Hukum Badal Haji

Hukum Badal Haji

Pertanyaan :

Assalamu ‘alaikum wr.wb.

Kami dari PCM Pujud Riau ingin mengajukan pertanyaan, salah seorang dari jamaah kami, alhamdulillah tahun ini berangkat suami istri ke tanah suci untuk menunaikan haji. Akan tetapi, bulan Juni sang suami sudah meninggal. Lantas apakah anaknya bisa menggantikan haji bapaknya? Maksudnya, si anak melaksanakan keinginan haji orang tuanya tahun ini? Atau mungkin disebut dengan istilah badal haji? Mohon dijelaskan pak, bagaimana sebenarnya badal haji menurut hukum syariat Islam. Terima kasih.

Majelis Tabligh PCM Pujud, Riau (disidangkan pada 29 Rajab 1440 H / 05 April 2019 M)

Jawaban:

Wa ‘alaikumussalam wr.wb.

Terima kasih atas kepercayaan saudara menyampaikan pertanyaan kepada Majelis Tarjih dan Tajdid, semoga apa yang kami paparkan dapat menjawab pertanyaan saudara. Kami juga memohon maaf yang sebesar-besarnya karena tidak dapat memenuhi permintaan saudara agar menjawab dengan segera.

Perlu kami sampaikan bahwa pembahasan mengenai seorang anak yang menghajikan orang tuanya atau badal haji telah dijelaskan dalam banyak sumber dari Majelis Tarjih Muhammadiyah. Di antaranya, dalam buku Tanya Jawab Agama jilid 3 halaman 165 masalah Haji, juga dalam Tuntunan Manasik Haji Menurut Putusan Tarjih Muhammadiyah yang disusun oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, halaman 170-181, selain itu pembahasan ini juga terdapat dalam Fatwa Tarjih yang dimuat pada rubrik Tanya Jawab Agama Majalah Suara Muhammadiyah Nomor 5 Tahun 2009. Adapun penjelasan badal haji yang terdapat dalam sumber-sumber di atas adalah sebagai berikut,

  1. Badal haji adalah ibadah haji yang dilaksanakan oleh seseorang atas nama orang lain yang telah memiliki kewajiban untuk menunaikan ibadah haji, namun orang tersebut berhalangan sehingga tidak dapat melaksanakannya sendiri, sehingga pelaksanaan ibadah haji tersebut diserahkan kepada orang lain.
  2. Badal haji ini tidak diterima mengingat ada beberapa ayat al-Quran yang menjelaskan bahwa seseorang hanya akan mendapat pahala dari hasil usahanya sendiri. Hal ini ditegaskan dalam beberapa surah al-Quran yaitu,
    1. Surah al-Baqarah (2): 286,

لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْساً إِلاَّ وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ [البقرة, 2 :286] .

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Dia mendapat (pahala) dari (kebajikan) yang dikerjakannya dan dia mendapat (siksa) dari (kejahatan) yang diperbuatnya… [QS. al-Baqarah (2): 286].

أَلاَ تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى، وَأَنْ لَيْسَ لِلإِنْسَانِ إِلاَّ مَاسَعَى [النجم، 53: 38-39] .

(yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain, dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya [QS. an-Najm (53): 38-39].

فَاْليَوْمَ لاَ تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئًا وَلاَ تُجْزَوْنَ إِلاَّ مَاكُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ [يس، 36: 54].

Pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan sedikit pun, dan kamu tidak dibalas kecuali dengan apa yang telah kamu kerjakan [QS. Yasin (36): 54].

Namun dalam hadis Nabi saw diterangkan juga bahwa seorang anak dapat melaksanakan ibadah haji untuk orang tuanya, atau seseorang dapat melaksanakan haji untuk saudaranya. Hal ini ditegaskan dalam beberapa hadis berikut,

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ امْرَأَةً مِنْ خَثْعَمَ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ أَبِى شَيْخٌ كَبِيرٌ عَلَيْهِ فَرِيضَةُ اللهِ فِى الْحَجِّ وَهُوَ لاَ يَسْتَطِيعُ أَنْ يَسْتَوِىَ عَلَى ظَهْرِ بَعِيرِهِ. فَقَالَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَحُجِّى عَنْهُ] رواه مسلم[.

Dari Ibnu Abbas r.a. (diriwayatkan) bahwa ada seorang wanita dari Khas’am bertanya: Wahai Rasulullah, sesungguhnya bapakku adalah seorang yang sudah tua renta, ia masih memiliki kewajiban haji, sementara ia tidak mampu lagi menunggang di atas untanya. Lalu Nabi saw bersabda: Kalau begitu, hajikanlah ia [HR. Muslim].

