Yang Diterangkan, Yang Digelapkan
Oleh: Fahd Pahdepie
“Ada yang pamer ngumpulin dana unt Palestina 30 Miliar tapi dia juga ngaku yang diserahin 14,3 Miliar. Dia nilep berapa ya?” Tulis Guntur Romli di akun Facebooknya, Rabu 26 Mei 2021. Sampai saya menulis artikel ini, posting itu mendapat reaksi lebih dari 2.900 kali, dikomentari sekurangnya 722 orang, dibagikan setidaknya 106 kali.
Saya tak tahu tulisan ini bisa kita masukkan ke dalam kategori fitnah atau tidak, mungkin ahli bahasa yang bisa menjelaskannya. Yang jelas, bagi saya status yang ditulis seorang publik figur dengan ratusan ribu follower itu memuat informasi yang keliru, atau sekurang-kurangnya tidak lengkap. Yang berbahaya adalah kalimat pertanyaannya, ada semacam tuduhan di sana, kecurigaan yang tak berdasar. Boleh jadi nyinyir karena diakhiri emoticon tertawa.
Saya selalu gagal mengerti pada maksud orang-orang yang menulis dengan cara ini. Apa sebenarnya yang diharapkan? Komentar yang mengiyakan dan menyetujui arah pertanyaan itu, atau sungguh-sungguh ingin bertanya karena tidak tahu? Saya tak yakin dengan alasan kedua. Meski dalam banyak kasus orang bisa saja menghindar dengan berkata, “Kan saya cuma bertanya. Apa salahnya?” Entahlah.
Yang jelas, saya memerangi narasi-narasi semacam ini. Yang tak utuh dan ganjil. Yang tendensius dan memprovokasi publik untuk berpolemik. Percakapan publik kita tak boleh diisi narasi buruk dan benci. Kita bisa tak suka pada sesuatu, tak setuju pada satu pikiran, tapi tak lantas membabi buta membenci orangnya—membuat kita memandang apa yang dilakukan orang itu salah. Begitu juga sebaliknya. Kita mesti objektif melihat segala sesuatu.
Bisa jadi Guntur Romli tidak menyukai UAH, saya tak tahu persisi. Tapi jika memang ketidaksukaan itu ada, semestinya tetap bisa bersikap adil dan proporsional pada kasus-kasus tertentu. Apalagi yang informasi dan datanya disajikan secara terang benderang di ruang publik.
“Tapi kan posting itu tidak memuat nama UAH? Kenapa menuduh Guntur Romli membicarakan UAH?” Kata seorang komentator di media sosial. Silakan cek di Google, atau dengan cara apapun, dalam konteks ruang dan waktu yang relevan dengannya, hari ini tak ada satupun orang yang mengunpulkan dana donasi untuk Palestina mencapai Rp30 miliar dan menyerahkan ‘sebagiannya’ melalui MUI sebesar Rp14,3 miliar.
Seandainya Guntur Romli atau siapapun mau membaca dan atau hati-hati dalam menyajikan informasi, pertanyaan di akhir kalimatnya “Dia nilep berapa ya?” Tak akan pernah ada. Pertanyaan itu bisa mengarah pada fitnah. Terang benderang untuk dijadikan bukti. Apalagi di kolom komentar muncul fitnah-fitnah yang sesungguhnya.
Perlu saya jelaskan dengan terang benderang. Pertama, tak ada “yang pamer ngumpulin dana Palestina 30 Miliar”. Karena kalaupun ada publikasi yang memberitakan jumlah dana donasi yang terkumpul, semata-mata itu untuk transpasransi dan keterbukaan publik. Rekening Yayasan MIRA bahkan bisa disupervisi langsung oleh BSI, Bank BUMN terbesar milik negara, juga bisa diaudit secara publik. UAH bahkan melaporkan setiap update melalui video dan siaran langsung di akun Youtubenya. Terang benderang.
Kedua, tak ada “dia juga ngaku yang diserain 14,3 Miliar”. Kata ‘pengakuan’ selalu terbaca seolah menunjukkan peristiwa berikutnya dari sebuah kesalahan. Padahal tidak ada yang salah di sana. UAH menyerahkan dana itu secara publik, ke lembaga yang bertanggung jawab secara publik bahkan diakui negara, Majelis Ulama Indonesia. Disiarkan pula oleh berbagai media melalu pemberitaan. Disaksikan langsung Duta Besar Palestina. Otoritas apa lagi yang dibutuhkan untuk membuatnya terang benderang?
Semua langkah yang dilakukan UAH diterangkan. Saat donasi dibuka, berapa terkumpul, ke mana di salurkan, bagaimana disalurkannya, siapa-siapa yang terlibat, bisa diaudit secara publik, tak ada sedikitpun pikiran buruk untuk menyembunyikan sesuatu—apalagi sampai ‘nilep’ seperti yang dituduhkan dalam selubung pertanyaan itu.
Yang digelapkan justru adalah sinisme dan pertanyaan-pertanyaan semacam yang ditulis Eko Kuntadhi atau Guntur Romli ini. Ada yang sengaja dibuat kabur, dibuat tak jelas, dibuat ambigu, dirangkai seolah-olah pertanyaan, sambil nanti berkelit saat dimintai klarifikasi. Kurang lebih bernada begini: Yang Anda permasalahkan kan orang-orang yang komentar di tweet atau posting kami. Mengapa kami yang perlu klarifikasi?
Demikianlah. Sudah jelas mana yang diterangkan dan digelapkan. Meski saya selalu gagal paham mengapa ada sebagian orang yang memang seolah tidak rela ada donasi untuk Palestina, ada rasa peduli dan empati di tengah-tengah kita.
“Makanya, jangan ke Palestina dong! Banyak saudara-saudara kita di Indonesia yang masih membutuhkan!” Saya kira banyak yang sudah dilakukan UAH. Bahkan saya pun pasti lebih banyak berbuat sesuatu untuk bangsa sendiri daripada donasi untuk Palestina. Lagipula, kami yang menyumang, kenapa Anda yang repot?
Jangan ganggu UAH. Ada banyak orang di sampingnya, di sekelilingnya, membersamainya. Setidaknya ada saya di sana. Jika sekelompok orang merasa punya pihak yang melindungi, bisa mengakses otoritas, atau semacamnya, sehingga bisa menyerang UAH atau siapapun seenaknya. Saya katakan bukan kalian saja yang punya akses atau relasi itu. Kita bisa bertemu kapan saja.
Memang benar kata UAH, “Jangan pernah mengganggu singa yang sedang berpikir. Sebab jika ia mengaum, tak ada yang bisa menghentikannya.”
Fahd Pahdepie, Ikatan Alumni Darul Arqam Muhammadiyah (Ikadam)