Berkurban Wajib atau Sunnah?
Oleh: Arsyad Arifi
Ibadah kurban merupakan sarana untuk bertaqarrub kepada Allah SWT. Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki dalam kitabnya ‘Syariatullah al-Khalidah’ menyatakan bahwasannya hal ini telah menjadi tradisi agama yang sudah turun temurun semenjak disyariatkannya pada tahun 2 hijriyah. (Syari’ah/53) Adapun dalil yang menjelaskannya,
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الأَضْحَى بِالْمُصَلَّى فَلَمَّا قَضَى خُطْبَتَهُ نَزَلَ مِنْ مِنْبَرِهِ وَأُتِىَ بِكَبْشٍ فَذَبَحَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِيَدِهِ وَقَالَ: (( بِسْمِ اللَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ هَذَا عَنِّى وَعَمَّنْ لَمْ يُضَحِّ مِنْ أُمَّتِى )). رواه أبو داود و أحمد
Artinya :
“Diriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah radhiallahu ‘anhu bahwasanya dia berkata, “Saya menghadiri shalat idul-Adha bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di mushalla (tanah lapang). Setelah beliau berkhutbah, beliau turun dari mimbarnya dan didatangkan kepadanya seekor kambing. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembelihnya dengan tangannya, sambil mengatakan: Dengan nama Allah. Allah Maha Besar. Kambing ini dariku dan dari orang-orang yang belum menyembelih di kalangan umatku.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya (II/86), At Tirmidzi dalam Jami’-nya (1.141) dan Ahmad (14.308 dan 14.364).
Karena telah menjadi tradisi yang turun temurun, mengetahui hukum kurban sangatlah penting. Apa hukum berkurban ?
Secara garis besar pembahasan hukum kurban terbagi menjadi dua pembahasan yaitu :
A. Hukum kurban bagi Rasulullah SAW.
Adapun hukumnya adalah wajib. Imam Khatib as-Syirbini mengatakan dalam kitabnya al-Mughni :
أما في حقه صلى الله عليه و سلم فواجبة
Artinya :
“Adapun hukum berkurban bagi Nabi SAW adalah wajib” (Mughni/6/162)
Hal ini dikarenakan Rasulullah SAW bersabda :
كتب علي النحر و ليس بواجب عليكم (رواه الدارقطني)
Artinya :
“Diwajibkan bagiku untuk berkurban sedangkan berkurban tidak wajib bagi kalian” (HR ad-Daruqutni)
Menurut Imam Muhammad ibn Thulun ad-Damasyqi al-Hanafi dalam kitabnya ‘Mursyidul Mukhtar’ mengatakan bahwasannya hal ini merupakan ‘khashais’ atau kekhususan Nabi SAW karena baginya wajib dan bagi umatnya sunnah. (Mursyid/18) Beliau berdalil dengan hadis Ibnu Abbas :
ثلاث هن علي فرائض و لكم تطوع : النحر و الوتر و ركعتا الضحى (رواه أحمد و البيهقي و الدارقطني في سننه 2/21)
Artinya :
“Tiga perkara bagiku hukumnya wajib dan bagi kalian hukumnya sunnah yaitu berkurban, shalat witr ,dan dua rakaat dhuha” (HR Ahmad, Baihaqi, dan Daruqutni 21/2)
Maka dari itu wajib bagi Nabi SAW untuk berkurban setiap tahun.
