Pinter Keblinger

Pinter Keblinger

Ilustrasi

Kata “pinter keblinger” menunjukkan paradoks, pertentangan di dalam dirinya. Bagaimana mungkin orang pandai dan berilmu justru tersesat jalan? Tapi dalam kehidupan memang tak ada yang aneh. Tidak sedikit orang berilmu dan berpengalaman panjang dalam hidup lantas terjebak salah langkah. Orang salah dibela mati-matian. Orang berprestasi biasa dianggap luar biasa, dengan cara pandang fanatik-buta.

Ketika terjadi kontestasi politik yang dimenangkan secara demokratis, tidak menerima dengan lapang hati. Sebaliknya, membikin asumsi-asumsi seolah ilmiah, “itu kemenangan kaum radikal bersentimen agama, dan kalahnya rasionalitas.” Mudah sekali mengambil kesimpulan berdasarkan selera sendiri yang seolah paling benar. Memandang orang lain radikal di sisi kanan, tidak sadar dirinya sama radikal di sisi kiri.

Menyaksikan orang hanya sekilas dari luar. Tampak hebat, bersih, dan digdaya karena kepandaian menghidangkan prestasi-prestasi verbal yang memukau nalar sesaat. Lalu larut dalam kekaguman tanpa kritis, bak orang bertumpuk-lumus dalam oase fatamorgana yang sejatinya semu. Ilmu yang luas tak mampu menembus kebenaran hakiki, karena diri terjangkiti subjektivitas tinggi.

Kenapa orang-orang pintar itu tampak keblinger alias salah cara pandang dan bersikap? Penyakitnya biasanya dua, yakni nalar verbal yang instrumental plus hawa nafsu. Karena sudah alergi pada objek, orang-orang dengan nalar instrumental yang kental sering menjadi rabun kebenaran hakiki. Kebenaran hanya datang dari diri dan lingkungannya, yang lain salah. Terlalu percaya diri pada apa yang dimiliki, menganggap milik orang lain salah.

Islam pun hanya dibenarkan oleh konstruksinya sendiri. Konstruksi yang beraroma liberal-sekuler, yang melihat kenyataan dari alam pikir bebas-netral tetapi tidak didukung data lengkap plus olah nalar-hakikat. Tatkala ada konstruksi pihak lain yang berbeda dipandangnya sesat atau salah jalan entah ke kiri atau ke kanan. Dibalut hawa nafsu sesaat, tidak jarang pikiran verbal menyesatkan pikiran dan tindakan jernih. Merasa berada dalam bingkai jiwa berpikir merdeka, yang mencuat malahan pilihan kerdil plus angkuh-diri.

Kebenaran tidak diletakkan secara menyeluruh seperti tubuh gajah yang harus dilihat secara lengkap dari banyak sudut pandang. Informasi dan pandangan satu orang mestinya diolah untuk dipertukarkan secara kritis dan cerdas. Bahwa agar mendapat kebenaran yang lebih lengkap, maka dengarlah setiap ujaran dari banyak pihak dan bukan dari orang-orang terdekat belaka. Sebab ciri ulul-albab dan orang yang memperoleh hidayah ialah “yang mendengar setiap pendapat lalu mengikuti mana yang terbaik di antaranya” (Qs al-Zumar: 18).

Nalar verbal berbalut nafsu sesaat seringkali mengecoh. Asal kontroversial dan menyempal dari arus umum disebut maju dan melintasi. Tidak pernah dipersoalkan substansi dan hakikat ujarannya. Kebenaran hanya dilihat dari luar, tak pernah diselami hingga ke lubuk terdalam yang hakiki. Tak berpikir mendalam, apa sebenarnya yang terjadi? Optimisme berlebih akan kemenangan, justru berbuah kekalahan. Semua baru terkejut setelah apa yang dipikirkan berbeda dengan kenyataan.

Kaum beriman kendati berilmu tinggi mesti sadar bahwa pengetahuan manusia terbatas. Bahwa di balik hukum dan kebenaran produk manusia, terdapat hukum dan kebenaran Tuhan yang melampaui. Maka jangan salah membaca tanda-tanda zaman  dan angkuh diri pada kebenaran satu dimensi. Sebab ketika Tuhan menunjukkan kehendak-Nya, siapa pun yang merasa paling digdaya di muka bumi ini akan menerima takdirnya. Bahwa segala urusan itu dalam kuasa Allah dan jika Dia berkehendak maka terjadilah yang mesti terjadi,  “kun fayakun” (Qs Yasin: 82). (Abu Nuha)

Sumber: Majalah SM Edisi 10 Tahun 2017

Exit mobile version