Tajdid
Anggaran Dasar Pasal 4 ayat (1) menyatakan, Muhammadiyah adalah gerakan Islam, dakwah amar ma`ruf nahi munkar dan tajdid, bersumber pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Meskipun kata “tajdid” baru dimasukkan ke dokumen resmi sejak 2005, namun karakteristik pemikiran Islam dalam Muhammadiyah telah mempraktekkan tajdid dan menjadi ingatan kolektif sejak awal.
Haedar Nashir dalam Muhammadiyah Gerakan Pembaruan (2010) menyatakan bahwa bukti Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid dapat dirujuk pada tiga hal: (1) gagasan dasar Kiai Haji Ahmad Dahlan sebagai pendiri; (2) pemikiran resmi yang dituangkan atau dilembagakan dalam organisasi; dan (3) amaliah hasil pembaruan Muhammadiyah yang tumbuh subur dalam kehidupan masyarakat. Aktivitas tajdid sepaket dengan tarjih dan pemikiran Islam.
Menurut Syamsul Anwar dalam Manhaj Tarjih Muhammadiyah (2018), tajdid Muhammadiyah dalam (1) bidang akidah dan ibadah (mahdhah/khusus), bermakna pemurnian dengan mengembalikan akidah dan ibadah kepada kemurniannya sesuai dengan sunnah Nabi; dan (2) bidang muamalah duniawiah, bermakna mendinamisasikan kehidupan masyarakat dengan semangat kreatif dan inovatif sesuai tuntutan zaman.
Dalam ibadah, Muhammadiyah menggali tuntunan yang sesuai atau paling mendekati sunnah Nabi. Dalam akidah, Muhammadiyah membebaskan akidah yang mengandung unsur khurafat dan tahayul. Dalam muamalah, dinamisasi diwujudkan sesuai dengan capaian kebudayaan manusia dalam semangat atau ruh substansial Islam. Beberapa norma yang berlaku di masa lalu bisa berubah karena keperluan atau tuntutan zaman yang berubah dengan memenuhi syarat-syarat perubahan hukum syarak. Semisal, penentuan masuk bulan qamariah menggunakan hisab, atau ketentuan perempuan menjadi pemimpin.
Djindar Tamimy (1968) menyatakan bahwa tajdid berarti pembaharuan dalam arti (1) mengembalikan kepada keasliannya/kemurniannya, bila sasarannya mengenai soal-soal prinsip perjuangan yang sifatnya tetap/tidak berubah; dan (2) dalam arti modernisasi, bila sasarannya mengenai masalah seperti metode, sistem, teknik, strategi, taktik perjuangan, yang sifatnya berubah, disesuaikan dengan situasi dan kondisi ruang dan waktu.
Dalam Suara Muhammadiyah No. 5 tahun 2014, Abdul Mu’ti menyebut bahwa tajdid merupakan proses aktif dan kreatif untuk menyelesaikan masalah konkret dan realistis, sebagai wujud tanggung jawab kerisalahan dan kekhalifahan Muhammadiyah atas kehidupan umat. “Tajdid tidak dilakukan untuk kegenitan intelektual, akrobat pemikiran atau sensasi pemberitaan. Tetapi untuk panduan, pencerahan, dan jalan keluar berbagai persoalan nyata yang dihadapi masyarakat. Oleh karena itu, tajdid Muhammadiyah harus dilihat sebagai keseluruhan proses yang terkait dengan bidang pemikiran, keagamaan, dan muamalah duniawiyah.”
Achmad Jainuri (2009) mengingatkan bahwa sejak dekade 1980-an, muncul kritik yang mempertanyakan peran pembaharuan (tajdid) Muhammadiyah. Pada periode awal, Muhammadiyah telah meletakkan dasar wawasan keagamaan yang sangat maju dan mampu memformulasikan ideologi gerakan yang memberikan landasan untuk mengkritisi tatanan kehidupan yang ingin dirubahnya. Hari ini, kepeloporan awal Muhammadiyah telah menjadi mainstream. Muhammadiyah dituntut kepeloporan tajdid baru.
Pemahaman fikih secara umum, menurut Alyasa Abubakar (2013), terdiri dari model: salafiyah, mazhabiyah, dan tajdidiyah. Kelompok tajdidiyah adalah yang merujuk pemahaman Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan melakukan ijtihad atau pembaharuan dan tidak berafiliasi mazhab tertentu. Model tajdidiyah menjadikan ajaran Islam lebih sesuai dengan kebutuhan di masa kini, sehingga umat Islam tidak teralienasi dari lingkungannya, mudah berinteraksi dengan hasil pemikiran modern, dan tidak gamang ketika menghadapi situasi dunia yang terus berubah. (muhammad ridha basri)
Sumber: Majalah SM Edisi 18 Tahun 2020