Hadits Sahih Mutawatir

Apabila kita hanya menerima hadits sahih yang mutawatir saja maka akan banyak bagian dari agama yang harus dibuang

Hadits Sahih Mutawatir

Pertanyaan:

Assalamu‘alaikum wr. wb.

Dalam suatu pengajian Tarjih yang diadakan oleh PDM Bekasi Jawa Barat, pernah dibahas masalah metodologi studi hadits. Pembicara atau narasumbernya kalau saya tidak salah waktu itu menjelaskan bahwa apabila terdapat suatu hadits Rasul yang derajatnya tidak mencapai sahih mutawatir, maka tidak wajib bagi warga Muhammadiyah untuk mengamalkan hadits tersebut. Lebih lanjut dikatakan bahwa hadits yang tidak mencapai sahih mutawatir tersebut hanya sebagai penguat dari hadits sahih mutawatir yang sudah ada.

Mohon penjelasan yang lebih detail mengenai hal ini dan bisakah diberi contoh beberapa hadits yang tidak mencapai sahih mutawatir tersebut akan tetapi banyak diamalkan oleh umat Islam pada umumnya.

Terima kasih sebelumnya atas responsnya.

Riadi (disidangkan pada Jum’at, 6 Syakban 1429 H / 8 Agustus 2008 M)

Jawaban:

Terima kasih Pak Riadi atas pertanyaannya. Dalam pertanyaan Bapak, disebut istilah “sahih mutawatir” yang Bapak dengar dari pembicara. Kalau betul apa yang Bapak dengar itu, maka sebelum menjawab inti pertanyaan Bapak perlu diklarifikasi dahulu apa yang dimaksud dengan “sahih mutawatir” oleh pembicara (narasumber). Masalahnya dalam ilmu hadits tidak ada frasa “sahih mutawatir” sebagai suatu istilah khusus untuk menyebut sebuah hadits. Yang ada adalah istilah “sahih” dan istilah “mutawatir.” Istilah “sahih” adalah sebuah sebutan bagi sebuah hadits ditinjau dari segi nilai keotentikannya atau historisitasnya dan kebenaran isinya. Dengan kata lain “sahih” adalah pembagian hadits dilihat dari segi betul atau tidaknya berasal dari Rasulullah saw dan derajat dapat diterimanya sebagai hujjah syar‘i. Sahih sendiri berarti sah atau otentik.

Sedangkan “mutawatir” adalah sebutan bagi sebuah hadits dilihat dari segi banyak atau sedikitnya jalur periwayatan hadits tersebut. Para ahli hadits menganggap bahwa hadits mutawatir selalu sahih, karena banyaknya jalur periwayatan hadits tersebut memberi jaminan akan keabsahan dan keotentikan hadits tersebut. Sebaliknya hadits sahih tidak selalu mutawatir. Hadits sahih ada yang mutawatir dan ada yang tidak mutawatir. Hadits sahih yang tidak mutawatir mencakup hadits sahih yang ahad dan hadits sahih yang masyhur. Jadi hadits sahih mutawatir adalah hadits sahih dan sekaligus mutawatir, yaitu hadits yang dilihat dari segi keabsahan dan keotentikan asalnya dari Rasulullah saw adalah sahih, dan dilihat dari segi jumlah jalur periwayatannya adalah mutawatir. Dengan demikian hadits sahih mutawatir adalah imbangan dari hadits sahih yang ahad dan hadits sahih yang masyhur.

Apakah ada istilah “sahih mutawatir” sebagai sebuah kategori khusus hadits seperti halnya ada istilah “hasan sahih”? Mengenai hadits hasan sahih memang merupakan suatu istilah khusus yang dipakai oleh ahli hadits. Dalam hal ini at-Turmudzi adalah imam yang memperkenalkan istilah “hasan sahih”. Namun tidak ada sebutan “sahih mutawatir” sebagai sebuah terminologi khusus untuk menamakan sebuah hadits. Memang para ulama ada yang memakai pasangan kata “sahih mutawatir”, akan tetapi yang mereka maksudkan pada umumnya adalah hadits sahih dan sekaligus mutawatir, yakni hadits sahih dari segi penisbatannya kepada Rasulullah saw dan mutawatir dari segi jumlah jalur periwayatannya.