2. Hukum kurban bagi umatnya
Pada pembahasan yang kedua ini ulama bersilang pendapat. Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah dalam buku ‘Pengembangan HPT (II) : Tuntunan Idain dan Qurban’ mengelompokkan pendapat ulama menjadi dua pendapat :
Perbedaan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut;
1. Abu Hanifah, al-Auza’iy, dan Malik berpendapat bahwa kurban hukumnya wajib. Hal ini diperkuat pernyataan Imam Ibnu Abidin al-Hanafi dalam kitabnya, ‘Rad al-Mukhtar’,
و الوجوب هو قول أبي حنيفة و محمد و زفر و الحسن و إحدى الروايتين عن أبي يوسف
Artinya :
“Adapun yang berpendapat hukum berkurban itu wajib adalah Abu Hanifah, Muhammad, Zufar, al-Hasan dan salah satu riwayat dari Abu Yusuf.” (Radd/9/454)
Adapun dalil yang dijadikan dasar adalah ;
a. QS al-Kautsar (108):2
فصل لربك وانحر
Artinya :
“Maka shalatlah kamu karena Tuhanmu dan sembelihlah (kurbanmu).” (Q.S. Al-Kautsar:1-2)
Imam al-Kasani al-Hanafi mengatakan dalam kitabnya ‘Bada’i’ as-Shana’i’,
و مطلق الأمر للوجوب في حق العمل و متى وجب على النبي عليه الصلاة و السلام يجب على الأمة لأنه قدوة للأمة
Artinya :
“Dan mutlak amr atau perintah itu dalil yang menunjukkan hukum wajib diamalkan dan jika wajib bagi Nabi SAW maka wajib pula bagi umatnya karena Nabi SAW merupakan suri tauladan bagi umatnya.” (Bada’i’/4/193)
b. Hadis Ahmad dari Abu Hurairah
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : من لم يضح فلا يقرتن مصلانا (رواه ابن ماجه و أخمد)
Dari Abi Hurarah Ra. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda ”Barangsiapa
yang memiliki keleluasan harta dan tidak menyembelih hewan qurban, maka janganlah mendekati tempat shalat kami”. (HR. Ibnu Majah dan
Ahmad).
Muhammad Ibn Ismail al-Kahlany dalam kitab ‘Subul as-Salam Syarh Bulugh al-Maram’ menjelaskan bahwa hadis di atas dijadikan dasar oleh sebagian ulama yang berpendapat bahwa qurban hukumnya wajib bagi orang yang mampu. Secara lengkap beliau mengatakan sebagai berikut;
لقوله تعالى : فصل لربم و انحر و لحديث محتف ابن سليم ” على أهل بيت فى كل عام أضحية (سبل السلام/4/179)
Artinya :
“Ulama telah berdalil dengan hadis ini untuk menentukan hukum wajib berqurban bagi yang mampu, karena Rasulullah saw. melarang untuk mendekati tempat shalatnya menunjukkan bahwa dia (yang tidak berqurban padahal ia mampu) meninggalkan kewajiban, seakan-akan Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah shalat yang dilakukan berfaedah, karena meninggalkan
kewajiban ini (berqurban)”, karena firman Allah: “Maka shalatlah karena Tuhan kamu dan berqurbanlah” dan hadis Nabi saw. “Wajib bagi penghuni rumah berqurban dalam setiap tahun”. (Subul/4/179)
Hal ini sesuai dengan pendapat Hanafiyah pada kitab Tanwirul Abshar,”
فتجب على حر مسلم مقيم موسر
Artinya :
“Maka wajiblah berkurban bagi orang yang merdeka, muslim, yang menetap di kediamannya, dan memiliki kelapangan.” (Tanwir/9/454-457)
Catatan Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah : hadis di atas sesungguhnya adalah hadis yang daif, karena keberadaan seorang perawi yang bernama Abdullah ibn Ayyash yang munkarul hadis dan lemah hafalan. Namun, Imam al Baihaqi meriwayatkan hadis di atas dengan sanad lain yang bernilai sahih, yaitu sanad yang tidak terdapat Abdullah ibn Ayyash di dalamnya. Namun sayangnya riwayat al-Baihaqi tersebut mauquf, yaitu hanya sampai kepada Abu Hurairah. Hal ini sesuai dengan kalam Imam Nawawi dalam ‘Majmu’ Syarh Muhadzdzab’ :
رواه البيهقي و غيره ضعيف قال البيهقي عن الترمذي الصحيح أنه موقوف على أبي هريرة
