110 Tahun Thawalib: Buya Hamka, Dari Surau Menuju Pergerakan
Oleh: Deni Al Asyari
Ketika membaca sosok Buya Hamka, maka yang terlintas dalam pikiran publik adalah, berbagai karyanya yang spektakuler. Mulai dari Tafsir al Azhar hingga Karya Novelnya yang memukau. Seperti “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”, “Di Bawah Lindungan Kabah”, “Ayah” dan sebagainya.
Namun tulisan ini bukanlah bermaksud ingin membahas karya-karya tersebut. Melainkan ingin melihat lembaga pendidikan Buya Hamka pertama di Sumatera. Sebab selama ini tidak banyak publik mengenal dimana Ulama terkemuka itu menempuh pendidikan agama pertama.
Malik, begitu panggilan Buya Hamka saat belia, menempuh pendidikan awalnya di sebuah lembaga pendidikan modern pertama di Indonesia, yaitu Perguruan Thawalib yang berlokasi di sebuah kota kecil di Sumatera Barat, yaitu Padang Panjang.
Sebuah kota yang sangat terkenal sebagai kota lahir dan berkembangnya tokoh-tokoh pergerakan dan pembaharuan Islam. Sebut saja yang sangat dikenal saat itu, 3 tokoh utamanya, Haji Zainudin Labai el Yunusie, Haji Abdullah Ahmad, serta Haji Abdul Karim Amrullah (ayah Buya Hamka) atau yang dikenal dengan panggilan inyiak rasul.
Thawalib adalah buah tangan dan pemikiran dari 3 tokoh utama tersebut, yang berdiri pada tahun 1911. Berawal dari sebuah pengajian di “surau” Jembatan Besi, dengan model “halaqah”, dimana murid-muridnya duduk bersila membentuk lingkaran dan menghadap kepada guru, yang sudah berlangsung sejak sebelum tahun 1900 di bawah pimpinan Haji Abdullah Ahmad.
Kemudian pada tahun 1911, pengajian ini diganti dipimpin oleh Buya Abdul Karim Amrullah atau inyiak Rasul. Pada masa H Abdul Karim Amrullah inilah, timbul gagasan untuk membentuk sebuah perkumpulan antara murid dan guru. Dan perkumpulan ini dinamakan Sumatera Thuwailib, yang kemudian pada tahun 1912 berubah menjadi Sumatera Thawalib.
Menurut Hamidin R Endah, dalam tesisnya ” Thawalib Padang Panjang, dan Pembaharuan Pendidikan Islam”, melalui organisasi inilah kemudian melahirkan Perguruan Thawalib Padang Panjang.
Dengan berubahnya nama perkumpulan Thuwailib menjadi perguruan Thawalib Padang Panjang, sekaligus mengubah model dan tatakelola lembaga pendidikan. Dimana sebelumnya pendidikan dilakukan dengan model berhalaqah di “Surau”, kemudian secara bertahap berubah menjadi sistem persekolahan, dimana murid-muridnya dibagi menjadi berkelas. Mulai dari kelas 1 hingga kelas 7. Dan pada proses ini, menjadi awal mula titik perubahan model sekolah dari Surau ke Madrasah
Perubahan model pendidikan dari Surau Ke Madrasah tersebut, bukan sekadar mengubah nama saja, melainkan mengubah cara pandang, pengelolaan dan manajemen pendidikan, termasuk di dalamnya adalah perubahan kurikulum pendidikan.
Jika sebelumnya ( masa surau), pengajaran hanya banyak difokuskan pada kemampuan membaca kitab-kitab berbahasa arab, namun pada saat model madrasah, kemampuan santri di kembangkan dalam berbagai pengetahuan, mulai dari pengetahuan agama, pengetahuan umum, teknik berdebat, pidato, menulis, dan cara-cara mengemukakan pendapat, hingga mendirikan perpustakaan serta menerbitkan sebuah media pembelajaran yang dinamai majalah Al Munir.
Sejak perubahan model sekolah ini, perguruan Thawalib menerima berbagai santri/pelajar dari berbagai daerah. Dan pada saat itu, pelajar-pelajar yang telah berhasil dan sukses, kembali ke kampung halamanya untuk mendirikan cabang Thawalib.
Sehingga, dalam waktu yang relatif cepat, melalui sebaran para alumninya, berdirilah Sumatera Thawalib Parabek Bukittinggi, Sumatera Thawalib Padang Japang Payakumbuh, Sumatera Thawalib Batusangkar, Sumatera Thawalib Maninjau, dan banyak tempat lainnya.
Keberadaan jaringan perguruan Thawalib di berbagai daerah, telah mengubah tradisi pendidikan yang berbasis tradisional ke arah model pendidikan berbasis modern. Dan pada saat itulah, Thawalib melahirkan banyak ulama yang kemudian menjadi bagian dari pergerakan Islam yang penting di wilayah Sumatera.
Perkembangan model pengelolaan pendidikan Thawalib yang berbasis pengajaran modern di Sumatera ini, pada akhirnya sampai informasinya ke telinga KH Ahmad Dahlan, yang pada saat itu baru saja mendirikan organisasi Muhammadiyah Di Yogyakarta.
Sementara sisi lain, ulama sumatera juga mendengar KH Ahmad Dahlan mendirikan Organisasi Muhammadiyah di Yogyakarta. Sehingga, para ulama Thawalib datang berkunjung ke Yogyakarta untuk belajar tentang Muhammadiyah, agar organisasi ini juga bisa didirikan di Sumatera. Sementara KH Dahlan pun juga ingin belajar bagaimana mendirikan dan mengelola lembaga pendidikan modern.
Akhirnya selain Muhammadiyah kemudian mendirikan banyak lembaga pendidikan modern, ulama thawalib pun pada tahun 1925 mulai mendirikan organisasi Muhammadiyah di tanah Sumatera.
Maka sejak keberadaan Muhammadiyah di Sumatera tersebut, lembaga pendidikan pun juga semakin berkembang. Menurut Azyumardi Azra, pada tahun 1933, sudah berdiri sekolah Muhammadiyah sejumlah 122 sekolah dengan jumlah murid 5.835 orang. Dan ini belum termasuk sekolah-sekolah yang didirikan oleh Thawalib dan organisasi lainnya.
Fakta ini menunjukkan, bahwa kebangkitan sekolah di Sumatera, tidak lepas dari kebangkitan Thawalib dari yang dulunya Surau, menjadi madrasah atau sekolah berbasis modern
Pada akhirnya, Thawalib, bukan saja dilihat sebagai sebuah lembaga pendidikan tradisional yang berbasis surau, namun thawalib melakukan transformasi menjadi sebuah lembaga pendidikan yang berbasis pemikiran dan gerakan.
Maka pada usia yang ke 110 tahun ini, Thawalib harus mampu mengambil hikmah dan pelajaran penting dari perjalanan pembaharuan sejarah thawalib. Agar pada abad kedua ini, thawalib mampu menjadi lembaga pendidikan yang mampu menjawab berbagai tantangan perubahan zaman.
Dan sebagai akhir kata, tidak ada yang tepat selain ucapan tahniah atas perjalanan panjang 110 tahun, sekolah pergerakan ini, yaitu Perguruan Thawalib Padang Panjang.
Deni Al Asyari, Direktur Utama Suara Muhammadiyah/Alumni Thawalib Padang Panjang