Bila kita coba membuka Program al-Jami‘ al-Kabir, yang merupakan program komputerisasi kitab-kitab khusus turas Islam yang dikatakan berisi 40.000 (empat puluh ribu) jilid buku Islam dari berbagai bidang, termasuk bidang hadits, maka kita menemukan kata “sahih mutawatir” hanya sebanyak 33 kali. Tampak bahwa pemakaian frasa “sahih mutawatir” sedikit sekali, hanya 33 kali di dalam 40.000 jilid buku. Penggunaan frasa “sahih mutawatir” di sana umumnya adalah hadits sahih dari segi penisbatannya kepada Nabi saw dan mutawatir jalur periwayatannya, artinya frasa ini digunakan sebagai imbangan hadits sahih yang ahad dan hadits sahih yang masyhur. Frasa ini tidak digunakan sebagai istilah khusus bagi sebuah hadits.

Bila dicermati 33 pemakaian tersebut, ada juga yang menggunakannya dalam pengertian lughawi (leksikal) saja, bukan sebagai sebuah istilah (terminologi). Mungkin contoh dari al-Qarafi (w. 684/1285) berikut dapat dikategorikan demikian. Beliau menulis, “Pasal: Dalam daftar nasab para Syarif ditulis: Para saksi memberi kesaksian berdasarkan … penukilan sahih mutawatir bahwa ia adalah seorang syarif keturunan al-Husain Ibn Ali Ibn Abi Thalib …” [Al-Qarafi, adz-Dzakhirah, X: 413]. Al-Qarafi, seorang ahli fikih dari mazhab Maliki, dalam kitab fikihnya adz-Dzakhirah yang dikutip di atas menguraikan masalah dokumen atau pencatatan sipil seperti pencatatan kelahiran, pencatatan kematian, pencatatan nikah, pencatatan kecakapan bertindak hukum, dan yang dikutip di atas adalah pencatatan tentang nasab kebangsawanan, yaitu syarif.

Menurut al-Qarafi dalam dokumen pencatatan itu harus disebutkan bukti berdasarkan penukilan sahih mutawatir bahwa orang itu memang adalah seorang syarif, yaitu keturunan al-Husain Ibn Ali Ibn Abi Thalib. Di sini al-Qarafi menyebut “sahih mutawatir”, namun tampaknya lebih dalam pengertian lughawi (leksikal) saja, bukan dalam pengertian khusus menurut ilmu hadits. Yang penting catatan itu membuktikan dengan penukilan sah dan masyhur bahwa orang itu memang seorang syarif.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam pemakaian para ulama, istilah “sahih mutawatir” bukan sebuah terminologi khusus untuk menyebut sebuah hadits sebagaimana at-Turmudzi memakai istilah “hasan sahih” untuk menyebut sebuah hadits tertentu, melainkan “sahih mutawatir” digunakan untuk menyebut sebuah hadits yang sahih dan sekaligus mutawatir, sebagai imbangan dari hadits sahih yang ahad dan hadits sahih yang masyhur.

Lalu apa yang dimaksud dengan “sahih mutawatir” oleh pembicara tersebut? Apakah hadits sahih sekaligus mutawatir, dalam arti sahih penisbatannya dan mutawatir jalur periwayatannya, yaitu sebagai imbangan dari hadits sahih yang ahad atau hadits sahih yang masyhur, atau ada arti lain? Dalam ilmu hadits tidak ada pengertian lain dari sahih mutawatir selain dari yang disebutkan di atas, yaitu hadits sahih penisbatannya dan mutawatir jalurnya, yaitu sebagai imbangan hadits sahih yang ahad dan hadits sahih yang masyhur. Oleh karena itu apabila berbicara metodologi hadits, maka makna sahih mutawatir itu harus dipakai dalam pengertian seperti yang dikemukakan baru saja.

Sebelum berbicara lebih lanjut mungkin ada baiknya dijelaskan terlebih dahulu tentang hadits sahih dan hadits mutawatir, khususnya bagi pembaca yang tidak begitu akrab dengan ilmu hadits. Para ulama ahli hadits mengklasifikasi hadits dari berbagai aspek tinjauan. Di antaranya mereka membagi hadits dari segi kekuatan hujahnya atau dari segi derajat keotentikannya seperti disinggung terdahulu menjadi tiga macam, yaitu (1) hadits sahih, (2) hadits hasan, dan (3) hadits daif. Imam an-Nawawi (w. 676/1278) mendefinisikan hadits sahih secara singkat sebagai “hadits yang bersambung sanadnya dan dirangkai oleh para rawi adil dan dabit serta bebas dari kejanggalan (syudzudz) dan cacat tersembunyi (‘illat) [An-Nawawi, at-Taqrib, h. 1]. Sirajuddin al-Anshari (w. 804 H / 1400 M) menegaskan bahwa definisi hadits sahih ini telah menjadi ijmak para ulama [Al-Anshari, al-Muqni‘ fi ‘Ulumil-Hadits, I: 41].

