Validitas Hadits Posisi Imam Wanita dalam Shalat Jamaah

Validitas Hadits Posisi Imam Wanita Dalam Shalat Jamaah

Kebanyakan hadits tentang posisi imam wanita berada di tengah shaf terkategori mauquf, yaitu hadits yang disandarkan pada sahabat dan dimasukan pada jenis hadits dhaif, namun masih dapat dijadikan hujjah (dasar amalan) dengan syarat ada jalur lain yang bersambung kepada Nabi (mauquf ka hukmil marfu’) dan memiliki banyak jalur yang saling menguatkan. Sehingga suatu hadits yang awalnya dinilai lemah (dha’if), dapat terangkat menjadi hasan li-ghairihi. Hadits tentang tema ini umumnya didasarkan pada riwayat Aisyah dan Ummu Salamah.

Setelah diteliti, ditemukan riwayat lain dari Ibnu Abbas, Asma’ binti ‘Umais dan Ummu Waraqah, hingga ternilai sebagai hadits populer (masyhur). Para ahli hadits yang meriwayatkan antara lain: Al-Daruquthni, Al-Baihaqi, Ahmad, Al-Syafi’I, Al-Hakim, Abdurrazzaq, Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Mundzir, Ibnu Sa’ad dan Muhammad bin al-Hasan. Untuk memudahkan dalam memahami rangkaian periwayatan tersebut, dilakukan pembagian berdasar lima jalur sahabat, yaitu: Aisyah, Ummu Salamah, Ibnu Abbas, Asma’, dan Ummu Waraqah disertai beberapa jalur pendukung lainnya.

Hadits dari jalur Aisyah memiliki banyak periwayatan yang seluruh kualitas haditsnya dinilai lemah (dha’if), namun beragam, mulai dari yang ringan hingga berat. Yang ringan masih bisa diangkat statusnya melalui jalur lain, sedang yang berat harus ditinggalkan. Di antara yang ringan terdapat dalam Mushannaf Abdurrazaq no. 4932, al-Ausath Ibnu al-Mundzir no. 2028, Sunan al-Daruquthni no. 1310, Thabaqat al-Kubra Ibnu Sa’ad no. 10491, dan AlSunan al-Kubra al-Baihaqi no. 1944, hanya dalam Ibnu al-Mundzir terdapat tambahan seorang rawi bernama Ishaq yang dinilai baik oleh kritikus hadits.

عَبْدالرَّزَّاقِ ، عَنِ الثَّوْرِيْ ، عَنْ مَيْسَرَةَ بْنِ حَبِيْبٍ النَّهْدِي ، عَنْ رِيْطَةِ الْحَنَفِيَّةِ أَنَّ عَائِشَةَ ” أَمَّتْهُنَّ وَقَامَتْ بَيْنَهُنَّ فِي صَلاَةٍ مَكْتُوْبَةٍ” (رواه عبد الرزاق)

Abdurrazzaq dari al-Tsauri dari Maisarah bin Habib al-Nahdiy dari Rithah al Hanafiyyah bahwasanya Aisyah “mengimami (para wanita) dan beliau berdiri di antara mereka dalam shalat fardhu”. (HR. Abdurrazzaq)

حَدَّثَنَا أَبُوْ بَكْرٍ النَّيْسَابُوْرِيْ , ثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنْصُوْرٍ , ثَنَا يَزِيْدُ بْنُ أَبِيْ حَكِيْمٍ , أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ , حَدَّثَنِي مَيْسَرَةُ بْنُ حَبِيْبٍ النَّهْدِيْ , عَنْ رِيْطَةِ الْحَنَفِيَّةِ , قَالَتَ : ” أَمَّتْنَا عَائِشَةُ فَقَامَتْ بَيْنَهُنَّ فِي الصَّلَاةِ الْمَكْتُوْبَةِ “(رواه الدارقطني)

Telah menceritakan pada kami Abu Bakr al-Naisaburiy, telah menceritakan pada kami Ahmad bin Manshur, telah menceritakan pada kami Yazid bin Abi Hakim, telah mengkabarkan pada kami Sufyan, telah menceritakan padaku Maisarah bin Habib al-Nahdiy, dari Rithah al-Hanafiyah ia berkata: “Aisyah (pernah) mengimami kami dan beliau berdiri di antara (shaf) mereka dalam shalat fardhu”. (HR. Al-Daruquthni).

