Menghadapi Posmodern Abad Ke-21
Oleh DR H Haedar Nashir, M.S.i
Indonesia sebagai negara muslim dan jumlah penduduk terbesar setelah Tiongkok, India, dan Amerika Serikat sebenarnya memiliki peluang untuk menjadi negara maju. Lebih-lebih dengan kekayaan alam dan kondisi bangsa yang yang relatif aman tanpa konflik seperti terjadi di Timur Tengah. Proses demokrasi yang positif juga dapat dijadikan kekuatan politik, karena tidak terikat oleh sistem feodalisme dan dapat melepaskan diri dari tradisionalisme yang dapat menjadi beban nasional. Dalam konteks aktual tentu saja agar menjadi negara maju harus banyak persyaratan yang harus dimobilisasi dan ditransformasikan secara strategis.
Agar menjadi negara maju salah satunya menyiapkan sumberdaya manusia yang memang siap hidup dan menjalani kehidupan di tengah dunia modern abad ke-21, yang sering disebut dengan era baru modernisme tahap-lanjut (postmodrnism) dan globalisasi (globalization). Selain itu diperlukan perubahan atau transformasi alam pikiran di tubuh masyarakat atau bangsa Indonesia sendiri dari “disket lama” ke “flashdisk” baru dalam arti perlunya reorientasi cara berpikir, bersikap, dan bertindak dari serba-kaku (dogmatik) dan serba-tabu (konservatif) dalam urusan mu’amalah ke pandangan visioner dan berkemajuan.
Revolusi Iptek
Kehidupan modern tahap lanjut atau posmodern ditandai oleh revolusi industri empat titik kosong (Revolusi Industri 4.0) yang dipengaruhi kuat oleh teknologi informasi digital supercanggih. Ciri khas dari revolusi gelombang keempat ialah penemuqn serta penggunaan teknologi komputer dan interet terus berkembang ke teknologi robot dan big data yang sangat masif. Mereka yang tergolong sepuluh terkaya di dunia dikuasai oleh pengusaha yang bergerak di insdustri dan bisnis teknologi informasi (IT). Sejumlah negara di AsiaTimur seperti Tiongkok, Jepang, Korea Selatan bahkan mulai riset untuk memasuki Revolusi 5.0 dan 6.0, melampaui Revolusi industri sebelumnya sebagai penanda memasuki abad baru posmodern yang lebih progresif.
Maknanya bahwa perkembangan teknologi informasi dan revolusi digital mempengaruhi corak dan orientasi kehidupan umat manusia sejagat, sehingga memerlukan antiasipasi dan adaptasi yang cerdas dan tangguh karena sifatnya yang masif. Termasuk menyesuaikan cara berpikir, bersikap, dan bertindak di satu pihak beradaptasi dengan teknologi baru yang canggih itu bersamaan dengan itu mampu menjaga karakter dan nilai-nilai kemanusiaan baik individual maupun kolektif karena manusia adalah aktor utama kehidupan.
Di era baru tersebut yang sangat revolusioner ialah lahirnya produk “kecerdasan buatan” (artificial intellegence) sebagaimana ditemukan dalam robot dan cyborg yang dapat mengambil alih banyak peran dan fungsi otak manusia. Mesin yang bukan hanya “berpikir” dan “bertindak” seperrti manusia tetapi juga mulai dirancang memiliki “perasaan” ala manusia. Masalah ini menjadi bahan perdebatan bukan hanya di kakangan para ilmuwan namun juga di lingkungan para agamawan dan masyarakat awam. Isu religiusitas pun menjadi masalah baru dengan hadirnya kecerdasan buatan tersebut, bahkan “Dengan perkembangan teknologi yang masif, di masa depan robot dan cyborg mungkin bisa mengejar kebahagiaan universal (duteous, virtuous plessures), sebagai kebalikan dari manusia yang cenderung mengejar kebahagiaan egoisme” (Firdaus, 2018: 70).
Dunia modern tahap lanjut yang berkaitan dengan revolusi teknologi informasi juga menghadirkan realitas baru berupa dunia media sosial yang mengubah relasi sosial dari model konvensional ke model baru yang benar-benar lompatan (desrupsi) karena hubungan sosial dikendalikan oleh teknologi digital yang sifatnya sepenuhnya instrumental. Penggunaan dan penyebaran “Gawai” sebagai teknologi pintar —termasuk telepon pintar, handphone — merasuk ke ranah kehidupan manusia yang bersifat privat, yang berdampak luas pada ritme dan pola kerja hidup manusia. Relasi sosial pun berlangsung 24 jam secara intensif sehingga melewati batas-batas wilayah, ruang publik, dan segala jejaring sosial yang selama ini konvensional. Realitas media sosial dan penggunaan teknologi pintar tersebut meminjam pandangan Jean Baudlilard sebagaimana dikutip Ritzer dan Goodman (1991) bercorak “simulacra”, yakni menciptakan banyak realitas buatan atau hyper-reality dalam kehidupan manusia posmodern, yang juga melahirkan “the consumer soceity” yakni masyarakat yang berorientasi tinggi pada konsumsi.
