Ad Hominem, Sesat Pikir Para Pendengung

Ashgar Ali Engineer sesat pikir

Mengkafirkan Ilustrasi Dok Columbia Edu

AD HOMINEM

Oleh: Fahd Pahdepie

Sampai hari ini, tak ada satupun klarifikasi memadai dari orang-orang yang secara terbuka menyerang Ustadz Adi Hidayat (UAH) dan menuduhnya bermain-main dengan dana donasi Palestina. Saya sudah menyebut beberapa orangnya, menghubungi secara pribadi, bahkan meminta bertemu. Alih-alih fokus pada permintaan saya dan pihak UAH untuk klarifikasi, serangan personal justru datang bertubi-tubi. Tentu kami santai saja. Tapi, izinkan saya membahas satu hal mengenai fenomena ini.

Ada satu sesat pikir yang kerap terjadi di tengah perdebatan publik media sosial kita: ad hominem. Dalam teori penalaran, ini merupakan serangan baik secara lisan maupun tertulis terhadap pribadi orang yang berargumen ketimbang argumennya. Serangan ini mencoba meruntuhkan otoritas si pembuat argumen utama dengan menyerang karakter, padahal si penyerang sama sekali tidak bisa membuktikan bahwa serangan itu benar secara logika atau fakta.

Ketidakmampuan menghadirkan argumen tandingan ditutupi dengan cara menyerang pribadi tanpa logika dan fakta yang jelas. Di tengah-tengah kita banyak yang seperti ini. Siapapun mereka, apapun latar belakangnya, berada di pihak mana, apapun afiliasi politiknya, kerap terjebak dengan ‘ad hominem’ ini. Mereka terbiasa lari dari substansi untuk kemudian sibuk menyerang pribadi.

Baru-baru ini saya mengalami kejadian ini. Saya menyajikan tulisan-tulisan panjang dan utuh yang mengemukakan bahwa ada fitnah terhadap UAH yang dituduh menggelapkan atau menilap dana sumbangan. Tak bisa dibiarkan. Saya urai argumennya, seraya menyajikan klarifikasi disertai fakta-fakta. Terbuka untuk dikroscek dan divalidasi kapan saja.

Setiap peristiwa, penanda waktu, tempat, orang, saya sebutkan dengan jelas untuk menunjukkan bahwa yang sedang saya kemukakan valid dan argumentatif. Silakan dibaca baik-baik, tak ada satupun kalimat yang saya buat mencoba mendiskreditkan seseorang secara personal, baik kepada Eko Kuntadhi maupun Guntur Romli, sebab yang saya kritik adalah peristiwa dan perilaku, pikiran dan tindakan, bukan karakter orangnya.

Tetapi sudah saya antisipasi bahwa mungkin saya tidak akan mendapatkan balasan argumen atau klarifikasi yang diharapkan. Dalam tulisan berjudul ‘Lawan Buzzer, Tolak Kategorisasi’ saya mengemukakan, “Dengan menulis ini, tentu saya tidak terbebas dari risiko. Baik risiko politik maupun risiko publik untuk dirisak dan dihakimi.”

Ternyata benar, seketika serangan personal saya dapatkan. Pertama-tama kategorisasi kelompok 212, kemudian labelisasi ‘politisi mualaf’, lengkap dengan tuduhan-tuduhan tak berdasar yang sebenarnya bikin saya senyum-senyum saja. Entah siapa yang ‘feeding’ informasi itu kepada Guntur Romli yang ia sebut datang dari WA yang masuk.

Upaya penyerangan lainnya tentu mendiskreditkan UAH dan aksi penggalangan donasi itu sendiri, mencoba meruntuhkan otoritas argumen dengan menyebut ‘komplotan maling’ hingga membuat meme singa yang dibuat dengan niat yang sungguh-sungguh untuk mengesankan bahwa kami takut ‘saat ditanya laporan dan sisa donasi’. Padahal laporan donasi ada di mana-mana, disiarkan secara publik melalui video, berita, dan lainnya. Bahkan bisa ditanya langsung ke MUI, BSI, dan pihak-pihak terkait.