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِىَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ أَتَى رَجُلٌ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَهُ إِنَّ أُخْتِي قَدْ نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ وَإِنَّهَا مَاتَتْ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْ كَانَ عَلَيْهَا دَيْنٌ أَكُنْتَ قَاضِيَهُ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَاقْضِ اللهَ فَهُوَ أَحَقُّ بِالْقَضَاءِ [رواه البخارى].

Dari Ibnu Abbas ra (diriwayatkan) ia berkata: Seseorang laki-laki mendatangi Nabi saw dan berkata: Saudara perempuan saya bernadzar untuk berhaji, tetapi ia meninggal dunia. Kemudian Nabi saw bersabda: Bagaimana kalau saudara perempuanmu itu berutang? Apakah engkau melunasinya? Laki-laki itu berkata: Ya. Nabi saw bersabda: Lunasilah utang kepada Allah, karena utang kepada Allah lebih berhak pelunasannya [HR. al-Bukhari].

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمِعَ رَجُلاً يَقُولُ: لَبَّيْكَ عَنْ شُبْرُمَةَ قَالَ: مَنْ شُبْرُمَةُ؟ قَالَ: أَخٌ لِي، أَوْ قَرِيبٌ لِي، قَالَ: حَجَّجْتَ عَنْ نَفْسِكَ؟ قَالَ: لَا، قَالَ: حَجّ عَنْ نَفْسِكَ، ثُمَّ عَنْ شُبْرُمَةَ ]رواه أبو داوود و ابن ماجه[.

Dari Ibnu Abbas r.a. (diriwayatkan) bahwa Nabi saw mendengar seseorang berkata labbaik (aku datang memenuhi panggilanmu) dari (untuk) Syubrumah. Nabi saw bertanya: Siapakah Syubrumah itu? Orang itu menjawab: Saudaraku atau kerabatku, lalu Nabi saw bertanya: Apakah kamu sudah berhaji untuk dirimu? Ia menjawab: Belum. Lalu Nabi bersabda: Berhajilah untuk dirimu (terlebih dahulu) kemudian kamu berhaji untuk Syubrumah [HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah].

Di kalangan para ulama ada perbedaan pendapat dalam memahami ayat-ayat al-Quran dan hadis-hadis Nabi saw di atas. Ada sebagian yang berpendapat bahwa hadis-hadis (yang bersifat zhanni) tersebut bertentangan dengan ayat-ayat al-Quran (yang bersifat qath’i). Oleh karena itu hadis-hadis tersebut tidak dapat diamalkan (ghair ma’mul bih). Menurut pendapat ini badal haji tidak boleh dilakukan. Adapun sebagian lagi berpendapat bahwa hadis ahad atau hadis mutawatir dapat mentakhsis (mengkhususkan/mengecualikan) ayat-ayat al-Quran. Menurut pendapat ini, anak atau saudara dapat melaksanakan haji atas nama orang tua atau orang lain.

  1. Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah berpendapat bahwa hadis ahad dapat mentakhsis ayat al-Quran, yakni sebagai bayan (penjelas). Oleh karena itu, dalam masalah yang saudara tanyakan kami berpendapat bahwa hadis yang menyatakan dibolehkannya seorang anak melaksanakan ibadah haji untuk orang tuanya, atau seseorang melaksanakan haji untuk saudaranya, mentakhsis atau bayan terhadap surah al-Baqarah (2): 283, an-Najm (53): 38-39 dan Yasin (36): 54. Dengan demikian, kami berpendapat bahwa badal haji bagi seseorang yang telah memenuhi kewajiban haji tetapi ia tidak dapat melaksanakannya karena uzur atau karena telah meninggal dunia, dapat dilakukan oleh anaknya atau saudaranya yang telah berhaji terlebih dahulu, seperti dijelaskan dalam Buku Tuntunan Manasik Haji Menurut Putusan Tarjih Muhammadiyah sebagaimana kami maksud di atas.

Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag) telah menerapkan kebijakan baru terkait pelaksanaan ibadah haji. Calon haji yang meninggal dunia sebelum masuk asrama dapat digantikan keberangkatannya oleh keluarga atau ahli waris secara langsung.

Berdasarkan keterangan di atas, kesimpulan dari pertanyaan tersebut ialah,

  1. Jika seorang anak yang ditinggal mati orangtuanya telah melaksanakan haji, maka ia bisa menggantikan haji (badal haji) untuk orang tuanya.
  2. Sedangkan jika anak tersebut belum melaksanakan ibadah haji, maka ia hanya menggantikan porsi haji milik orang tuanya secara langsung tanpa perlu mendaftar dan tidak dihukumi sebagai badal haji bagi orang tuanya.

Wallahu alam bish-shawab.

Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Sumber: Majalah SM No 15 Tahun 2020

Exit mobile version