Islam Yang Mencerahkan
Oleh DR H Haedar Nashir, M.Si.
Islam agama yang mencerahkan kehidupan. Islam sebagai din al-tanwir. Dengan Islam setiap muslim menjadi cerah hati, pikiran, sikap, dan tindakannya. Setiap muslim berbuat yang benar, baik, cinta kasih, damai, kata sejalan tindakan, serta menebar segala kesalehan bagi diri, keluarga, masyarakat, bangsa, dan kemanusiaan universal. Kalau dia bekerjasam dalam kebaikan dan ketaqwaan, tidak bekerjasma dalam dosa dan keburukan.
Muslim yang tercerahkan oleh Islam tidak akan mudah marah, buruk ujaran, iri, dengki, hasud, dendam, congkak, menebar permusuhan, dan segala perangai yang buruk. Islam tidak menjadi pengetahuan, ujaran, dan kebanggaan simbol minus perbuatan nyata yang serbabaik dan menjauhi yang serbaburuk. Muslim yang tercerahkan suka beramal-shaleh dan beramar-makruf, serta bernahyu-munkar. Ketika bernahyu-munkar tidak dilakukan dengan cara-cara yang munkar, tetapi dengan cara yang ma’ruf.
Mencerahkan Politik
Islam yang mencerahkan dalam realitas kehidupan pemeluknya memelukan konsistensi. Termasuk dalam berpolitik. Dalam berpolitik sering Islam tidak menjadi rujukan nilai moral, karena yang diutamakan pragmtisme dan oportunisme politik. Dalam ucapan, retorika, dan pidato sebagian tokoh dan politisi muslim sangat fasih mengatasnamakan Islam dan umat Islam. Tetapi dalam sikap dan tindakan jauh panggang dari api. Islam dan umat sering hanya menjadi atasnama, bukan perilaku nyata.
Umar bin Khattab sangat dikenal keras, tegas, dan perkasa baik sebagai pribadi maupun selaku Amirul Mukminin. Tapi dia pernah berpesan, “Janganlah engkau berprasangka terhadap perkataan yang keluar dari saudaramu yang mukmin kecuali dengan persangkaan yang baik. Dan hendaknya engkau selalu membawa perkataannya itu kepada prasangka-prasangka yang baik.”. Umar yang gagah dan digdaya dalam karakter tokoh hebat, terbukti sebagai sosok moralis yang menjunjungtinggi kebajikan. Meski untuk suatu prasangka dalam hubungan antar insan.
Dalam berpolitik Amirul Mukminin juga dikenal menjujungtinggi etika. Ketika anaknya yang memang hebat, yakni Abdullah bin Umar masuk dalam enam anggota formatur untuk pemilihan khalifah sesudahnya. Umar mensyaratkan Abdullah dibolehkan memiliki hak pilih tetapi dilarang untuk dipilih, sehingga tidak punya peluang sama sekali untuk menjadi khalifah. Umar jauh dari politik dinasti, sebagi bukti dari sikap etik dan kenegarwanan yang autentik. Islam bukan berhenti di lisan dan pengetahuan tetapi benar-benar dipahami, dihayati, dan dipraktikkannya dalam tindakan berpolitik yang mencerdaskan dan mencerahkan.
Agama dan politik sesunghuhnya dapat harmoni dapat pula kontradiski sebagaimana hubungan antara “al-din wa al-dunya” atau agama dan dunia. Agama berkaitan dengan nilai-nilai luhur dan suci seperti nilai iman, ibadah, amanah, adil, amal shaleh, ihsan, dan nilai keutamaan lainnya dari yang transenden (ilahiah) hingga imanen (insaniyah-dunyawiyah). Politik juga memiliki nilai-nilai berharga seperti keadilan, kebajikan publik, menjujung tinggi hak asasi manusia, menjunjung tinggi hak rakyat, dan sebagainya. Pada nilai-nilai luhur seperti itu tentu terjadi harmoni antara agama dan politik.
Namun sering pula nilai agama dan politik saling berbeda, menjauh, dan bertabrakan. Agama mengajarkan jujur, amanah, menepati janji, adil, dan ihsan sementara politik dalam praktik tidak jarang menunjukkan dusta, hianat, ingkar janji, mementingkan kelompok sendiri sambil menegasikan pihak lain, dan hal-hal yang tak terpuji seperti politik uang, sogok, dan sebagainya. Agamanya mengajarkan mencari harta dan kedudukan secara halal dan baik, sementara politik menghalalkan segala cara termasuk korupsi, gratifikasi, upeti, dan sebagainya. Hal-hal negatif dalam praktik politik seperti itu meski sering dibantah oleh mereka yang berkiprah di dunia politik yang tentu saja politisinya mesti baik, tetapi kenyataan dunia politik sering menunjukkan politik yang pragmatis (orientasi kegunaan) dan oportunistik (orientasi kepentingan) seperti itu.
Dalam kehidupan poliik umat Islam pun ketegangan nilai agama dan politik itu juga sering terjadi, selain harmoni antara keduanya. Perang “Jamal” atau perang “Unta” di Basra Iraq antara pasukan Siti Aisyiyah melawan pasukan Zubair bin Awwam serta sahabat Nabi lainnya yang memihak Ali bin Abi Thalib atas wafatnya Khalifah Usman bin Affan, menunjukkan peliknya hubungan antara nilai agama dan politik. Demikian pula dalam berbagai tragedi politik Islam lainnya, termasuk yang menyebabkan meninggalnya Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Hussein, dan lain-lain.