أَخْبَرَنَا يَزِيْدُ بْنُ هَارُوْنَ ، قَالَ : أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ ، عَنْ مَيْسَرَةَ ، عَنْ رِيْطَةِ الْحَنَفِيَّةِ قَالَتْ : ” أَمَّتْنَا عَائِشَةُ فِي الصَّلَاةِ فَقَامَتْ وَسَطَناَ ” (رواه ابن سعد)

Telah mengkabarkan kepada kami Yazid bin Harun, berkata: telah mengkabarkan pada kami Sufyan, dari Maisarah, dari Rithah al-Hanafiyah ia berkata: “Aisyah (pernah) mengimami kami dalam suatu shalat dan beliau berdiri di tengah-tengah kami”. (HR. Ibnu Sa’ad).

أَخْبَرَنَا أَبُو الْحَسَنِ عَلِىُّ بْنُ مُحَمَّدٍ الْمُقْرِئُ أَخْبَرَنَا الْحَسَنُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَاقَ أَخْبَرَنَا يُوسُفُ بْنُ يَعْقُوبَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِى بَكْرٍ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ زِيَادِ بْنِ لاَحِقٍ قَالَ حَدَّثَتْنِى تَمِيمَةُ بِنْتُ سَلَمَةَ : أَنَّهَا أَتَتْ عَائِشَةَ فِى نِسْوَةٍ مِنْ أَهْلِ الْكُوفَةِ فَقُلْنَا : يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ نَسْأَلُكِ عَنْ مَوَاقِيتِ الصَّلَوَاتِ. قَالَتِ : اجْلِسْنَ فَجَلَسْنَا ، فَلَمَّا كَانَتِ السَّاعَةُ الَّتِى تَدْعُونَهَا نِصْفَ النَّهَارِ قَامَتْ ، فَصَلَّتْ بِنَا وَهِىَ قَائِمَةٌ وَسَطَنَا … (رواه البيهقي)

Telah mengkabarkan pada kami Abu al-Hasan Ali bin Muhammad al-Muqri, telah mengkabarkan pada kami al-Hasan bin Muhammad bin Ishaq, telah mengkabarkan pada kami Yusuf bin Ya’qub, telah menceritakan pada kami Muhammad bin Abu Bakar, telah menceritakan pada kami Yahya bin Sa’id dari Yizad bin Lahiq ia berkata, telah menceritakan padaku Tamimah binti Salamah bahwasanya, ia menemui Aisyah di suatu perkumpulan wanita penduduk Kufah kemudian kami berkata: “Wahai Ummul Mukminin kami (ingin) bertanya kepadamu mengenai waktu-waktu shalat”. Lalu beliau (Aisyah) menjawab: “Duduklah kalian”, lalu kamipun duduk. Maka ketika waktu menunjukkan tengah hari, beliau berdiri kemudian shalat bersama kami dan beliau berdiri di tengah-tengah kami…”. (HR. Al-Baihaqi)

Kelemahan hadits riwayat Abdurrazzaq, Al-Daruqutni, Ibnu Sa’ad dan Al-Baihaqi di atas disebabkan keterputusan sanad yang sama yaitu antara Sufyan al-Tsauri – Maisarah – Rithah al-Hanafiyah – Aisyah, sedang keterputusan dalam riwayat al-Baihaqi terjadi dalam sanad Abu al-Hasan – al-Hasan bin Muhammad – Yusuf bin Ya’qub dan sanad Yahya bin Sa’id – Ziyah bin Lahiq – Tamimah binti Salamah – Aisyah, yang semuanya itu disebabkan belum dijumpainya data bukti hubungan guru-murid. Sedang riwayat Ibnu Abi Syaibah no. 4884 sebagai berikut:

حَدَّثَنَا وَكِيْعٌ ، عَنِ ابْنِ أَبِيْ لَيْلى ، عَنْ عَطَاءٍ ، عَنْ عَائِشَةَ ، أَنَّهَا كَانَتْ تَؤُمُّ النِّسَاءَ تَقُوْمُ مَعَهُنَّ فِي الصَّفِّ (رواه ابن ابي شيبة)

Telah menceritakan pada kami Waki’, dari Ibnu Abi Laili, dari Atha’, dari Aisyah bahwasanya, “beliau (pernah) mengimami para wanita dan beliau berdiri di shaf bersama mereka”. (HR. Ibnu Abi Syaibah)

Kelemahan riwayat Ibnu Abi Syaibah dikarenakan terdapat rawi yang tidak memenuhi dua kriteria ke-shahih-an hadits (keadilan dan keakuratan [dhabit]), yaitu Ibnu Abi Laili yang dikomentari Ibnu Hajar sebagai orang yang jujur, namun sangat buruk hafalannya dan ‘Atha sebagai orang yang banyak memutus hadits serta tidak akurat di akhir usianya.

Sedang jalur Aisyah yang terkategori dha’if berat diantaranya dalam Al-Atsar Muhammad bin al-Hasan no. 215, Mustadrak al-Hakim no. 677, dan Al-Sunan Al-Kubra Al-Baihaqi no. 4978, 4979 dan 1779, dimana disebabkan adanya rawi yang dinilai pendusta dan ahlul bid’ah seperti Murji’ah (Muhammad Al-Hasan sendiri) dan Murji’ah (Hammad dalam riwayat tersebut). Dalam periwayatan Al-Hakim terdapat seorang rawi bernama Ahmad bin Abdil Jabbar al-‘Atharidiy yang dinilai pernah berdusta oleh Muhammad bin Abdillah, pun Abu Ahmad bin Addiy menilai bahwa kedustaannya disepakati oleh penduduk Irak.

Dalam periwayatan Al-Baihaqi, seorang rawi bernama Abu Abdillah al-Hafidz dinilai oleh Al-Hakim sebagai Syi’ah Rafidhah (kelompok Syiah yang dinilai keluar dari Islam) dan dikenal banyak memalsukan hadits sehingga riwayatnya tidak dapat dijadikan hujjah dan tidak dapat terangkat derajatnya oleh hadits lain, bahkan harus ditinggalkan (Fatchur Rahman, t.t: h. 175). Berikut ketiga riwayat tersebut:

مُحَمَّدٌ ، قَالَ : أَخْبَرَنَا أَبُوْ حَنِيْفَةَ ، قَالَ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ ، عَنْ إِبْرَاهِيْمَ ، عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِيْنَ رضي الله عنه ا أَنَّهَا كَانَتْ تَؤُمُّ النِّسَاءَ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ فَتَقُوْمُ وَسَطًا ” (رواه محمد بن الحسن)

Muhammad ia berkata, telah mengkabarkan pada kami Abu Hanifah ia berkata, telah menceritakan pada kami Hammad, dari Ibrahim, dari Aisyah Ummul Mukminin, bahwasanya beliau (pernah) mengimami para wanita pada bulan Ramadhan dan beliau berdiri di tengah-tengah (shaff) (HR. Muhammad bin al-Hasan)

حَدَّثَنَا أَبُو الْعَبَّاسِ مُحَمَّدُ بْنُ يَعْقُوْبِ الْأَصَمِّ، ثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ الْجَبَّارِ اْلعَطَارِدِيْ، ثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ إِدْرِيْسَ، عَنْ لَيْثٍ، عَنْ عَطَاءٍ، عَنْ عَائِشَةَ، أَنَّهَا كَانَتْ ” تُؤَذِّنُ، وَتُقِيْمُ، وَتَؤُمُّ النِّسَاءَ، وَتَقُوْمُ وَسَطَهُنَّ” (رَوَاهُ الْحَاكِمْ)

