Kongres Muhammadiyah dan Bibit-Bibit Kebangsaan Indonesia
Oleh: Muhammad Yuanda Zara
Bagi banyak warga Muhammadiyah, kongres (istilah yang dipakai sejak tahun 1921, sebelumnya disebut persidangan tahunan), atau yang kini dikenal sebagai muktamar, merupakan sebuah kegiatan yang sangat penting secara keroganisasian. Dalam kesempatan itu anggota dan simpatisan Muhammadiyah dari seluruh Indonesia berkumpul untuk membahas soal-soal internal, termasuk pemilihan ketua umum, maupun problem sosial kemasyarakatan yang sedang hangat. Kemeriahan muktamar juga sampai kepada mereka yang berada di luar Muhammadiyah. Pejabat tinggi, pengamat, wartawan hingga mahasiswa ambil bagian dalam muktamar.
Akan tetapi, ada fungsi lain dari kongres Muhammadiyah yang patut disebut, yakni sebagai medium persemaian bibit nasionalisme Indonesia. Ini terutama sekali tampak dalam kongres yang diadakan pada masa kolonial Belanda, ketika Indonesia masih dalam bentuk ide yang kemudian dituangkan dalam simbol-simbol dan gerakan sosial-politik kebangsaan.
Sejauh ini sudah diketahui bahwa sejak awal pendiriannya Muhammadiyah telah memperlihatkan orientasi kebangsaannya. Setelah sempat memakai bahasa Jawa dalam publikasi resminya, organisasi ini menggunakan bahasa Melayu pada era 1920an, bahasa yang dijadikan sebagai bahasa pengantar berbagai kelompok masyarakat beretnis berbeda di Hindia Belanda. Problem-problem yang coba diatasi Muhammadiyah kala itu adalah problem yang melanda sebagian besar masyarakat pribumi kala itu, dalam hal ini mencakup pendidikan, pelayanan kesehatan dan praktik beragama.
Ada satu medium lain yang digunakan Muhammadiyah sebagai cara untuk memperlihatkan kecenderungannya pada perasaan kolektif yang berciri kebangsaan di Hindia Belanda tahun 1920an, yakni melalui kongres. Bagi banyak orang Indonesia, bahkan bagi warga Muhammadiyah sendiri, kongres umumnya hanya dipandang sebagai tempat bertemu dan berdiskusinya warga Muhammadiyah. Bukan berarti ini tidak krusial (mengingat banyak keputusan penting diambil via kongres), namun ada fungsi-fungsi lain dari kongres yang patut dipertimbangkan.
Usaha untuk memperlihatkan bahwa Muhammadiyah keluar dari cakupan geografis Yogyakarta dan bahwa organisasi ini merangkul masyarakat di tempat selain kota kelahirannya itu dilakukan pada kongres Muhammadiyah ke-XII tahun 1923. Saat itu ada 10 cabang Muhammadiyah yang datang. Salah satunya datang dari Sumatera. Wakil dari cabang Sumatera itu berpidato dalam kongres, di mana ia menerangkan perihal pergerakan berbasis Islam di sana. Satu usulan yang ia sampaikan memperlihatkan idenya tentang eksisnya sebuah bangsa baru.
Ia meminta diadakannya sebuah “conferentie persatoean”, suatu kesempatan untuk membicarakan pergerakan agama Islam di Jawa dan Sumatera bahkan se-Hindia. Kehadiran wakil non-Jawa (dalam pengertian suku dan geografis) dan ruang yang diberikan kepada wakil Sumatera untuk menyampaikan aspirasinya, serta penggunaan istilah “persatuan” menunjukkan adanya gagasan tentang kebersamaan yang melampaui identias kesukuan, meskipun masih dalam konteks Islam.
Kongres ke-XV Muhammadiyah tahun 1926 adalah titik penting lainnya. Ini adalah untuk pertama kalinya kongres Muhammadiyah diadakan di luar Yogyakarta (kongres ke-1 tahun 1912 sampai ke-14 tahun 1925, diselenggarakan di satu kota saja, Yogyakarta). Tempatnya adalah Surabaya. Dalam timbangan sarana transportasi di masa kini, Surabaya mungkin tidak tergolong jauh. Tapi, di zaman itu ini adalah keputusan yang berat namun penting.
