HS Prodjokusumo, Pencetus KOKAM Tokoh Perguruan Muhammadiyah
Haji Soedarsono Prodjokusumo atau HS Prodjokusumo demikian lebih dikenal adalah merupakan anak dari H Abdurrahman Martosupadmo, seorang pendiri dan Pimpinan Ranting Muhammadiyah Sidoarjo. Ayahnya menjadi kepala sekolah Kesultanan di Yogyakarta sejak tahun 1920 sampai dengan tahun 1930. Sebagai pimpinan Muhammadiyah dan pendidik, ayahnya sering mengajak putra sulungnya ini dalam kegiatan rapat maupun dakwah. Kegiatan dan cara mendidik inilah yang sangat mempengaruhi pribadi Prodjokusumo.
Prodjokusumo lahir di Manongan, Turi, Sleman, Yogyakarta tanggal 22 Agustus 1922. Menempuh pendidikan di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) dan Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) dan Hollands Inlansche Kweekschool (HIK) di Yogyakarta, dan pada malam harinya belajar di Madrasah Wustho (Madrasah Tsanawiyah). Pada tahun 1942, Prodjokusumo masuk Sekolah Analis Gula di Yogyakarta. Pada tahun 1943 mengikuti Pendidikan Pembantu Jaksa di Jakarta, kemudian bekerja sebagai Pembantu Jaksa di Kantor Kejaksan Yogyakarta. Masuk Akademi Militar (Akmil) Yogyakarta, sampai dengan tahun 1947. Dia menikah dengan Siti Isroriyah dari Kutoarjo, puteri sulung Bapak Sujadji Sumodirjo, seorang guru di Kutoarjo. Dari pernikahannya dikaruniai 6 putra dan 2 putri.
Pendidikan Muhammadiyah yang ditanamkan sendiri ayahnya tidak bisa hilang begitu saja sekalipun Prodjokusumo aktif berdinas di militer, bahkan tampak dia mampu mensejajarkan antara tugas militer dengan aktivitas Muhammadiyah. Ketika ditugaskan di Kementerian Pertahanan RI di Jakarta dan bertempat tinggal di Kebayoran Baru, tahun 1952, dari sinilah tampaknya aktivitas itu dimulai. Muhammadiyah Cabang Kebayoran baru saat itu dipimpin oleh H Ibrahim Nazar, dan Prodjokusumo diserahi untuk memgang Bagian Pengajaran merangkap Wakil Ketua Cabang, merangkap Ketua Ranting Muhammadiyah Kebayoran Barat.
Setelah Muktamar ke-36 Muhammadiyah di Bandung tahun 1965, dia mencetuskan berdirinya Ikatan Karyawan Muhammadiyah (IKM) dan Ikatan Seniman dan Budayawan Muhammadiyah (ISBM). Bahkan, setelah meletusnya G30S/PKI, Prodjokusumo mencetuskan Komando Kewaspadaan dan Kesiapsiagaan Muhammadiyah (KOKAM) dan Prodjokusumo menjadi komandannya.
Mengenal HS Prodjokusumo adalah mengenali kiprah pengembangan pendidikan Muhammadiyah di Jakarta. Prodjokusumo banyak terlibat langsung dalam perintisan lembaga-lembaga pendidikan itu. Pada tahun 1955, ketika Majelis P dn K PP Muhammadiyah bekerja sama dengan Departemen Agama RI untuk mendirikan Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG), HS Prodjokusumo diserahi tugas menjadi sekretaris panitia pembangunan. Perguruan Tinggi ini menerima mahasiswa tugas belajar dair Departemen Agama, di samping juga mendidik mahasiswa Akademi Dinas Ilmu Agama (AIDA) sebagai embrio berdirinya IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Di Cipulir, HS Prodjokusumo membangun gedung darurat untuk SD Muhammadiyah, di atas tanah 3.000 meter persegi milik sendiri yang telah diwakafkannya. Kemudian sekolah ini berkembang menjadi kompleks Perguruan Muhammadiyah Cipulir yang terdiri dari TK ABA, SD, SMP sampai SMA.
Dalam perkembangannya, tahun 1958 PTPG berubah menjadi Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ). FKIP ini maju pesat dan pada tahun 1965 menjadi IKIP Muhammadiyah Jakarta. Pada saat itu, di jalan Limau terdapat IKIP Muhammadiyah, UMJ dan Perguruan Muhammadiyah Kebayoran Baru. Perkembangan Perguruan Tinggi Muhammadiyah tersebut sangat pesat sehingga gedungnya tidak mampu menampung kegiatan proses belajar mengajar lagi.