Artinya :
“Hadis tersebut diriwayatkan oleh al-Baihaqi dan selainnya statusnya dha’if akan tetapi al-Baihaqi berkata dari Tirmidzi bahwasannya yang benar hadis tersebut mauquf kepada Abu Hurairah” (Majmu’/8/355)
2. Imam as-Syafi’i, Malik dan Ahmad berpendapat bahwa hukum qurban adalah Sunnah Muakkadah. Hal ini merupakan pendapat jumhur ulama. Imam Nawawi berkata,
و ذكرنا أن مذهبنا أنها سنة موكدة فى حق الموسر ولا تجب عليه و بهذا قال أكثر العلماء, و ممن قال به أبو بكر الصديق وعمر بن الخطاب و بلال و أبو مسعود البدري و سعيد بن المسيب و عطاء و علقمة و اﻷسود و مالك و أحمد و أبو يوسف و إسحاق و أبو ثور و المزني و داود و ابن المنذر
Artinya :
“Telah kami sebutkan bahwasannya madzhab kita (Syafii) mengatakan bahwasannya hukum berkurban adalah sunnah muakkadah untuk orang yang memiliku kelapangan dan tidak wajib baginya, ini pendapat kebanyakan ulama, diantaranya Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin al-Khaththab, Bilal, Abu Mas’ud al-Badri, Sa’id bin al-Musayyib, ‘Atha’, Alqamah, al-Aswad, Malik, Ahmad, Abu Yusuf, Ishaq, Abu Tsaur, al-Muzani, Dawud, dan Ibnu Mundzir.” (Majmu’/8/354)
Pendapat mereka didasarkan pada dalil hadis Nabi saw. dari Ummu Salamah ;
عن أم سلمة رضي الله عنها قالت قال رسول الله صلى الله عليه و سلم (إذا دخل العشر و أراد أحدكم أن يضحى فلا يمس من شعره شيئا) رواه مسلم
Artinya
“Apabila telah masuk hari kesepuluh (bulan Dzulhijjah), dan salah seorang darimu ingin berkurban, maka ia tidak memotong rambut dan kukunya” (HR Muslim)
Mengenai hadis ini Imam Syafii berkata,
هذا دليل أن التضحية ليست بواجبة ((و أراد)) فجعله مفوضا إلى إرادته ولو كانت واجبة لقال صلى الله عليه و سلم لقوله فلا يمس من شعره حتى يضحى
Artinya :
“Hadis ini merupakan dalil bahwasannya menyembelih kurban itu bukanlah wajib hukumnya dan kata “و أراد” atau “ingin” menjadikan kurban tergantung kepada keinginannya saja, jikalau kurban hukumnya wajib pastilah Rasulullah SAW berkata, jangan menyentuh rambutnya sampai berkurban.” (Majmu’/8/356)
Terkait pentarjihan hukum terhadap khilaf diatas Majelis Tarjih PP Muhammadiyah cenderung membiarkan khilaf tanpa tarjih. Hal ini terdapat dalam buku ‘Pengembangan HPT (II) : Tuntunan Idain dan Qurban’,
“Para ulama berbeda pendapat tentang hukum qurban, ada yang mengatakan wajib dan ada pula yang berpendapat sunnah. Terlepas dari adanya
perbedaan pendapat mengenai hukum melakukan qurban, tetapi yang jelas bahwa ibadah qurban itu diperintahkan oleh Allah.” (Pengembangan/18)
Akan tetapi setelah ditinjau ulang penulis melihat bahwasannya pendapat yang rajih adalah pendapat jumhur ulama yaitu sunnah mu’akkad, hal ini dilandasi beberapa faktor :
1. Pendapat tersebut merupakan pendapat jumhur ulama dan Rasulullah SAW bersabda,
عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا خَطَبَ بِالْجَابِيَةِ، فَقَالَ: قَامَ فِيْنَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ مَنْ أَرَادَ مِنْكُمْ بَحْبُوْحَةَ الْجَنَّةِ فَلْيَلْزَمِ الْجَمَاعَةَ، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ مَعَ الْوَاحِدِ وَهُوَ مِنَ الإِثْنَيْنِ أَبْعَدُ
Artinya :
“Dari Abdullah bin Umar berkata: Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhuma pernah berkhutbah di Al-Jabiyah seraya berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di hadapan kami dan bersabda: “Barangsiapa dari kalian menginginkan tinggal di tengah-tengah syurga, maka hendaklah berpegang teguh kepada Al-Jama’ah, kerana syaitan bersama seorang (sendirian) dan dia dari dua orang, dengan lebih jauh.”
