Media Massa dan Kongres-Kongres Muhammadiyah
Oleh: Muhammad Yuanda Zara
Salah satu peristiwa besar yang ditunggu-tunggu warga Muhammadiyah adalah muktamar. Dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah disebutkan bahwa muktamar merupakan “permusyawaratan tertinggi dalam Muhammadiyah yang diselenggarakan oleh dan atas tanggung jawab Pimpinan Pusat”. Awalnya, tepatnya di masa kolonial Hindia Belanda, muktamar disebut sebagai kongres, dengan kegiatan utamanya adalah openbare vergadering (pertemuan terbuka) yang dihadiri oleh berbagai utusan cabang dan ranting Muhammadiyah. Muktamar adalah satu dari beberapa kesempatan ketika anggota dan simpatisan Muhammadiyah yang pada hari biasanya terpisah bisa bertemu, saling mengenal, berbincang-bincang, dan pada akhirnya mengambil keputusan besar.
Arena muktamar juga kerap diramaikan oleh berbagai aktivitas yang melibatkan warga kota yang lebih luas, misalnya dengan pameran produk, pertunjukan kesenian dan pertandingan olahraga. Muktamirin (peserta muktamar), para penggembira muktamar, serta warga yang kotanya berkesempatan menjadi tuan rumah muktamar Muhammadiyah adalah komponen-komponen inti yang membuat muktamar ramai dan meriah.
Tapi, ada komponen muktamar lainnya yang tak kalah pentingnya, namun jarang disebut. Mereka adalah para jurnalis dan media mereka. Sudah bisa dipastikan bahwa wartawan Suara Muhammadiyah selalu hadir dalam kongres Muhammadiyah dan kemudian melaporkannya dalam majalah mereka. Di samping jurnalis internal ini, ada para kuli tinta dari media cetak di luar Muhammadiyah. Sudah sejak era 1920an para wartawan non-Muhammadiyah ini menaruh atensi pada aktivitas-aktivitas Muhammadiyah, terutama yang skalanya besar untuk ukuran masa itu, yakni kongres, satu dari sedikit kesempatan untuk melihat kaum pribumi Hindia Belanda berkumpul dan membicarakan hal-hal penting yang menjadi persoalan bersama. Para wartawan datang untuk melihat keramaian itu dan melaporkan berbagai kejadian menarik untuk media mereka masing-masing, tentu sesuai dengan kebijakan dan kepentingan redaksi yang berbeda pada setiap media.
Pada Februari 1928, Muhammadiyah mengadakan kongres ke-17 di tanah kelahirannya, Yogyakarta. Wartawan Suara Muhammadiyah (saat itu masih bernama Soeara Moehammadijah, dengan kantor redaksi beralamat di Moehammadijah-Straat atau Jalan Muhammadiyah, Yogyakarta) datang dan kemudian memberikan laporan lengkap tentang kongres itu dibawah tajuk: “Notulen Congres Moehammadijah ke XVII. Jang Terbesar.” Isinya menggambarkan kongres dari hari ke hari: ribuan peserta yang hadir, asal daerah peserta (dari Kutaraja [Aceh], Padang Panjang hingga Gresik), beragam aktivis yang menarik, dan tentu saja pidato-pidato bersemangat dari para pimpinan kongres. Voorzitter HB (Ketua Umum PP Muhammadiyah) saat itu, K.M. Ibrahim, membuka kongres dengan menyebutkan bahwa salah satu tujuan kongres itu ialah agar para utusan cabang dan ranting Muhammadiyah saling mengenal satu sama lainnya dan “mengekalkan” rasa persaudaraan di antara warga Muhammadiyah.
Tapi tak hanya wartawan Suara Muhammadiyah yang datang ke kongres itu. Puncak acara adalah “Persidangan Oemoem Terboeka”, berlangsung pada Ahad, 12 Februari 1928, di Alun-alun. Ada sekitar 3.000 orang yang hadir. Yang hadir antara lain utusan cabang dan ranting Muhammadiyah, wakil dari organisasi lainnya di Hindia Belanda yang menggambarkan keluasan dan keluwesan pergaulan Muhammadiyah (mulai dari wakil Budi Utomo, Jong Islamieten Bond, Walfajri, Taman Siswa, Adidarma hingga Madrasah Islamiah Solo), dan wakil pemerintah kolonial (C.O. van der Plas dan Soetan Moehammad Zain).