Pemikiran posmodern dalam pandangan Giddens (2002) akan mengakhiri kontradiksi antara “kanan” versus “kiri” dan “negara” lawan “pasar” maupun “kapitalisme” versus “sosialisme” sebagaimana menguat pertentangannya pada zaman modern, bahkan proyek pencerahan abad ke-18 di Barat yang melahirkan pemikiran-pemikiran modern akan berakhir atau dipandang usang. Pada era baru itu lahirlah demokrasi sosial sebagai gelombang ketiga (the third wave) dalam kehidupan individu, keluarga, dan masyarakat luas. Dalam kehidupan posmodern tersebut lahir pemikiran baru yang tidak terjebak pada “ekstremintas” sebagai jawaban atas “the global order” atau tatanan dunia baru. Kehidupan posmodern juga dicirikan perkembangan alam pikiran manusia yang bercorak “dekonstruksi” (deconstruction), yakni pemikiran yang membongkar setiap tatanan yang dipandang mapan. Narasi-narasi besar yang dianggap mapan dan postivistik (grand narrative) diganti dengan narasi-narasi detail (micro narrative) yang fleksibel, membumi, dan kualitatif
Era Dunia Baru
Era posmodern melekat dengannya globalisasi sebagai tata dunia baru yang melintas-batas. Dunia diperhubungkan secara lintas melewati batas-batas administrasi negara, bangsa, dan geografis tanpa sekat apapun. Sebenarnya hubungan antarbangsa yang luas sudah terjadi di masa silam, sehingga secara realasional globalisasi sudah terjadi di masa lampau. Tetapi dengan dukungan teknologi informasi dan kepesatan infrastruktur modern lainnya globalisasi menjadi proses interkoneksi antarmanusia, antarbangsa, dan antarnegara secara lebih luas dan dinamis. Kehidupan di era global tersebut mengalami “borderless world”, yakni dunia yang tanpa batas-batas (Ohmae, 2005).
Kini globalisasi menjadi masif dan membuana didukung oleh revolusi teknologi informasi, komunikasi, dan transportasi. Dengan revolusi teknologi dalam industri komunikasi dan transportasi, apa yang terjadi di bagian barat dunia akan segera diketahui oleh mereka yang tinggal di sisi barat belahan bumi (Ahmed dan Donnan, 1994). Melalui globalisasi, warga dunia diharapkan untuk saling mengenal lebih baik, untuk bekerja satu sama lain lebih dekat, dan bekerja sama untuk tujuan mencapai dan melestarikan kebaikan bersama, kebaikan umum bagi semua (Reich, 2018).
Namun terdapat kritik pada kehidupan posmodern sebagaimana dikutip Ritzer dan Goodman (1991) dari Fredric Jameson, yakni lahirnya dunia yang dangkal dan buatan, manusia miskin perasaan, dan manusia dengan kemanusiaanya seolah tidak memperoleh tempat dalam kehidupan akibat dominannya teknologi informasi. Senada dengan itu dunia posmodern dengan globalisasinya menurut Giddens (1987) ibarat “juggernout” yakni kereta raksasa yang akan menggilas siapa saja. Dalam situasi demikian kehidupan manusia modern, menurut Giddens, mengalami banyak kehilangan makna atau meaninglesness of modern social life.
Dengan kehidupan abad ke-21 yang bercirikan posmodern dan globalisasi dengan segala positif dan negatifnya, maka bangsa Indonesia mau tidak mau harus memiliki kesiapan dan kemampuan agar di satu pihak dapat menghadapi dan memanfaatkan berbagai kondisi positif yang dibuka secara luas oleh keduanya. Pada saat bersamaaan bangsa Indonesia dapat mengantisipasi hal-hal negatif dari kehidupan posmodern dan globalisasi di era kehidupan abad ke-21 yang niscaya dihadapinya. Dalam konteks dunia baru kehidupan modern tahap lanjut dan dunia yang semakin membuana itu bagaimanapun Indonesia harus bertransformasi diri menjadi bangsa dan negara modern. Dalam konteks inilah transformasi kehidupan kebangsaan Indonesia meniscayakan strategi kebudayaan yang berorientasi ke depan.
Diperlukan transformasi kebudayaan secara menyeluruh menuju Indonesia ke depan yang hidup di abad baru, di antaranya membangun alam pikiran modern tahap lanjut serta meninggalkan kebiasaan-kebiasaan serta alam pikiran dan sikap yang antikemajuan. Dalam konsep Muhammadiyah jika Indonesia ingin maju maka meniscayakan rekonstruksi kehidupan kebangsaan yang bermakna (reconstruction with meaning) khususnya dalam bidang politik, ekonomi, dan budaya dengan sejumlah prasyarat yaitu menjadikan agama sebagai sumber kemajuan, pendidikan yang mencerahkan, kepemimpinan profetik, institusi-institusi yang progresif, dan keadaban publik.
Bahwa bangsa Indonesia sebagai yang hidup di era modern abad ke-21 meniscayakan penghadapan yang juga berwawwasan modern di era baru itu manakala dirinya ingin tetap bertahan sekailgus mampu tampil ebagai negara berkemajuan. Abad ke-21 ditandai oleh kehidupan moderan tahap lanjut (postmodernism) dan globalisasi (globalization) sebagai satu kesatuan orientasi dunia baru. Pola pikir atau disket lama yang serba konvensional dan tidak sejalan dengan kemajuan zaman perlu dikritisi, termasuk dalam pemikiran keagamaan yang serbakonservatif dan dogmatis tanpa pijakan yang kokoh diukur dari perspektif Islam berkemajuan.
Sumber: Majalah SM Edisi 2 Tahun 2019