Jadikan Manhaj Tarjih Muhammadiyah Sebagai Landasan Berpikir
Oleh: Korps Instruktur Madya DPD IMM DIY
Manhaj Tarjih Muhammadiyah merupakan landasan metodologi dalam merumuskan berbagai hal bidang kehidupan, sehingga nafas Islam benar-benar dijadikan sebagai jalan hidup. Penegasan ini disampaikan Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Dr. H. Hamim Ilyas, M.Ag. selaku narasumber dalam FGD Instruktur IMM DIY secara virtual, Kamis, 27 Mei 2021. Acara tersebut diselenggarakan Korps Instruktur Madya Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) DIY, diikuti oleh kader IMM dari berbagai daerah di Indonesia.
“Muhammadiyah adalah gerakan yang berwawasan berkemajuan, sehingga peningkatan bidang kehidupan selalu diupayakan untuk meningkatkan taraf hidup manusia. Perlu adanya landasan mendasar yang dijadikan pijakan folosofis, Manhaj Tarjih Muhammadiyah hadir untuk menyempurnakan posisi tersebut,” tegasnya.
Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah (MKCHM) mengatur ruang lingkup ajaran Islam dalam Faham Agama Muhammadiyah dengan menyatakan pendiriannya bahwa: ajaran Islam merupakan kesatuan ajaran yang tidak boleh dipisah-pisah dan meliputi: akidah, akhlak, ibadah, dan muamalat dunyawiyah. “Akhlak adalah modal utama untuk membangun mental pemenang. Jangan berbicara baik dan buruk tetapi dengan mental pecundang atau kalah,” tegasnya.
Berdasar ruang lingkup ajaran tersebut, Manhaj Tarjih menjadi metodologi perumusan semua ajaran Islam dalam Muhammadiyah, tidak hanya bidang hukum saja. Ketika Muhammadiyah berbicara hukum, maka hukum tersebut akan diwujudkan secara duniawi. “Hukum itu tidak dijadikan tujuan yang hendak dicapai oleh organisasi itu sendiri, tetapi untuk mewujudkan pranata sosial. Kehidupan sosial inilah yang bersifat duniawi,” lanjutnya.
Menurutnya, berdasarkan sumber sejarah yang ada, metodologi tersebut telah dirumuskan dalam Musyawarah Nasional Tarjih Tahun 2000 di Jakarta dalam wujud pendekatan (cara penghampiran dalam mengkaji) yang terdiri atas tiga epistemologi, yakni bayani, burhani dan irfani. Ketiga pendekatan tersebut sudah pasti selalu ada paradigma yang menggambarkan asumsi dasar, model, dan nilai.
Pertama, epistemologi bayani. Asumsi utamanya adalah sumber utama yang dijadikan landasan beribadah dan melakukan amalan-amalan kebaikan. Sumber utama yang dimaksud ialah berdasarkan kebenaran dan kemurnian Al-Qur’an serta sunnah Rasul. Mempunyai tiga metode, yakni Kaedah Tasyri’iyyah, Kaedah Lughawiyah, dan Kaedah Taqalidiyyah. Kedua adalah epistemologi burhani, menggambarkan rasionalisme. Sumber utamanya adalah nalar dengan menggunakan metode-metode penalaran, antara lain: penalaran pembebasan, keutuhan, fungsional, dan kontekstual. Terakhir adalah epistemologi irfani, dengan berpatokan pada intuisi. Sedangkan metodenya menggunakan metode refleksi, yakni pemahamanan yang mendalam terhadap seluruh realitas wujud dan kehidupan, termasuk realitas tertinggi; dan melahirkan keterampilan mengelola kehidupan.
“Jika berbicara tentang tiga epistemologi, yakni bayani, burhani dan irfani, maka tidak bisa terlepas dari paradigma Islam. Selanjutnya, paradigma agama Islam akan selalu berkaitan dengan gagasan ‘Masalah Lima’yang selalu dibumikan oleh para tokoh awal Muhammadiyah hingga detik ini,” gagasnya. (LTA)