Berguru Kepada Pak Zamzuri

Berguru Kepada Pak Zamzuri

Ilustrasi Digital : Budi PW

Berguru Kepada Pak Zamzuri

Pak Zamzuri membersihkan papan tulis dengan penghapus. Ia memegang kapur dengan menjepit kapur dengan ibu jari dan telunjuk sementara jari lain menjaga keseimbangan kapur agar tidak goyang ketika ditekan ke papan tulis. Kapur yang empuk dan halus adonan gampingnya nyaris tidak berbunyi ketika dipakai untuk membuat goresan di papan tulis. Goresan memanjang dan melengkung atau berkelok menghasilkan gambar. Gerak kapur teratur menghasilkan huruf.

Pak Zamzuri, guru kelas di SD Muhammadiyah Bodon Kotagede dikenal piawai membuat gambar atau tulisan halus di papan tulis. Juga suka menggoda murid-muridnya berteka-teki. Ketika di papan tulis sudah ada gambar petani dengan caping yang khas, pak Zamzuri berhenti sejenak. Ia pura-pura memeriksa gambar itu, sementara murid-murid berteriak-teriak menebak apa yang sesungguhnya akan ia ajarkan

“Dongeng Bapak Tani.’

“Bukan. Lagu Bapak Tani.”

“Dongeng.”

“Lagu.”

Dongeng !”

“Lagu!”

Kami para murid nyaris bertengkar gara gara gambar itu. Kami tegang dan penasaran.

Pak Zamzuri mengangkat kapur tinggi-tinggi sebagai isyarat agar kami diam.

Dada kami berdebar kencang sambil memperhatikan gerak tangan pak Zamzuri berikutnya.

Kalau pak Zamzuri kemudian menggambar kandang ternak dan gambar lainnya berarti pak Zamzuri akan mengajak kami menyanyikan lagu gembira sebelum berdoa pulang ini. Akan tetapi kalau pak Zamzuri menggambar keluarga petani, ditambah binatang dan gambar tokoh lain, berarti pak Zamzuri akan mendongeng.

Kami bersorak senang ketika pak Zamzuri kemudian menggambar tokoh lain yang gendut.

“Pasti dongengnya tentang kisah Pak Tani dan pak Gendut,” teriak seorang teman.

Pak Zamzuri tertawa ringan mendengar komentar muridnya. Lalu mulailah dia mendongeng tentang dua petani. Yang satu hemat, cermat hidupnya dan bersahaja. Ia suka bekerja keras, kalau panen padinya ia simpan di lumbung padi yang bangunan lumbung ada di dekat rumah. Lumbung padi itu selalu penuh. Hasil panen tidak pernah dia habiskan, tidak pernah dia jual semua untuk mendapatkan uang banyak. Ia hanya menjual padi sekadarnya, sisa dari yang disimpan di lumbung dan yang dia tumbuk menjadi beras.

Untuk lauk, ia punya persediaan pohon sayur yang ditanam di dekat sumur. Jika ingin menggoreng telur, ia punya ayam banyak yang bergantian bertelur. Kalau ingin makan ikan, dia tinggal menjaring di kolam ikannya yang terletak di dekat selokan desa. Kebun dia ditanami pohon kelapa, nangka, pepaya dan mangga. Karena dia kalau makan secukupnya, tidak berlebih-lebihan maka tubuh dia tidak gemuk tapi sehat.

Berbeda dengan petani yang kedua. Dia anak petani kaya dan luas sawahnya lebih luas dibandingkan dengan luas tanah petani pertama. Ia tidak pernah menggarap sendiri sawahnya. Ia mengupah orang lain. Pada saat panen dia lebih suka menjual semuanya ke tengkulak. Dia lebih suka memegang uang ketimbang memenuhi lumbung padi dengan hasil panen. Lumbung itu hampir selalu kosong. Ia lebih suka menggunakan uang untuk makan enak, membeli baju bagus dan pelesir. Maka tubuhnya gemuk.

Ia sering mengejek petani pertama. Buat apa menggarap sawah dan panen kalau hasilnya malah disimpan di lumbung dan tidak dinikmati? Petani pertama diam saja kalau diejek begitu.

Suatu saat datang musim paceklik, kemarau sangat panjang, hama menyerang sawah sawah sehingga gagal panen. Petani pertama tenang tenang saja. Ia yakin masih bisa makan sampai paceklik usai. Sebaliknya, petani bertubuh gemuk dan boros. Dia gelisah. Uang dia habis untuk foya foya, lumbung padi kosong, panen gagal karena hama mengganas. Dia dan keluarga dia kelaparan.

Petani gemuk, karena tidak tahan menderita, suatu hari minta bantuan ke petani kurus yang sebelumnya sering dia ejek. Dengan muka memelas dia bilang mau meminjam beras ke petani kurus. Petani kurus mau meminjami beras dengan syarat petani gemuk mau berhemat. Misalnya makan sehari dua kali dengan lauk seadanya. Petani gemuk menyetujui syarat itu.