Pada tahun 1982, HS Prodjokusumo selaku Ketua Majelis P dan K PP Muhammadiyah (1976-1984) menetapkan untuk memindah Universitas Muhammadiyah Jakarta ke Cirendeu, Ciputat. Saat itu telah dibuka Fakultas Ekonomi, Fakultas Hukum, dan Fakultas ISIPOL.
Untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Perguruan Muhammadiyah, setelah Muktamar Muhammadiyah tahun 1985, HS Prodjokusumo membentuk Dewan Pembina Perguruan Muhammadiyah. Adapun anggota-anggotanya terdiri dari pimpinan Cabang Muhammadiyah Kebayoran dan sekitarnya, serta Kepala-kepala sekolah SD, SMP dan SMA pagi dan sore.
Pada Januari 1985 dimulainya pembangunan gedung IKIP Muhammadiyah Jakarta di jalan Limau yang pencanangannya dilakukan oleh Menteri Agama KH Munawir Sadzali, MA. Kemudian pembangunan kampus IKIP Muhammadiyah Jakarta berkembang menjadi beberapa unit seperti di Kramat, Pasar Rebo, Jatinegara dan Klender. IKIP Muhammadiyah Jakarta saat itu memiliki Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan (FIP), Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (FPIPS), Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pasti (FPMIPA).
Atas prakarsa HS Prodjokusumo, di IKIP Muhammadiyah Jakarta membuka Program Akta (D2) Al-Islam dan Kemuhammadiyahan dan Pondok Pesantren Tinggi KH Ahmad Dahlan. Cita-cita untuk mendirikan Pondok Pesantren (Ponpes) bermula dari pembicaran antara Prof Dr Kasman Singodimedjo, Buya H Malik Ahmad dan HS Prodjokusumo. Ponpes ini menempati areal seluas 5.000 meter persegi di Cirendeu bersebelahan dengan UMJ.
Perhatiannya terhadap pembinaan AMM cukup besar dan hal itu tercermin pada ceramah-ceramah, tulisan, maupun tindakannya. HS Prodjokusumo menginginkan terwujudnya generasi muda Islam yang ideal, yakni mereka yang rajin berusaha memenuhi hajat hidup beragama, bernegara, sandang, pangan, papan, pendidikan, spiritual dan kebutuhan hidup keamanan dan ketenteraman.
Dalam kapasitasnya sebagai Ketua Majelis di Pimpinan Pusat Muhammadiyah, HS Prodjokusumo banyak berperan dalam pembentukan dan pembinaan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM). Khusus kepada para pimpinan organisasi kemahasiswaan, dipesan agar mereka memiliki sifat-sifat kepemimpinan yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW, yakni shidiq, amanah, tabligh dan fathonah. Dia pula yang mempelopori adanya materi Al-Islam dan Kemuhammadiyahan di Perguruan dan sekolah-sekolah Muhammadiyah tingkat dasar sampai menengah.
Kaum dhuafa pun mendapat perhatian serius dari HS Prodjokusumo. Dia menekankan sedikit bicara banyak bekerja. Anak-anak yatim, orang-orang miskin dan mereka yang mendapat musibah perlu diperhatikan dan diberi santunan. Untuk itu, di daerah Kebayoran Baru dibentuklah Unit Santunan Duka.
Sebagai tokoh Muhammadiyah yang mampu melakukan pendekatan kepada berbagai pihak, HS Prodjokusumo dikenal menggunakan gaya Jawa terutama ketika berkhidmat sebagai Sekretaris Majelis Ulama Indonesia (MUI). HS Prodjokusumo menjabat sebagai sekretaris MUI selama dua periode, yakni periode KH Syukri Ghozali dan KH Hasan Basri.
Pengalaman di Muhammadiyah ternyata sangat besar dan manfaatnya dalam mengembangkan lembaga ulama tersebut, sehingga KH Hasan Basri menyebutnya sebagai konseptor, operator dan pantas disebut sebagai organisator serta tidak menonjolkan diri sebagai orang Muhammadiyah dalam lembaga itu. HS Prodjokusumo begitu luwes dalam komunikasi dengan berbagai pihak, termasuk kepada tokoh-tokoh non muslim. Diibaratkan HS Prodjokusumo adalah semar dalam pewayangan, yakni orang yang diagungkan dan guru yang didengar nasihatnya.
Sumber: Profil 1 Abad Muhammadiyah