TWK dan Paranoia
Oleh: Wildan dan Nurcholid Umam Kurniawan
Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya untuk Indonesia Raya
(Lirik Lagu Kebangsaan RI, WR Soepratman, 1928)
Apa itu TWK (Tes Wawasan Kebangsaan)? Rasanya para pembaca tidak memerlukan lagi penjelasan lebih lanjut. Tentu para pembaca sudah sangat paham.
Bung Karno (1901 – 1970) berpesan kepada Bangsa Indonesia, agar jangan sekali-kali meninggalkan sejarah (Jasmerah). Beliau berharap agar Bangsa Indonesia tidak mengalami amnesia sejarah. Sejarah menunjukkan VOC, kongsi dagang Belanda yang terbesar di dunia pada saat itu, hancur karena pegawainya korupsi berjamaah. Sriwijaya dan Majapahit dua kerajaan besar di Nusantara pada saat itu, juga hancur karena para penguasa kerajaan saat itu korupsi, saling jegal berebut kekuasaan. Ing ngarso mumpung kuasa, ing madya numpuk banda, tut wuri hanjegali lan hanggemboli ! Di depan mumpung berkuasa, di tengah menumpuk harta, di belakang men-jegal dan (sibuk) memasukkan (duwit) dalam kantung (bank di luar negeri) !
Dalam Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, dalam Pasal 4 disebutkan : “Upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapa pun, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga dan kroninya, mapun pihak swasta/konglomerat, termasuk mantan Presiden”.
KPK adalah lembaga perjuangan untuk mewujudkan pemerintahan bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Korupsi itu memiskinkan. Korupsi bisa menghalangi anak-anak mendapat pendidikan. Korupsi bisa mengurangi bantuan bagi mereka yang tertimpa bencana.
Gerakan reformasi antikorupsi di Indonesia sedang dalam arus balik. Ketika demokrasi menjadi transaksional, jadilah demo-crazy (crazy = edan), menjadi lahan subur KKN. Edan sih mudah diobati, tapi ngedan (untuk korupsi) terapinya sebaiknya hukuman mati, karena membuat orang banyak mati kelaparan, mati perlahan-lahan dengan rasa pedih. Maling itu karena niat dan kesempatan. Sedangkan korupsi karena niat, kesempatan dan Kekuasaan! Uang dipakai untuk cari kekuasaan. Setelah dapat kekuasaan dipakai untuk cari uang lebih banyak lagi untuk mendapatkan kekuasaan yang lebih besar lagi agar dapat uang lebih besar lagi. Lagi-lagi, demikian seterusnya.
KPK sebagai capaian reformasi, sedang diupayakan menjadi lumpuh oleh persekongkolan elite politik. Mengamputasi KPK sama dengan mengkhianati capaian reformasi dan mengingkari kehendak bangsa ini yang diwujudkan dalam Ketetapan MPR.
TWK dan Paranoia
Berdasarkan UU KPK No. 19 Tahun 2019, maka dilakukan peralihan pegawai KPK menjadi ASN (maaf sebagian mentafsirkan ASN di KPK sebagai Aparatur Sipil Ngeri deh gajinya, agar mudah digoda untuk jual-beli perkara). Selanjutnya berdasarkan “wangsit” yang diperoleh dari “langit ke tujuh” maka dilakukan TWK, sebagaimana diketahui bersama 75 tidak lolos tes, 24 “dibina” dan 41 “dibinasakan” (dipecat). Politik adu domba, politik pecah belah, politik belah bambu, satu diangkat yang lainnya di-injek-injek !
Salah satu soal TWK menanyakan pilihan peserta, yaitu antara Al-Qur’an dan Pancasila. Jelas ini tidak wajar dan aneh. Akibatnya muncul dugaan dan pertanyaan sehatkah jiwa si pembuat soal atau pemberi “wangsit”? Al-Qur’an adalah anugerah Tuhan kepada umat manusia lewat Nabi Muhammad Saw., sebagai pedoman agar hidupnya selamat ketika hidup di dunia maupun ketika hidup abadi di akhirat kelak. Sedangkan Pancasila adalah anugerah Tuhan kepada Bangsa Indonesia apapun agama yang dipeluknya (kita disuruh Tuhan untuk memeluk agama bukan dipeluk agama) lewat Bung Karno sebagai Penggali Pancasila, sebagai pedoman dalam hidup berbangsa dan bernegara Indonesia. Gitu loh..
Imunisasi untuk mencegah timbulnya Gangguan Jiwa hingga saat ini belum ditemukan. Jadi Gangguan Jiwa itu bisa menimpa siapa saja, kapan saja, dan di mana saja. Termasuk bisa menimpa si pembuat soal TWK maupun si pemberi “wangsit” TWK.
