Pater Dick Hartoko, pak Kuntowijoyo. Kang Adaby Darban dan para tokoh kampus, tokoh agama, tokoh LSM seperti mas Imam Yudotomo, Angger Jatiwijaya. Posisi mereka atau relasi mereka dengan saya secara resmi adalah sebagai narasumber berita yang saya tulis.
Tetapi dalam semangat hidup saya para tokoh itu saya angkat secara sepihak sebagai guru-guru saya. Guru ilmu, guru seni dan guru pengalaman hidup. Jadi saya berusaha dekat dengan semua narasumber berita saya, menjaga silaturahmi dan sering datang ke tempat mereka walau hanya untuk ngobrol atau lainnya.
Dengan Romo Mangun, atau YB Mangunwijaya, dalam kisah awal ini ketika saya diajak Herin Priyono menjemput Romo Mangun menuju desa Srumbung, mendaki mendekati langit ini kepentingannya adalah kepentingan kemanusiaan. Herin mengajak saya untuk menolong Romo Mangun berobat ke pengobatan alternatif, ke tempat seorang Kiai NU. Untuk kepentingan kemanusiaan ternyata sekat agama dan dekat ormas bisa menghilang dan tidak menjadi ganjalan.
Selama perjalanan mendaki, agak lama, Romo Mangun bercerita tentang pengalaman dia berperang gerilya melawan Belanda. Seru juga dan saya langsung ingat kisah pengalaman perang yang diberi Ayah saya sejak kecil. Saya bisa membayangkan bagaimana seru adegan perang itu. Saya bisa menanyakan detail adegan perangnya.
Tidak terasa kami sampai di atas. Pemandangan di bawah, wow, langit cerah dan saya ingat pemandangan lembah Yogya jika dilihat dari bukit Cinamati, Terong atau Dlingo Bantul yang di waktu muda sering saya saksikan saat hiking.
Kami kulonuwun, ketemu Kiai itu. Mulailah Kiai itu menjalankan SOP pengobat alternatif model dia. Sebagai pasien, Romo Mangun pasrah.
Pak Kiai NU ini memulai ikhtiar pengobatan dengan membaca Al Fatihah, syahadat, sholawat Nabi dilanjutkan doa penyembuhan. Dia meniup air di botol dan memijat Romo Mangun.
Pengobatan selesai, dilanjutkan ngobrol sebentar. Kiai sangat ramah dan rupanya sudah kenal akrab dengan Herin. Lalu pamit pulang.
Di dekat rumahnya ada masjid mungil. Pohon kelengkeng kalau tidak salah, tumbuh besar. Rimbun dan sejuk.
Kami naik mobil turun, hati hati. Dalam perjalanan pulang kembali Romo Mangun bercerita tentang pengalaman hidupnya yang kadang disalahfahami orang.
Kami sampai bawah dan masuk ke pinggir kota, menuju jl Gejayan, di gang Kuwera tempat Romo Mangun tinggal. Mau dimampirkan ke rumah beliau, tapi kami menolak karena harus segera masuk kantor.
Beberapa bulan kemudian saya dapat cerita dari Herin kalau mata Romo Mangun membaik. Bahkan kabarnya dia mengajak teman pastur lain berobat ke Kiai itu. Dalam ikhtiar berobat seperti ini yang penting kan kecocokan.
Hubungan saya dengan Romo Mangun terus terpelihara dengan baik. Lebih-lebih ketika saya diminta untuk menjadi penyunting buku kumpulan esai dia yang kemudian diberi judul Tumbal. Beliau setuju dengan judul karena sesuai dengan isinya tentang kecenderungan rezim menumbalkan rakyat demi suksesnya pembangunan.
Ketika Paus Paulus II berkunjung ke Indonesia dan datang di Yogyakarta, pak AR menyambut dengan surat terbuka yang berisi tentang kondisi umat beragama Indonesia yang penuh toleransi. Pak AR Fakhruddin juga memberi gambaran tentang kiprah Muhamadiyah di Indonesia dan menyinggung hubungan antar umat beragama yang damai. Sebagai tokoh Muhammadiyah, Pak AR terbuka dan apa adanya. Isi surat ini dimuat di Yogya Post.