Dengan diadakan di Surabaya, Muhammadiyah kian memperluas pengaruhnya ke residensi di luar Yogyakarta. Di satu sisi ini memberi kesempatan kepada warga Surabaya untuk menjadi bagian dari pergerakan Muhammadiyah. Tapi di sisi lain ada pula konsekuensi tak terduga: sejumlah cabang dan gerombolan (ranting) tak bisa mengirimkan utusan karena jauhnya Surabaya dan mahalnya ongkos ke sana, suatu hal yang bisa dimaklumi ketika pesawat terbang belum lazim dipakai orang.
Contoh lain adalah pada kongres ke-XVII Muhammadiyah di Yogyakarta pada 11-21 Februari 1928. Redaktur kepala Suara Muhammadiyah, M. Yunus Anis, dalam sebuah tulisannya tahun 1928 menerangkan bahwa kongres adalah majelis tempat di mana “wakil-wakil bangsa (kaum)” bisa menyampaikan suara mereka guna menyelesaikan problem yang mereka hadapi bersama. Kala itu Muhammadiyah sudah menginjak usia ke-16 tahun dan mampu berkembang hingga ke Sumatera.
Cakupan keanggotaan Muhammadiyah telah melampaui suku dan geografis Jawa. Kongres Muhammadiyah, yang mempertemukan wakil-wakil cabang dan ranting Muhammadiyah di Jawa dan Sumatera, mendefinisikan ulang cara warga Muhammadiyah memandang sesama warga pribumi Hindia Belanda di tengah kolonialisme Belanda. Problem warga Muhammadiyah bukan hanya problem masyarakat di Yogyakarta saja, tapi juga problem yang dialami masyarakat di wilayah lainnya di Hindia Belanda. Bagi Yunus Anis, esensi kongres Muhammadiyah tak hanya diskusi internal anggota Muhammadiyah, tapi juga merupakan musyawarah antarbangsa atau antarsuku dari berbagai pojok Indonesia.
Mungkin perlu dilihat pula pandangan pihak di luar Muhammadiyah dalam menimbang makna kongres Muhammadiyah bagi publik. Ini bisa diamati dari laporan media cetak sezaman, misalnya Bintang Timoer, tentang kongres ke-XVII Muhammadiyah tahun 1928 itu. Elemen-elemen yang disajikan oleh Bintang Timoer menegaskan posisi Muhammadiyah sebagai sebuah gerakan yang berciri nasional. Pertama, disebutkan oleh Bintang Timoer bahwa Muhammadiyah adalah sebuah perhimpunan di Yogyakarta “jang mempoenjai tjabang disegenap tempat jang besar ditanah Djawa, Soematera, Borneo dan Selebes”. Penekanan ini memberi pesan tentang Muhammadiyah sebagai organisasi yang anggotanya datang dari berbagai suku bangsa di Indonesia kala itu.
Kedua, sang wartawan Bintang Timoer juga menekankan bahwa Muhammadiyah adalah organisasinya “bangsa Indonesia”, yang bermakna bahwa Muhammadiyah merepresentasikan satu bangsa yang baru saja lahir dan tengah berproses. Kutipan utuh salah satu bagian tulisan sang jurnalis patut dikemukakan di sini: “Karena inilah ada satoe2nja perkoempoelan bangsa Indonesia jang amat teratoer organisatienja, jang lebih banjak bekerdja daripada bertereak, maka tidaklah heran, dari orang-orang jang menjoekai akan kemadjoean tanah Indonesia dengan djalan sematjam itoe, amatlah gembiranja melihat pekerdjaan koempoelan jang terseboet”.
Muhammad Yuanda Zara, Dosen Ilmu Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta
Sumber: Majalah SM Edisi 16 Tahun 2019