Bagaimana Muhammadiyah Dulu Mengorganisir Kongres?

kongres

Kongres Muhammadiyah di Minangkabau Dok Pusdalit SM

Bagaimana Muhammadiyah Dulu Mengorganisir Kongres?

Oleh: Muhammad Yuanda Zara

Tidak diragukan lagi, muktamar (dulu: kongres) Muhammadiyah adalah sebuah perhelatan skala besar. Puluhan ribu orang hadir, datang dari berbagai wilayah di Indonesia, punya kebutuhan dan ekspektasi berbeda. Tuan rumah menjadi sangat sibuk mempersiapkan ruangan, akomodasi, konsumsi, sarana ibadah, dan sebagainya. Kepanitiaan dibentuk dengan sangat rapi, melibatkan Pimpinan Pusat hingga ke unit-unit di bawahnya, juga lembaga pendidikan Muhammadiyah seperti universitas. Pendeknya, semua tenaga penggerak muktamar ini berasal dari Muhammadiyah, bukan dari pengorganisir (event organizer) eksternal.

Pertanyaannya, apakah secara tiba-tiba Muhammadiyah sudah sedemikian berpengalaman menyelenggarakan muktamar sehingga nyaris tidak ada problem besar menyangkut penyelenggaraannya (di luar soal tema-tema yang menimbulkan perdebatan keras, seperti relasi Muhammadiyah dan kekuasaan)?

Jawabannya ada pada pengalaman panjang Muhammadiyah mengelola kegiatan berskala nasional seperti kongres. Di era sekarang, ketika sarana komunikasi dan transportasi sudah sangat maju, pembagian tugas dan koordinasi lebih mudah dilakukan. Tapi di masa lalu, dengan segala keterbatasan yang ada, mengadakan suatu kongres akbar hingga berhasil adalah sebuah pencapaian tersendiri.

Keinginan untuk saling membantu, atau dalam istilah lazimnya disebut sebagai gotong royong, tampak dalam usaha penyelenggaraan kongres sejak dahulu. Gotong royong ini sudah tampak dalam pendirian cabang dan ranting Muhammadiyah, di mana warga Muhammadiyah lokal saling bekerja sama, dan dibantu pula oleh masyarakat serta pemerintah daerah setempat. Berbagai aktivitas dan fasilitas Muhammadiyah di masa lalu sering dibangun dengan cara ini. Kongres Muhammadiyah adalah tempat lain untuk melihat bagaimana gotong royong dipraktikkan di masa silam.

Mari kita tengok sejarah pelaksanaan kongres Muhammadiyah ke-17 di Yogyakarta tahun 1928. Cabang dan ranting Muhammadiyah sudah cukup banyak per tahun itu, bahkan menjangkau Sumatera. Jadi, kongres sudah bukan lagi berorientasi Yogyakarta atau Jawa saja. Aspek lintaspulau mengindikasikan adanya tanggung jawab yang lebih besar untuk menyambut tamu-tamu yang datang dari wilayah dan budaya yang berbeda dari yang ada di Yogyakarta. Dengan kata lain, kongres ini bukan hanya merupakan kegiatan keorganisasian, tapi juga kegiatan budaya, sosial sekaligus hiburan (dengan adanya pertandingan sepakbola dan pameran produk, misalnya).

Kongres ini sendiri pada akhirnya berjalan dengan sukses, dan Muhammadiyah berterima kasih kepada warganya, para partisipan kongres, serta masyarakat umum yang turut meramaikan kongres tersebut. Tapi, semuanya bermula dari persiapan yang matang dan kerja sama mereka yang berpartisipasi, khususnya para panitia.

Tanggung jawab pelaksanaan kongres tahun 1928 ada di Hoofd Comite (Komite Kepala). Tugasnya ialah untuk membagi pekerjaan menjadi bagian dan subbagian, menetapkan siapa saja yang patut di setiap bagian itu, dan memastikan bahwa mereka bersedia bekerja di bagian tersebut. Hoofd Comite kongre Muhammadiyah membagi kepanitiaan menjadi tujuh subkomite, yang memiliki tugas masing-masing. Ketujuhnya ialah: 1) subkomite persidangan, 2) subkomite tamu, 3) subkomite usaha, 4) subkomite perayaan, 5) subkomite ‘Aisyiyah, 6) subkomite Hizbul Wathan, dan 7) subkomite pameran.