Romo Mangun membaca surat pak AR Fakhruddin itu (dan sangat mungkin mendapat copy lengkapnya) dan kemudian menderita sakit. Waktu itu sedang jaya-jayanya Yogya Post dan saya mendapat tugas menjenguk dan ‘mengawal’ Romo Mangun. Setiap pagi saya ke RS Panti Ratih untuk ngobrol atau semacam menghibur beliau. Romo Mangun menyiapkan surat balasan untuk Pak AR dan dia minta agar dimuat di Yogya Post. Karena surat itu panjang, Redaksi bermaksud menyingkat. Tetapi Romo Mangun tidak bersedia. “Dimuat lengkap semuanya, atau tidak sama sekali,” katanya mantap.
Saya yang penghubung jadi repot. “Sudah, nggak dimuat, nggak papa,” kata Romo Mangun mengurangi kerepotan saya.
Hari berikutnya ketika saya besuk, di kamar perawatan ada banyak tamu dari Gunungkidul. Romo Mangun bermaksud memberikan klarifikasi terhadap prasangka atau tuduhan bahwa ia melakukan Kristenisasi di pantai Gunungkidul. “Bapak bapak, ibu ibu tolong dijawab pertanyaan saya nggih. Apakah selama ini selama saya di Gunungkidul saya mengajak bapak dan ibu ibu masuk Kristen?” Tanya Romo Mangun di depan saya.
“Tidak Romo. Tidak.” Jawab tamu dari Gunungkidul.
“Mas tahu sendiri kan jawab mereka. Saya ke Gunungkidul karena panggilan kemanusiaan saya.” Kemudian hari saya dengar, apa yang dia lakukan di kampung bawah jembatan Gondolayu juga karena panggilan kemanusiaan. Bukan untuk menjalankan misi keagamaan. Bahkan di Gondolayu Romo Mangun mendisain Musholla untuk warga Muslim.
Tema tema obrolan saya dengan Romo Mangun biasanya tentang kemanusiaan itu. Karena di nilai dan ketahuan kemanusiaan itu semua orang bisa ketemu. Karena itu dia mengatakan kalau perjuangan politik dia adalah politik moral, membela kepentingan wong cilik dengan tulus sebagaimana beliau lakukan di Gondolayu, Gunungkidul dan Kedung Ombo. Ketika membahas advokasi masyarakat Kedung Ombo, Romo Mangun sering naik Vespa ke Pabelan bertemu dengan Kiai Hamam Jakfar. Keduanya memang cocok, menerjemahkan semangat keagamaan dalam bentuk misi kemanusiaan.
Tulisan beliau apa saja juga dimaksudkan untuk perjuangan kemanusiaan. Dan sebelum saya kenal langsung dari Romo Mangun, saya sudah kenal namanya sebagai pengisi acara Maulid Pop yang diadakan di kampus UGM. Semangat kemanusiaan yang membuatnya mau berceramah di acara Maulid Nabi dan ini membuat suasana keagamaan di Yogya menjadi sejuk. Dan ketika suatu karya kemanusiaan dia berupa arsitektur lingkungan pinggir Code mendapat penghargaan Agha Khan sebuah penghargaan internasional yang juga pernah diterima mahasiswa dia, Ahmad Fanani untuk arsitektur lingkungan pondok pesantren Pabelan, dia mau menerima sebagai penghargaan atas perjuangan kemanusiaan itu.
Dosen dan mahasiswa arsitektur di kampung yang sama-sama penghargaan internasional yang sama dari Yayasan Agha Khan. Tentu saja yang terlibat di lapangan untuk membantu suksesnya kegiatan di pinggir Code ini dia dibantu mahasiswanya yang banyak mengagumi karya Romo Mangun di bidang arsitektur tropis. Arsitektur lingkungan yang cocok untuk iklim tropis Indonesia. Dan saya berguru kepada tentang arsitektur tropis ini, dan tentang perjuangan kemanusiaan yang ternyata makin berat tantangannya justru di abad dua satu ini. (Mustofa W Hasyim)