Definisi hadits sahih seperti dikemukakan di atas menegaskan bahwa suatu hadits untuk dianggap sahih harus memenuhi lima kriteria, yaitu (1) bahwa rangkaian sanad hadits itu bersambung, (2) para rawi yang merangkai sanad hadits itu adalah adil, (3) para rawi itu juga dabit, (4) bahwa hadits itu bebas dari kejanggalan (syudzudz), dan (5) bahwa hadits itu bebas dari cacat tersembunyi (‘illat). Yang dimaksud dengan sanad bersambung adalah bahwa seorang rawi harus sezaman dengan sumber haditsnya, dalam arti ketika sumber hadits meninggal sang rawi harus sudah lahir dan telah mencapai usia belajar. Imam al-Bukhari mensyaratkan lebih ketat lagi, yaitu bahwa perawi harus terbukti pernah bertemu dengan sumber haditsnya. Ulama-ulama hadits yang lain mensyaratkan cukup sezaman saja.

Para ulama berbeda pendapat tentang merumuskan apa yang dimaksud dengan rawi “adil.” Namun kriteria minimal untuk dikatakan “adil”, menurut al-Hakim (w. 404/1014), adalah (a) beragama Islam, (b) tidak berbuat bidah, dan (c) tidak berbuat maksiat. Banyak pula yang menambahkan balig dan berakal serta lain-lain. Perlu diketahui bahwa balig itu adalah pada saat meriwayatkan hadits, sedangkan pada saat menerima hadits tidak disyaratkan balig, boleh pada saat masih kecil, yaitu masa belajar sebelum balig. Yang dimaksud dengan dabit adalah seseorang rawi hadits memiliki penguasaan mendalam terhadap hadits dan mampu mengontrol materi hadits dalam catatan atau kitabnya sehingga terhindar dari kesalahan dan kekeliruan. Dalam kitab-kitab biografi hadits istilah adil dan dabit disatukan dalam terma tsiqah (reliabel/terpercaya). Jadi rawi yang tsiqah adalah rawi yang adil dan dabit.

Terhindar dari kejanggalan (syudzudz) artinya bahwa riwayat seorang rawi tidak bertentangan dengan riwayat rawi lain yang lebih kuat. Sedang terhindar dari cacat (‘illat) adalah bahwa rawi terhindar dari kekeliruan di mana misalnya menganggap hadits mursal sebagai muttasil, hadits maukuf sebagai marfuk dan seterusnya.

Hadits hasan kriterianya sama dengan kriteria hadits sahih, hanya saja hadits hasan berbeda dengan hadits sahih dalam kriteria ketiga, yaitu kedabitan rawi. Dalam hadits sahih kedabitan rawi harus sempurna, sedangkan dalam hadits hasan cukup kedabitan minimal. Hadits daif adalah hadits yang tidak memenuhi salah satu dari lima syarat di atas. Misalnya sanadnya putus (tidak bersambung), atau rawinya tidak adil atau tidak dabit. Hadits itu bertentangan dengan riwayat hadits dari rawi lain yang lebih kuat, dan seterusnya.

Para ulama sepakat bahwa hadits sahih dan hadits hasan dapat menjadi hujjah (dasar) agama, sementara hadits daif tidak dapat menjadi hujjah. Namun dikecualikan apabila hadits daif itu banyak jalur periwayatannya, ada indikasi berasal dari Nabi saw, kedaifannya tidak disebabkan oleh rawi tertuduh dusta, serta tidak bertentangan dengan al-Quran dan hadits lain yang telah terbukti sahih, maka hadits daif seperti itu dapat menjadi hujjah karena dengan banyaknya jalur periwayatannya ia berubah menjadi hadits hasan li gairihi.

Ditinjau dari segi jumlah jalur periwayatan atau jalur sanad, hadits dibedakan menjadi (1) hadits mutawatir, (2) hadits masyhur, dan (3) hadits ahad. Hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan dan dilaporkan berdasarkan fakta inderawi melalui jumlah jalur sanad yang banyak sedemikian rupa sehingga mencapai tingkat di mana mustahil para rawi dalam sanad itu berkumpul untuk bersepakat berbuat dusta. Ibn ash-Shalah (w. 643 H/ 1245 M) mendefinisikannya sebagai “hadits yang diriwayatkan oleh para rawi yang dapat menghasilkan pengetahuan daruri tentang kebenarannya [Ibn ash-Shalah, Muqaddimah, hlm. 267]. Hadits mutawatir itu memiliki karakteristik (1) banyak jalur sanadnya (jalur periwayatannya), (2) banyaknya itu adalah sedemikian rupa sehingga memustahilkan para rawi itu bertemu dan berkumpul untuk berbuat dusta yang sama, (3) bersumber kepada pengalaman inderawi, dalam arti yang dilaporkan itu bukan suatu opini, melainkan fakta sebagaimana adanya, dan (4) menghasilkan pengetahuan daruri, artinya menimbulkan keyakinan pasti dalam hati dan pikiran tentang kebenarannya.