Politik, ekonomi, dan aspek mu’amalahah keduniaan itu pada dasarnya baik. Politik menurut Ibn Qayyim ialah “aqrab ila al-shalah wa ab’ad ‘an al-fasad”, yakni mendekatkan kepada segala hal yang baik serta menjauhkan diri dari segala hal yang merusak. Tetapi dalam kenyataan terdapat sejumkah praktik “fasad” dalam politik dan kehidupan dunia lainnya seperti menipu, membohongi, dan menggunakan segala cara yang tak halal. Dalam ketegangan nilai seperti itu maka tergantung pada konsistensi rujukan nilai dari setiap tindakan politik, sekaligus perilaku aktor atau pelaku politik itu sendiri dalam hal berpolitik. Faktor sistem dan kontrol publik juga menentukan aktualisasi nilai politik dalam kehidupan berpolitik.
Politik sebagai bagian dari mu’amalah-dunyawiyah pada dasarnya boleh kecuali hal yang dilarang, artinya di satu pihak diberi keleluasaan retapi tidak berarti serba boleh atau serba bebas tanpa dasar nilai dari ajaran Islam itu sendiri. Selain itu nilai-nilai yang diperintahkan dan dianjurkan dalam Islam harus dijalankan dalam politik, sebaliknya hal-hal yang dilarang harus dihindarkan atau tidak boleh dilakukan. Tentang mana yang boleh dan tidak boleh, yang benar dan salah, yang baik dan buruk, yang pantas dan tidak pantas selain dalam ajaran Islam sendiri terdapat kandungan nilai yang mengaturnya secara sharih atau jelas, tentunya banyak terdapat nilai-nilai politik yang menjadi ranah ijtihad karena menyangkut urusan mua’amalah dunyawiyah.
Spiritualisasi Perilaku
Jika ingin Islam itu mewujud dalam tindakan nyata serta mencerahkan diri dan lingkungannya maka penting adanya proses spiritualisasi ihsan dalam beragama. Islam tidak digelorakan dalam semarak ritual ibadah serbaverbal dan berhenti pada ranah syariat, tetapi mesti menghunjam dalam kesdaran imani yang membuahkan kebajikan perilaku yang melampaui. Keislaman bukan berhenti dalam atribut pakaian serba putih yang tampak disakralkan dari luar, ritual-ritual ibadah seremonial, kefasihan berdalil kitab suci, serta sederat formalitas syariat luar. Islam justru harus dijadikan model perilaku aktual (mode for action) yang serba bajik sebagaimana rujukan Akhlaq Nabi dan para sajabat mulia yang membuktikan kata sejalan tindakan. Itulah akhlak uswah hasanah.
Rasulullah pernah ditanya tentang amalan yang paling banyak mengantarkan manusia masuk surga, beliau menjawab: “Taqwallahi wa husnul khuluq”, yakni bertakwa kepada Allah dan berakhlak yang mulia (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, Imam Ahmad, Ibnu Hibban, dan Al Hakim dari Abu Hurairah). Nabi akhir zaman bahkan memperingatkan dalam salah satu hadis yang artinya, “Orang yang paling dibenci Allah ialah yang bermusuh-musuhan dengan keji dan kejam.” (HR Bukhari). Betapa penting dan menentukan ajaran tentang akhlaq mulia atau al-akhlaq al-karimah dalam Islam, yang berwujud budi luhur dalam ujaran, sikap, dan perbutan.
Manakala manusia muslim suka berkata, bersikap, dan bertindak semaunya maka sesungguhnya dari dalam dirinya telah hilang rasa malu. Hilang muru’ah kata orang pesantren. Kesalahan, keburukan, dan ketakpantasan dilakukan dengan tanpa rasa sungkan berulang kali. Cibiran orang banyak tidak menjadi perhatian dan kepedulian, layaknya orang bebal. Rasulullah bersabda, idza lam tastahi fasna’ ma syi-ta, jika kamu tidak malu maka berbuatlah sekehendakmu. Mereka yang sudah kehilangan urat malu, seungguhnya luruh pula iman dalam dirinya. Sebab, menurut sabda Nabi yang lain: “Sejatinya malu dan iman itu berada dalam satu wadah, bila yang satu dicabut maka yang satunya ikut tercabut”. Ketika iman dan rasa malu putus dari diri seorang, maka kehormatan dan kemuliaannya selaku manusia hilang total. Akal budinya luruh ke titik nol. Perangainya pun menurut Al-Quran laksana hewan, bahkan lebih hina (QS Al-‘Araf: 179).
Ketika manusia beriman dan berperikemanusiaan telah hilang rasa malunya dan berbuat sekehendaknya, maka dia buta-tuli terhadap kebenaran, kebaikan, dan kepatutan. Sebaliknya yang mekar dalam dirinya ialah dusta, pura-pura, omong besar minus tindakan nyata, ajumumpung, merasa paling kuasa, dan sewenang-wenang. Di antara mereka bahkan bangga sekali jika mampu memperdaya orang dan mempermainkan sipapapun yang berusuan dengan jabatannya. Nabi Muhammad memberikan wejangan sarat hikmah sekaligus peringatan keras tentang rasa malu (al-haya-u). Sabdanya, sesungguhnya Allah Ta’ala bila hendak membinasakan seseorang maka dicabutlah dari diri orang itu rasa malu. Manakala rasa malu itu telah dicabut, maka dia akan dibenci orang dan bahkan orang dianjurkan untuk membencinya. Mudah-mudahan kita dijauhkan dari nasib buruk seperti itu!
Sumber: Majalah SM Edisi 3 Tahun 2019