Telah menceritakan pada kami Abu al-Abbas Muhammad bin Ya’qub al-Asham, telah menceritakan pada kami Ahmad bin Abdul Jabbar al‘Atharidiy, telah menceritakan pada kami Abdullah bin Idris, dari Laits, dari ‘Atha’, dari Aisyah bahwasanya ia “adzan, iqamah, mengimami (para) wanita dan ia berdiri (dengan posisi) di tengah-tengah mereka.” (HR. Al-Hakim)

أَخْبَرَنَا أَبُوْ عَبْدِ اللهِ الْحَافِظ ، ثَنَا أَبُو الْعَبَّاسِ مُحَمَّدُ بْنُ يَعْقُوْبَ ، ثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنِ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَل ، حَدَّثَنِي أَبِيْ ، ثَنَا وَكِيْعٌ ، ثَنَا سُفْيَانُ ، عَنْ مَيْسَرَةَ أَبِيْ حَازِمٍ ، عَنْ رَائِطَةِ الْحَنَفِيَّةِ ، ” أَنَّ عَائِشَةَ أَمَّتْ نِسْوَةً فِي الْمَكْتُوْبَةِ فَأَمَّتْهُنَّ بَيْنَهُنَّ وَسَطًا ” (رواه البيهقي)

Telah mengkabarkan pada kami Abu Abdillah al-Hafidz, telah menceritakan pada kami Abu al-Abbas Muhammad bin Ya’qub, telah menceritakan pada kami Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, telah menceritakan padaku ayahku, telah menceritakan pada kami Waki’, telah menceritakan pada kami Sufyan, dari Maisarah Abi Hazim, dari Raithah al-Hanafiyah bahwasanya, “Aisyah (pernah) mengimami para wanita dalam shalat fardhu dan beliau mengimami mereka (dengan posisi) berada di tengah-tengahnya”. (HR. Al-Baihaqi: 4978).

Pemaparan beberapa hadits jalur Aisyah sebelumnya, dapat diketahui bahwa hadits-hadits tentang posisi imam wanita berada di tengah shaf adalah mauquf lagi dha’if dengan kelemahan yang beragam. Untuk menentukan dapat dijadikan dasar suatu amalan, harus melalui penelusuran jalur lain dari sahabat, yaitu Ummu Salamah. Karena pada kenyataannya, praktik tersebut telah dilakukan mayoritas muslimah selama ini, dimana suatu ibadah pada prinsipnya berdasar dalil shahih, dalam artian hadits atau al-sunnah al-maqbulah.

Berikutnya dari jalur Ummu Salamah memiliki beberapa periwayatan yaitu dalam Mushannaf Abdurrazaq no. 4928, Sunan al-Daruquthni no. 1311, Al-Ausath Ibnu al-Mundzir no. 2027, Thabaqat al-Kubra Ibnu Sa’ad no. 10495, dan Al-Mathalib Al-‘Aliyah Ibnu Hajar al-Asqalani no. 422. Hadits-hadits tersebut redaksinya sama, hingga cukup dicantumkan salah satunya yakni riwayat Abdurrazzaq. Jalur Ummu Salamah lainnya terdapat dalam Musnad al-Syafi’i no. 213, Mushannaf Ibnu Abi Syaibah no. 4882, dan Al-Sunan al-Kubra Al-Baihaqi no. 4980 yang sama redaksinya dengan riwayat Al-Syafi’i, pun cukup dicantumkan salah satunya dari al-Syafi’i. Berikut beberapa riwayat tersebut:

عَبْدُ الرَّزَّاقِ ، عَنِ الثَّوْرِيْ ، عَنْ عَمَّارِ الدُّهْنِي ، عَنْ حُجَيْرَةَ بِنْتِ حُصَيْنٍ ، قَالَتَ : ” أَمَّتْنَا أُمُّ سَلَمَةَ فِي صَلَاةِ الْعَصْرِ قَامَتْ بَيْنَنَا ” (رواه عبد الرزاق)

Abdurrazzaq dari al-Tsauri dari ‘Ammar al-Duhniy dari Hujairah binti Khushain ia berkata, “Ummu Salamah (pernah) mengimami kami dalam shalat asar dan beliau berdiri di antara kami”. (HR. Abdurrazzaq)

أَخْبَرَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ ، عَنْ عَمَّارِ الدُّهْنِي ، عَنْ اِمْرَأَةٍ مِنْ قَوْمِهِ يُقَالُ لَهَا حُجَيْرَةُ ، عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ رضي الله عنه أَنَّهَا أَمَّتْهُنَّ فَقَامَتْ وَسَطًا (رواه الشافعي)

Telah mengkabarkan pada kami Ibnu Uyainah dari ‘Ammar al-Duhniy dari seorang perempuan dari kaumnya yang bernama Hujairah, dari Ummu Salamah sesungguhnya beliau (pernah) mengimami mereka dan berdiri di tengah-tengah (shaf). (HR. Al-Syafi’i)

حَدَّثَنَا أَبُوْ بَكْرٍ قَالَ : حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ ، عَنْ عَمَّارٍ الدُّهْنِيِّ ، عَنِ امْرَأَةٍ مِنْ قَوْمِهِ اسْمُهَا حُجَيْرَةُ ، قَالَتْ: أَمَّتْنَا أُمُّ سَلَمَةَ قَائِمَةً وَسَطَ النِّسَاءِ (رواه ابن أبي شيبة)

Telah menceritakan pada kami Abu Bakar ia berkata: telah menceritakan pada kami Sufyan bin Uyainah dari ‘Ammar al-Duhniy dari seorang perempuan (kaumnya) bernama Hujairah, ia berkata: “Ummu Salamah (pernah) mengimami kami dan berdiri di tengah-tengah para wanita”. (HR. Ibnu Abi Syaibah)

Ketiga riwayat di atas dinilai dha’if karena terjadi keterputusan sanad Ammar – Hujairah – Ummu Salamah dengan sebab belum ditemukannya hubungan guru-murid. Selain itu tidak diketahui identitas Hujairah binti Khushain (majhul). Hadits jalur sahabat ketiga dari Ibnu Abbas terdapat dalam Mushannaf Abdurrazzaq no. 4929 dan Al-Sunan Al-Kubra Al-Baihaqi no. 4981, namun dinilai dha’if berat karena terdapat rawi Ibrahim bin Muhammad yang dinilai pendusta dan ahlul bid’ah. Adapun hadits dari jalur Asma’ hanya terdapat dalam Sunan Kubra al-Baihaqi no. 1778 dan secara eksplisit menunjukkan tentang posisi imam wanita berada di tengah dan tersambung pada Rasul (marfu’). Namun kualitas haditsnya dinilai dha’if karena terdapat rawi bernama Al-Hakam bin Abdullah al-Aili, bahkan dinilai palsu oleh Al-‘Ainiy, komentator Sunan Abi Dawud. Hadits tersebut yaitu:

أَخْبَرَنَا أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْمَالِينِىُّ أَخْبَرَنَا أَبُو أَحْمَدَ بْنُ عَدِىٍّ حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ الْحَسَنِ بْنِ عَبْدِ الْجَبَّارِ حَدَّثَنَا الْحَكَمُ بْنُ مُوسَى حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ حَمْزَةَ عَنِ الْحَكَمِ عَنِ الْقَاسِمِ عَنْ أَسْمَاءَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- :« لَيْسَ عَلَى النِّسَاءِ أَذَانٌ وَلاَ إِقَامَةٌ وَلاَ جُمُعَةٌ ، وَلاَ اغْتِسَالُ جُمُعَةٍ وَلاَ تَقَدَّمَهُنَّ امْرَأَةٌ وَلَكِنْ تَقُومُ فِى وَسَطِهِنَّ (رواه البيهقي)

Telah menceritakan pada kami Ahmad bin Muhammad al-Maliniy, telah mengkabarkan pada kami Abu Ahmad bin ‘Iddiy, telah menceritakan pada kami Ahmad bin al-Hasan bin Abdul Jabbar, telah menceritakan pada kami al-Hakam bin Musa, telah menceritakan pada kami Yahya bin Hamzah dari al-Hakam dari Qasim dari Asma’ ia berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Tidak ada bagi seorang wanita yaitu adzan, iqamah, shalat jumat dan mandi jumat (mandi besar), serta tidak pula wanita itu berdiri di depan mereka (pada shalat jamaah), akan tetapi ia berdiri di tengah-tengah mereka”. (HR. Al-Baihaqi)

Hadits jalur sahabat terakhir melalui Ummu Waraqah yang luaran teksnya tidak menyebutkan ketentuan posisi wanita saat menjadi imam. Namun berdasar beberapa kitab syarah-komentar hadits dijadikan penguat bagi hadits-hadits mauquf dari Aisyah dan Ummu Salamah. Pun diindikasikan bersambung ke Rasul (marfu’).

حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ قَالَ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ قَالَ حَدَّثَتْنِي جَدَّتِي عَنْ أُمِّ وَرَقَةَ بِنْتِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْحَارِثِ الْأَنْصَارِيِّ وَكَانَتْ قَدْ جَمَعَتْ الْقُرْآنَ وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ أَمَرَهَا أَنْ تَؤُمَّ أَهْلَ دَارِهَا وَكَانَ لَهَا مُؤَذِّنٌ وَكَانَتْ تَؤُمُّ أَهْلَ دَارِهَا (رواه أحمد)

Telah menceritakan pada kami Abu Nu’aim ia berkata, telah menceritakan pada kami al-Walid ia berkata, telah menceritakan padaku neneku dari Ummu Waraqah binti Abdillah bin al-Harits al-Anshariy (yang beliau) turut mengumpulkan Al-Qur’an, bahwa Nabi saw (pernah) menyuruhnya untuk mengimami penghuni rumahnya, ia memiliki seorang mu’adzin dan ia mengimami penghuni rumahnya. (HR. Ahmad)

Hadits ini dinilai hasan, meski terdapat seorang rawi Al-Walid bin Abdillah Al- Kufiy yang dinilai Ibnu Hajar shaduq (jujur), tapi tertuduh Syi’ah, namun sebagian besar kritikus hadits menilainya baik. Bahkan Al-Bukhari pernah meriwayatkan darinya dan Imam Muslim berdalil dengannya. Hadits serupa Ummu Waraqah ini juga terdapat dalam kitab hadits lain seperti: Shahih Ibnu Huzaimah no. 1574, 676; Sunan Abi Dawud no. 505; Sunan al-Daruquthni no. 933, 309 dan Al-Sunan Al-Kubra al-Baihaqi no. 1766, 4976, 4977.

Dapat disimpulkan dari pemaparan sebelumnya bahwa hadits-hadits yang secara eksplisit menyebutkan posisi imam wanita berada di tengah, bernilai dha’if dalam kategori ringan maupun berat. Untuk hadits dha’if kategori ringan, masih dapat terangkat statusnya dengan hadits lain yang memiliki kualitas lebih tinggi. Dalam hal ini, seperti yang telah disinggung, bahwa satu-satunya hadits yang dapat mengangkat beberapa hadits mauquf Aisyah dan Ummu Salamah adalah hadits dari jalur Ummu Waraqah dengan kualitas hasan lagi marfu’. Sehingga derajat haditsnya Aisyah dan Ummu Salamah naik menjadi hasan lighairihi dengan status sebagai mauquf ka hukmil marfu’.

Meski hadits Ummu Waraqah ini tidak secara eksplisit menyebut mengenai posisinya, tapi adanya perintah menjadi imam sangat terkait dengan posisi imam itu sendiri, sebagaimana Muhammad bin Nashr al-Marwazi dalam Qiyamu Al-Lail wa al-Witr yang berkomentar mengutip Sufyan al-Tsauri yang berpendapat, bahwa diperbolehkan seorang wanita apabila menjadi imam bagi para wanita lainnya, berdiri di tengah (shaf) mereka. Hal ini didasarkan atas (hadits Nabi) dalam riwayat Ummu Waraqah yang pernah disuruh Nabi menjadi imam bagi penghuni rumahnya, dimana Aisyah beserta Ummu Salamah mengikuti hal tersebut (menjadi imam).

Fithri Istiqomah, Mahasiswi Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah Yogyakarta

Sumber: Majalah SM No 6-7 Tahun 2019

Exit mobile version