Subkomite pertama, persidangan, punya tugas berat, karena inti dari kongres ini adalah persidangan atau permusyawaratan anggota Muhammadiyah. Maka, subkomite ini harus memastikan bahwa ruangan sidang tersedia untuk semua pihak yang akan bersidang (Muhammadiyah, ‘Aisyiyah, pelajar dan untuk anggota panitia sendiri). Pengumuman harus diberikan agar orang tahu di mana ruangannya. Ditunjuk pula petugas ‘juru periksa’ atau yang di masa sekarang kita kenal sebagai ‘penanggung jawab ruang’.

Subkomite kedua, tamu, punya tugas tak kalah penting. Kongres kali ini berskala besar, dan tamu datang dari berbagai penjuru Indonesia. Mereka butuh menginap selama beberapa malam di Yogyakarta. Untuk itu, subkomite tamu harus memastikan agar akomodasi untuk mereka tersedia, termasuk ruangan tidur yang pantas, alas tidur dan bantal. Kebutuhan lain selama di Yogyakarta juga harus diperhatikan, seperti makan, minum, terompah, dan kamar mandi. Tak hanya harus lengkap, akomodasi juga mesti bersih.

Subkomite ketiga, usaha, memiliki fungsi finansial. Mereka berusaha mendapat pemasukan dari berbagai kegiatan yang punya nilai jual, seperti pertandingan sepak bola, kuliner, dan penyewaan atau penjualan barang-barang lainnya.

Subkomite keempat, perayaan, sesuai namanya, bertugas untuk memastikan bahwa kongres benar-benar seperti sebuah perayaan: meriah, menyenangkan dan meninggalkan kesan yang dalam di benak para pesertanya. Tugas utama mereka adalah mengurus pawai, suatu kegiatan yang akan menunjukkan kebesaran Muhammadiyah secara visual ke hadapan publik. Akan ada banyak kelompok yang berpawai, mulai dari anggota Muhammadiyah hingga para pelajar.

Subkomite kelima, ‘Aisyiyah, bertanggung jawab untuk mengurus segala keperluan anggota ‘Aisyiyah di dalam kongres itu. Maka, subkomite ini memiliki sub-subkomite, yakni sub-subkomite tamu, usaha, perayaan, dapur (menyiapkan makanan untuk para tamu kongres) dan pengawasan.

Submite keenam, Hizbul Wathan, memiliki tanggung jawab untuk memastikan ketersediaan ruangan serta, yang tak kalah vitalnya, menjaga keamanan selama kongres, baik di saat sidang berlangsung, dalam pertandingan olahraga, selama pameran, sepanjang pawai, serta di penginapan para tamu. Tugas medis (membantu peserta yang sakit) juga menjadi tugas subkomite ini.

Subkomite terakhir, pameran, berkaitan dengan proses kreatif dan presentasi hasilnya kepada publik. Maka, mereka bertugas untuk menyediakan tempat yang sesuai dengan barang yang ditampilkan, seperti produk pertanian atau produk kriya. Penempatan produk ini harus tepat agar lahir minat audiens untuk melihat-lihat, mendapatkan kesan, dan pada akhirnya membelinya.

Secara keseluruhan, kongres Muhammadiyah ke-17 tahun 1928 sangat rumit karena harus mempertimbangkan kebutuhan sangat banyak orang. Belum lagi soal-soal teknis, misalnya ketersediaan dan kapasitas ruangan acara hingga jadwal acara. Demikian pula untuk mengelola ekspektasi publik dari sebuah kongres yang diadakan suatu organisasi yang tengah berkembang pesat di masanya. Namun, dengan pembagian tugas yang rapi dan kerelaan berpartisipasi dari para warga Muhammadiyah, kongres ini berhasil dijalankan dengan baik, dan menjadi teladan bagi pelaksaan kongres-kongres berikutnya.

Muhammad Yuanda Zara, Dosen Ilmu Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta

Sumber: Majalah SM Edisi 17 Tahun 2019

Exit mobile version