Beberapa wartawan media massa juga ambil bagian dalam acara itu. Di antaranya ada jurnalis Darmokondo, Bintang Timoer, De Locomotief, Pandji Poestaka dan Kajawen. Koran dan majalah ini punya keunikan masing-masing bila ditinjau dari bahasa yang dipakai, ideologi dan tipe pembacanya. Koran De Locomotief, misalnya, berbahasa Belanda dan terbit di kota kosmopolitan Semarang dan terutama dibaca oleh orang Belanda dan sebagian pribumi yang melek aksara, sementara Kajawen berbahasa Jawa, memakai aksara Jawa, dan ditujukan kepada pembaca Jawa kelas menengah-atas, masih tradisional tapi mulai punya pikiran ke arah modernitas. Mempertimbangkan ini, jelas bahwa kehadiran para jurnalis dari luar Muhammadiyah menunjukkan bahwa kongres ini tidak bisa diabaikan publik, khususnya bagi mereka yang berpendidikan, atau setidaknya bisa membaca.
Majalah Kajawen tampak terkesan dengan kongres ini, sebagaimana bisa dibaca dalam laporan mereka pada Maret 1928. Di sana wartawannya menulis tentang rupa-rupa kongres, seperti banyaknya orang yang hadir dalam kongres itu (dari anggota Muhammadiyah sampai Residen Yogyakarta) dan berbagai lomba untuk kaum ibu dan wanita Aisyiyah (lomba mengikat rambut, lomba merajut dan lomba berjalan jongkok).
Di era pascakemerdekaan Indonesia, wartawan masih tetap ambil bagian dalam muktamar Muhammadiyah, baik secara langsung maupun tidak langsung. Yang berbeda adalah absennya wartawan dan media Belanda. Majalah Tempo, yang pertama kali terbit tahun 1971, berkali-kali menurunkan laporan tentang muktamar Muhammadiyah. Mereka bahkan punya cara khusus untuk mengumpulkan bahan berita terkait muktamar. Dalam buku Cerita di Balik Dapur Tempo: 40 Tahun (1971-2011), disebutkan bagaimana Tempo menggali informasi tentang salah satu muktamar Muhamadiyah: “Misalnya, untuk laporan utama perihal muktamar Muhammadiyah di Solo, awal Desember 1985, wartawan Tempo meliput peristiwa itu mengumpulkan tokoh-tokoh Muhammadiyah, lalu membuka diskusi dengan mereka”. Hasilnya, diskusi itu menjadi salah satu bahan untuk laporan utama Tempo soal muktamar Muhammadiyah tahun 1985.
Berita media tentang muktamar Muhammadiyah tersebar hingga ke mana-mana, bahkan hingga ke balik tembok penjara. Aktivis AM Fatwa, yang dipenjara oleh rezim Orde Baru karena tuduhan subversif, adalah salah seorang yang mendapat manfaat dari laporan media tentang kongres Muhammadiyah. Pada Desember 1990, Muhammadiyah mengadakan Muktamar ke-42 di Yogyakarta. Tentang muktamar itu, Fatwa, yang berada dalam penjara, dalam sebuah suratnya (yang kini dihimpun dalam buku Menggugat dari Balik Penjara: Surat-Surat Politik AM Fatwa) menyebut bahwa ia “menikmati publikasi muktamar dari koran dan majalah serta radio, baik dalam maupun luar negeri”.
Muktamar-muktamar selanjutnya hadir di hadapan para pembaca umum di Indonesia lewat berbagai koran dan majalah. Kompas, Republika dan Kedaulatan Rakyat adalah beberapa harian yang kerap menampilkan berita yang berkaitan dengan muktamar Muhammadiyah. Di Kompas, umpamanya, beberapa saat sebelum muktamar tahun 2005 di Malang dibuka muncul tulisan-tulisan yang mengulas soal motor penggerak Muhammadiyah yang menentukan dalam gerak langkah organisasi ini. Tulisan itu kemudian ditransformasikan oleh cendekiawan Abdul Munir Mulkhan menjadi buku Kiai Ahmad Dahlan: Jejak Pembaruan Sosial dan Kemanusiaan (2010). Dewasa ini, koran-koran tersebut masih terus menaruh perhatian pada muktamar. Di samping itu, di era digital sejak tahun 2000an, media daring dengan banyak pembaca, seperti detik.com dan belakangan inews.id, menambah daftar saluran komunikasi massa yang membawa serba-serbi muktamar ke ingatan publik Indonesia.
Muhammad Yuanda Zara, Dosen Ilmu Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta
Sumber: Majalah SM Edisi 15 Tahun 2019