Sehat jiwa dan sakit jiwa atau Gangguan Jiwa itu suatu continuum, berkesinambungan, tidak selalu jelas perbedaan warna hitam dengan warna putih, ada kondisi seperti warna” abu-abu”. Gangguan jiwa dalam istilah medis ada sekitar 300 jenis lebih. Untuk gangguan jiwa berat, seperti Gangguan Psikotik (bahasa awam, maaf gila) orang awam dengan mudah membuat diagnosis.
Kepribadian Ciri Paranoid (normal – sehat), Gangguan Kepribadian Paranoid (mulai sakit, namun orang di sekitarnya tidak menyadari), Gangguan Waham, termasuk Paranoia, (belum tentu lingkungan sekitarnya “aware” bahwa itu gangguan jiwa), Skizofrenia Paranoid (sangat jelas bagi lingkungan sekitarnya bahwa pasien menderita gangguan jiwa berat).
Paranoia atau Gangguan Waham Menetap adalah gangguan jiwa berat (psikosis) yang perjalanan penyakitnya perlahan-lahan, kambuh-kambuhan, menahun atau kronis. Jadi tidak begitu kentara sehingga lingkungan di sekitarnya tidak menyadari, apalagi yang menderita Paranoia. Ciri gangguan jiwa berat antara lain tilikan diri (insight) jelek. Tidak merasa dirinya menderita sakit jiwa, bahkan bisa jadi menuduh orang lain di sekitarnya yang tidak waras. Dengan demikian, akan menolak obat atau dibawa ke fasilitas pelayanan kesehatan jiwa untuk diperiksa dan diobati karena merasa dirinya baik-baik saja. Justru lingkungan di sekitarnya yang menderita akibat ulahnya.
Ciri yang lain, adanya simptom atau gejala waham (delusion). Waham adalah isi pikiran yang salah yang bertentangan dengan logika dan realita, tidak dapat dikoreksi (tidak ada gunanya eyel-eyelan dengan pasien), pasien yakin betul dengan isi wahamnya sehingga perilakunya sesuai dengan isi wahamnya. Waham pada Paranoia adalah waham (seolah-olah ) “logis” dan (seolah-oleh) “sistematis”. Maka tidak perlu heran, jika orang di sekitarnya bisa terkecoh. Karena gangguan jiwa ini “abu-abu”, tidak sejelas seperti perbedaan warna hitam dengan warna putih.
Gangguan jiwa itu sebenarnya tidak menular. Namun pada Paranoia atau Gangguan Waham Menetap ini dapat menginduksi orang lain sehingga orang lain jadi “tertular”, sehingga menderita Gangguan Waham Induksi, terjadilah Shared Paranoid atau Paranoid Bersama. Si pemberi “wangsit” (adalah tokoh dominan, komandan, ketua, orang berpengaruh) apabila menderita Paranoia dapat menyebabkan orang di sekitar yang subdominan menjadi ikut-ikutan Paranoia, terjadilah “kolektif kolegial” Paranoia.
Gangguan Waham Induksi itu bersifat Akut dan Sementara. Adapun pedoman diagnostik Gangguan Waham Induksi adalah, hanya jika : 1) Dua orang atau lebih mengalami waham atau sistem waham yang sama, dan saling mendukung dalam keyakinan waham itu; 2) Mereka mempunyai hubungan dekat yang tak lazim dalam bentuk seperti diuraikan di atas; dan 3) Ada bukti kaitan waktu atau konteks lainnya bahwa waham tersebut diinduksi pada anggota yang pasif dari suatu pasangan atau kelompok melalui kontak dengan anggota yang aktif (hanya satu orang anggota aktif yang menderita gangguan psikotik yang sesungguhnya), waham diinduksi pada anggota pasif, dan biasanya waham tersebut menghilang bila mereka dipisahkan.
Faktor penyebab timbulnya Gangguan Jiwa adalah bersifat multifaktorial, banyak faktor yang menyebabkannya. Paranoia atau Gangguan
Waham Menetap bisa muncul karena faktor genetik, ciri-ciri kepribadian dan situasi kehidupan dalam pembentukan kelompok ini tidak pasti dan mungkin bervariasi.
Jika, setelah diperiksa kesehatan jiwanya si pemberi “wangsit” atau pembuat soal adalah sehat jiwa, maka kemungkinannya dalam hal ini hanya menderita DDR (Daya Dong-nya Rendah) alias maaf, stupid ! Berbuat salah itu manusiawi. Mempertahankan kesalahan itu perbuatan iblis. Sudah tahu itu perbuatan salah lalu mengajak orang lain untuk ikut berbuat salah itu perbuatan setan !
Akhirnya, memang, Kesehatan itu bukan segalanya, tetapi tanpa kesehatan (termasuk kesehatan jiwa) segalanya menjadi tidak ada maknanya. Health is not everything, but without it everything is nothing (Arthur Schopenhauer, 1788 – 1860).
Wildan, Dokter Jiwa RS PKU Muhammadiyah Bantul
Nurcholid Umam Kurniawan, Dokter Anak, Direktur Pelayanan Medik RS PKU Muhammadiyah Bantul dan Dosen FK-UAD