Hadis ini diriwayatkan oleh:
*. Tirmizi, hadis no. 2254 dengan syarh Tuhfatul Ahwadzi.
*. Ahmad dalam Musnadnya juz I, hal. 18.
*. Hakim dalam Mustadrak juz I, hal. 114.
*. Baihaqi dalam Sunanul Kubra juz VII, hal. 91.
2. Hadis yang digunakan untuk beristidlal dari Hanafiyah dhaif dan adapun dalil yang shahih darinya dapat ditafsirkan sebagai kesunnahan saja. Hal ini sesuai dengan kalam Imam Nawawi :
و أما الجواب عن دلائلهم فما كان منهم ضعيفا لا حجة فيه, وما كان صحيحا فمحمول على الإستحباب, جمعا بين الأدلة
Artinya :
“Adapun jawab untuk dalil mereka yaitu hadis-hadisnya dha’if jikalau ada yang shahih maka dapat ditafsirkan sebagai kesunnahan saja sebagai jama’ antar dalil” (Majmu’/8/357)
3. Dalil Hanafiyah ‘am di takhsis oleh beberapa hadis seperti :
قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : أمرت بالنحر وهو سنة لكم (رواه الترمذي)
Artinya :
Rasulullah SAW bersabda, “Aku diperintahkan (diwajibkan) untuk menyembelih kurban dan hal itu merupakan sunnah bagi kalian.” (HR Tirmidzi no 15070)
4. Imam Nawawi menyatakan jika berkurban hukumnya wajib maka seharusnya tidak akan gugur kewajibannya jika telah lewat waktu pelaksanaannya seperti shalat Jumat, sedangkan Hanafiyah sesuai pendapat kita bahwasannya ketika lewat waktunya maka tidak wajib qadha kurban (Majmu’/8/357)
5. Para shahabat berpendapat bahwasannya hal tersebut sunnah,
روى أن أبا بكر و عمر رضي الله عنهما كانا لا يضحيان مخافة أن يرى ذلك واجبا (رواه البيهفي و غيره بإسناد حسن)
Artinya :
“Diriwayatkan bahwasannya Abu Bakar dan Umar radhiyallahu’anhuma tidak menyembelih kurban karena mereka takut bahwasannya orang-orang melihatnya suatu kewajiban” (HR Baihaqi dan selainnya dengan isnad hasan)
6. Karena hukum tersebut sesuai dengan prinsip taysir yang menjadi Manhaj Tarjih Muhammadiyah. Karena dengan tidak diwajibkannya kurban orang-orang menjadi tidak terbebani. Hal ini dikemukakan oleh Drs. Asjmuni A. dalam kitabnya Manhaj Tarjih Muhammadiyah
Walaupun pendapat rajih menurut hemat penulis adalah pendapat jumhur, akan tetapi kita harus tetap menghargai dan menghormati pendapat lainnya.
Akan tetapi patut menjadi perhatian walaupun hukumnya sunnah muakkad akan tetapi makruh meninggalkannya karena ada khilaf didalamnya. Imam Baijuri menukil perkataan Imam Syafii :
و قال الشافعي لا أرخص في تركها لمن قدر عليها و مراده رضي الله عنه أنه يكره تركها للقادر عليها
Artinya :
“Imam Syafii berkata, “Aku tidak memberi keringanan bagi orang mampu untuk tidak melaksanakan kurban” Imam Baijuri menjelaskan bahwasannya maksudnya adalah dimakruhkan meninggalkan ibadah kurban bagi orang yang mampu melaksanakannya.” (Hasyiyah/2/556)
Maka dari itu mari berkurban ! Wallahua’lambishawab
Arsyad Arifi, Ketua PCIM Yaman