Haedar Nashir: Apakah Ritual Ibadah Telah Membawa Perubahan Kualitas Kerohanian?

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah –. Idulfitri adalah hari raya berbuka puasa. Ketika satu syawal kita harus merayakan puasa yang kita tunaikan selama 1 bulan dengan cara kita berbuka, dan haram hukumnya kita berpuasa pada hari itu. Rukun ibadah seperti ini tentu punya makna mendalam yakni agar kita ada waktu untuk refleksi diri, bagaimana kita mengambil nilai hakikat dan makrifat dari ibadah puasa dan seluruh ibadah lainnya di bulan ramadan, agar tidak berhenti pada dimensi-dimensi rukun syariat semata.

Dalam kesempatan Pengajain Syawalan yang digelar oleh Universitas Ahmad Dahlan pada hari Kamis, 20 Mei 2021 Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof. Dr. Haedar Nashir, M.SI. mengajak untuk merefleksikan makna Idul Fitri.

“Idul Fitri sebagai hari raya berbuka puasa adalah simbol dari proses transformasi kita untuk merefleksikan bagaimana puasa rukun selama 1 bulan dan seluruh ibadah lainnya yang terikat pada tuntunan tuntunan yang diajarkan Rasulullah itu kemudian kita maknai agar melahirkan transformasi rusan niat terdalam dan memancarkan fungsi bagi kehidupan kita. Karena setiap tahun kita berpuasa dengan seluruh rangkaian ibadah lainnya. Tetapi apakah syiar dan seluruh rangkaian syariat rukun itu, telah melahirkan perubahan yang fundamental dan signifikan pada setiap tahun untuk mengubah diri kita menjadi orang-orang yang berkualitas takwa lebih baik? Sebab sering bahwa ibadah dan dimensi agama bahkan kehidupan lainnya itu selalu berada dalam posisi yang zona aman. Kita sudah merasa selesai dan sukses ketika kita sudah salat lima waktu, bahkan sekarang ada gerakan salat jamaah di berbagai tempat, kemudian kita juga sudah perintah untuk puasa ramadan pada setiap tahun.” tuturnya

Lebih lanjut Haedar mempertanyakan apakah ritual keagamaan kita telah merubah kualitas kerohanian kita.

“Kalau kita hitung pada setiap tahun, kita kali kan berapa kali kita sudah berpuasa dalam rentang perjalanan hidup kita, tentu terjadi akumulasi. Tetapi apakah akumulasi ritual rukun itu telah membawa juga perubahan dalam deret ukur kualitas kerohanian kita untuk menjadi lebih bertakwa la’allakum tattaqun. Kalau dilihat pada kata tattaqun itu fiil mudhori. Selalu ada dua kaitan proses waktu yakni pada saat ini dan kedepan untuk proses yang berkelanjutan dan karena itu fiil mudhori maka tentu sesuatu yang becoming yang terus menjadi, tidak sekali jadi. Proses ini harus menjadikan kita untuk belajar semakin serius.” Katanya.

Haedar juga membedah kandungan surat Ali-Imran 133-134. Ia memaparkan ciri orang bertaqwa ada tiga dalam dua ayat tersebut yaitu orang yang menginfakkan sebagian hartanya dikala lapang maupun dikala sempit.

“Berinfak itu mudah diucapkan tetapi susah dipraktekkan. Karena hukum harta dan watak dasar harta selalu ingin masuk dan tidak ingin keluar kecuali yang sejalan dengan hasrat kita. Saat ingin berinfak dan bersadaqah pada saat itu juga tidak seluruhnya hanya sebagian yang kita peroleh dari rezeki itu sering merasa bahwa infak, zakat, sodaqah itu mengeluarkan sesuatu yang tidak kembali. Dan sering kita diliputi oleh logika lahiriah yang sering membuat kita seperti fatamorgana.” ujarnya

Ia memeberikan contoh bahwa ketika kita mengeluarkan uang berapapun untuk hasrat kesenangan kita rasanya dari 100.000 menjadi 1.000.000 itu nyaris merasa bahwa itu sesuatu yang bermakna. Lupa bahwa ketika berinfak, bersodaqoh berzakat itu akan menjadi tiket kita masuk jannatin ‘ardhu hasssammawatu wal ardhu (surga yang luasnya seluas langit dan bumi) tetapi logika metafisik kerohanian seperti itu sering terkalahkan oleh logika lahiriah kita. Padahal agama juga mengajarkan bahwa dituntut infak sodaqoh, zakat itu adalah sebagian yang kita miliki tidak seluruhnya tetapi sebagianpun merasa berat.