Karena hidup prihatin, petani gemuk akhirnya menjadi kurus

Pak Zamzuri kemudian mengganti gambar petani gemuk menjadi bertubuh kurus. Sekarang di papan tulis ada dua petani sama sama kurus. Hanya bedanya, petani kurus bekas petani gemuk bajunya kedodoran karena dia tidak punya uang untuk membeli baju baru. Melihat petani kurus dengan baju kedodoran itu murid murid tertawa.

Dalam mendongeng, Pak Zamzuri menyelipkan hal yang jenaka. Ini yang disukai murid-muridnya. Cara bertutur yang bagus, wajah meyakinkan dan dialog yang matang. Yang jelas, dalam mendongeng selalu menghindari kekerasan, adegan kekerasan maksimum seperti yang didongengkan dalang wayang kulit tidak pernah muncul. Toh anak anak selalu menunggu pak Zamzuri mendongeng.

Misalnya kalau terpaksa ada penjahat yang mau ditangkap polisi tetapi melawan, adegan berantemnya tidak vulgar tetapi justru membuat muridnya senang. Dituturkan oleh pak Zamzuri, karena penjahat melawan maka pak polisi menghantam perut penjahat sampai mules lalu terdengar duut duut, penjahat terpaksa kentut untuk menghilangkan rasa sakit di perut. Penjahat tetap ngotot tak mau menyerah. Pak polisi menendang perutnya dan terdengar lagi suara kentut. Murid ketawa

Bahkan ketika pak polisi menakut-nakuti dengan gerakan seperti akan memukul, penjahat kentut lagi karena ketakutan.

Kemudian hari ketika bekerja sebagai wartawan dan penulis sastra saya jadi ingat bahwa pak Zamzuri ini kalau mendongeng ceritanya lengkap, memenuhi unsur 5 W 1 H bahkan ditambah 1 N yaitu nilai utama kehidupan manusia. Nilai kejujuran, hemat, suka menolong, kebenaran, kebajikan, kesetiaan, keikhlasan justru menjadi inti dongeng, sebagai pesan dongeng itu sendiri. Dalam menulis berita atau sastra saya pun menjadi terbiasa menyertakan 1 N ini. Jadi tidak asal membuat heboh.

Juga, saya berguru kepada beliau adalah dalam menciptakan teka teki dan menghadirkan ketegangan di sepanjang cerita. Saat saya mendapat tugas praktek mengajar sebanyak 20 kali saya sering mempraktekkan jurus mengulur waktu agar ketegangan terbangun. Pernah waktu praktek mengajar murid SD saya kebagian pelajaran mengajar lagu baru. Jurus Pak Zamzuri saya keluarkan. Saya menggambar di papan tulis hutan dengan banyak pohon. Lalu saya gambar tukang kayu membawa kapak.

Murid murid melihat gambar saya yang lumayan bagus, karena saya pernah kursus privat melukis. Saya gambar tukang kayu menebang pohon. Saya gambar pohon tumbang. Saya gambar teman tukang kayu membawa gergaji besar. Lalu dua tukang memakai gergaji besar yang digerakkan dua orang. Pohon tumbang dipotong-potong.

Saya bertanya kepada murid mengapa saya menggambar itu semua? Hampir semua menjawab kalau saya akan mendongeng. Ternyata saya akan mengajarkan lagu baru. Berjudul tukang kayu. Saya mulai menyanyi dengan menyentuh gambar gambar itu.

Katakan padaku hai tukang kayu, bagaimana caramu menebang pohon. Lihat lihat anakku, beginilah caraku menebang pohon.

Katakan padaku hai tukang kayu bagaimana caramu memotong kayu. Lihat lihat anakku beginilah caraku memotong kayu.

Lagu bersuasana gembira itu saya ulang ulang. Murid murid mengikuti. Dalam waktu singkat mereka bisa menghafal lagu itu.

Ketrampilan mendongeng dan mengajar lagu baru gaya pak Zamzuri kemudian saya tiru ketika saya mengajar anak-anak di pengajian anak-anak. Kesiapan dalam merangkai cerita sebelumnya juga saya tiru. Gayanya yang menegangkan dan menarik minat murid untuk menunggu cerita berikutnya kemudian saya tiru ketika mendongeng.

Ini memudahkan saya ketika harus menulis cerita bersambung atau laporan bersambung. Cara untuk memasukkan nilai utama kehidupan saya masukkan ketika menulis deskripsi lengkap atau narasi yang menggugah dalam unsur 5W + 1H. Why dan hownya peristiwa saya garap serius. Bahkan ketika menulis esai pun saya terpengaruh gaya ini. (Mustofa W Hasyim)

Exit mobile version