Ada persoalan besar dalam narasi dan percakapan ruang publik kita, terutama di media sosial. Kebiasaan ‘ad hominem’ ini perlu kita waspadai, syukur-syukur dihentikan. Siapapun kita. Sering kita membaca serangan-serangan verbal kepada personal yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan isi substansi atau argumen yang sedang diperdebatkan. Sering kita jadi hanya bisa mengumpat, mengkategorisasi, melabelisasi, nyinyir, menuduh, bahkan jatuh sampai saling memfitnah.

Bagi saya pribadi, yang sedang saya lakukan dan perjuangkan ini bukan hanya tentang UAH, bukan soal saya membela kelompok yang mana, tidak sesempit dukungan politik tertentu atau mengejar keuntungan tertentu yang disebut ‘pansos’ atau panjat sosial itu. Yang saya dan kawan-kawan sedang perjuangkan adalah sikap adil dan objektif pada setiap persoalan, pembelaan terhadap nilai dan prinsip-prinsip demokrasi, keinginan untuk menciptakan ruang dan percakapan publik yang bersih dari narasi perpecahan serta kebencian.

Siapapun Anda, berhentilah mengkategorisasi, berhentilah melabelisasi, berhentilah melakukan politik pecah belah yang mengkotak-kotakkan kita menjadi kelompok yang saling berlawanan. Sudah tidak ada gunanya bahkan membahayakan persatuan bangsa ini dalam jangka panjang. Luka di Pilgub DKI 2017 sudah harus kita sembuhkan, narasi penuh benci pada pilpres 2019 harus kita hentikan, 212 sudah tidak relevan lagi, yang merasa paling pendukung Jokowi boleh jadi sudah tidak ada hubungannya sama sekali.

Kasus yang menimpa UAH yang sedang saya tangani ini menunjukkan betapa buruknya cara kita melihat suatu fenomena. Pembelaan terhadap Palestina di-spin sedemikian rupa menjadi peluru politik pecah belah, publik dibuat berpolemik dan berhadap-hadapan, bahkan jauh sampai membentur-benturkan ekspresi hingga substansi beragama. Ini bahaya sekali.

Sama seperti isu korupsi dan pelemahan KPK yang sedang mengemuka belakangan ini. Mengapa kita tak fokus pada substansi bahwa korupsi harus kita perangi bersama-sama? Ada kasus besar bansos, korupsi Jiwasraya, Asabri, BPJS Ketenagakerjaan, Pelindo II dan seterusnya. Mengapa kita justru sibuk berdebat soal ada Taliban di KPK? Mengapa aktivis media sosial justru sibuk mempersoalkan donasi Palestina yang digalang ustadz atau ormas seperti Muhammadiyah?

Namun, kalau memang ada kelompok atau pihak-pihak yang menginginkan perpecahan dan kategorisasi ini terus ada serta langgeng, merekalah yang harus kita perangi bersama-sama. Apalagi kalau mereka memang terus menginginkan bangsa ini bertengkar, berselisih, berpecah. Entah apa ujung yang diharapkan. Entah apa agenda politik jangka panjangnya.

Akhirnya, saya selalu berusaha menuliskan semua ini secara utuh agar bisa saya pertanggungjawabkan. Logika perlu disusun secara teratur, terstruktur dan terukur. Bukan racauan membabi buta yang hanya menunjukkan bahwa ada sesuatu yang salah dari cara kita membangun penalaran. Mudah-mudahan kita bisa belajar dari sini dan menjadi lebih baik sebagai bangsa.

Kami belum berhenti.

Tabik!

Fahd Pahdepie, Penulis, Ikatan Alumni Darul Arqam Muhammadiyah (Ikadam)

Exit mobile version