Dalam kondisi seperti ini lebih-lebih pada saat pandemi bisakah kita peduli dan berbagi kepada orang lain yang mengalami kesulitan? Dengan harta yang kita miliki maka disitulah ujian kita bertaqwa.

Ciri yang kang kedua adalah orang yang menahan marah.

“Setiap hari kita dirangsang oleh hal-hal dalam kehidupan ini selain dari kesenangan, kebahagiaan dan energi positif juga kadang atau sering juga dengan stimulan-stimulan yang memancing amarah dan rasa marah, lebih-lebih di masa media sosial ini. Ketika kita bangun pagi sekalipun, kita sudah dihidangkan oleh berita-berita yang disatu pihak yang merasa kemarahan itu menjadi wajar ketika ruh keagamaan kita dan rasa keadilan kita dan rasionalitas kita terusik dan kita memerlukan respon dan itu wajar. Tetapi ketika kemarahan itu berlebihan dan masuk dalam wilayah yang tidak semestinya disitulah kita diuji. Apakah kita dengan puasa kita yang setiap tahun kita tunaikan tela mampu menjinakkan amarah dan potensi amarah yang selalu hidup dalam jiwa kita?” ungkapnya.

Kadang amarah itu ketika masuk pada dimensi keagamaan kita boleh marah karena keagamaan kita terusik tetapi tetap kemarahan orang yang beragama itu harus berbeda dengan marahnya orang yang atheis, sekuler. Dan jangan melebihi takaran bahkan tidak boleh disertai dengan amarah kebencian dan sikap tidak adil.

Dimensi rohani soal marah ini perlu kita tanamkan untuk bisa menjadikan diri kita mampu mengendalikan marah. Kita memang tidak bisa menghilangkan nafsu marah kita tetapi mengendalikan dan menyalurkannya secara positif dan baik serta proporsional disitulah letak kita menjadi insan yang bertaqwa. Disinilah pentingnya refleksi diri apakah kita bisa menakhlukkan diri kita sebelum kita bisa menjadi uswah hasanah bagi orang lain.

Ciri orang bertaqwa yang ketiga adalah orang yang pemaaf.

“Kita diberi pelajaran tentu dari Rasulullah saw. Yang begitu menjadi suri tauladan atau uswah hasanah kita. Dalam kisah yang banyak diceritakan dalam ajaran tentang ihsan. Nabi sering dicaci maki oleh mereka yang tidak suka termasuk ada orang yang seorang buta yang selalu mencaci maki di sekitar pasar Madinah, tapi pada setiap hari itupun selalu menyantuni orang yang mencaci maki tersebut yang tunanetra. Sampai suatu saat setelah nabi wafat orang itu kemudian disantuni oleh Abu Bakar ketika dia memegang Abu Bakar yang menyantuni dia, dia kaget. “Wahai fulan, rasanya selama ini saya memegang tangan yang begitu teduh dan sejuk, siapakah engkau ini?”, lalu dia berkata “Saya Abu Bakar, dan kau tau yang selama ini menyantuni kamu adalah Rasul Muhammad saw yang selalu kamu caci maki”. Lalu orang itu menangis dan masuk Islam. Kisah ini dari sekian banyak mozaik uswah hasanah nabi tentang ihsan bagaimana memberi maaf tanpa harus diminta maaf. “ kata Haedar

Dengan mengutip Surat An Njm ayat 32 Haedar mengingatkan untuk tidak merasa paling suci.

”Kita sering mengalami kendala karena egoism kita, jangankan memberi maaf meminta maafpun susah. Sesungguhnya meminta maaf posisi kita salah tetapi lidah kita ngilu untuk meminta maaf karena ego yang terlalu besar dalam diri kita. Apalagi ketika memberi maaf karena kita merasa benar. Jangan terjerembab pada perasaan paling benar, paling bersih dan paling suci. Engkau jangan merasa paling bersih karena Allah yang Maha Tahu siapa yang paling beriman dan bertaqwa.” Pesannya.   (Elvi Nurhidayati)

Exit mobile version