Semua hadits yang terbukti mutawatir pastilah sahih karena banyaknya jalur dan sumber pelaporan hadits itu sedemikian rupa menjadi jaminan keotentikannya. Para ulama memandang kesahihan hadits mutawatir dinilai sebagai paling tinggi. Hadits-hadits mutawatir ini telah dikumpulkan oleh as-Sayuthi (w. 911/1505) dalam satu karya khusus dengan judul al-Azhar al-Mutanatsirah yang kemudian diringkasnya dalam buku lain berjudul Qathful-Azhar [As-Sayuthi, Tadrib ar-Rawi, II: 179]. Kedua karya ini belum dicetak. Karya as-Sayuthi ini kemudian ditambahi dan dilengkapi oleh al-Kattani (w. 1345/1927)) dalam kitabnya Nazmul-Mutanatsir. Di antara contoh hadits mutawatir yang disebutkan dalam kitab terakhir ini adalah hadits,

من بَنَى لِلَّهِ مَسْجِداً لِيُذْكَرَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ فِيهِ بَنَى اللهُ لَهُ بَيْتاً فِي الْجَنَّةِ

Artinya: Barangsiapa yang membangun masjid agar nama Allah disebut di dalamnya, maka Allah akan membangun untuknya sebuah rumah di dalam surga. [Diriwayatkan oleh banyak ahli hadits, lafal di atas adalah lafal Ahmad].

Contoh lain adalah hadits,

إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ أُنْزِلَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ فَاقْرَؤُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ

Artinya: Sesungguhnya al-Quran ini diturunkan dengan tujuh huruf (tujuh variasi bacaan), maka bacalah mana yang mudah di antaranya. [lafal al-Bukhari].

Hadits ini bersumber kepada 27 Sahabat. Secara umum kitab Nazm al-Mutanatsir ini memuat 310 buah hadits mutawatir, meskipun tidak semua yang diklaim mutawatir itu disepakati oleh para ulama sebagai hadits mutawatir.

Hadits mutawatir biasanya dibedakan menjadi dua macam, yaitu hadits mutawatir lafzi, yaitu hadits yang banyak jalur periwayatannya dan matan dari semua jalur itu adalah sama. Para ulama memandang hadits seperti ini amat sedikit jumlahnya. Yang banyak adalah hadits mutawatir macam kedua, yaitu hadits mutawatir maknawi, ialah hadits yang banyak jalurnya, namun matannya (bunyi teksnya) berbeda, tetapi memiliki kesamaan maksud secara umum. Bahkan masing-masing hadits ini secara sendiri-sendiri mungkin hanya ahad, namun karena kesemuanya menunjuk kepada pengertian umum yang sama, maka menjadi mutawatir. Hadits-hadits yang menerangkan bahwa salat wajib itu adalah lima waktu, bahwa salat zuhur empat rakaat, bahwa salat subuh dua rakaat dipandang sebagai hadits mutawatir maknawi.

Hadits masyhur adalah hadits yang jalur periwayatannya banyak (lebih dari satu), tetapi tidak sampai mencapai derajat mutawatir. Ada pendapat bahwa minimal jalur hadits masyhur itu adalah tiga. Sedangkan hadits yang jalur periwayatan kurang dari tiga disebut hadits ahad. Hadits masyhur dan ahad ada yang sahih dan ada yang daif. Jadi hadits sahih itu bila dikaitkan dengan jalur periwayatan, maka ada hadits sahih yang mutawatir, ada hadits sahih yang masyhur dan ada hadits sahih yang ahad.

Kembali kepada pertanyaan tentang hadits “sahih mutawatir”, pernyataan bahwa apabila terdapat suatu hadits Rasul yang derajatnya tidak mencapai sahih mutawatir, maka tidak wajib bagi warga Muhammadiyah untuk mengamalkan hadits tersebut dan bahwa hadits yang tidak mencapai sahih mutawatir tersebut hanya sebagai penguat dari hadits sahih mutawatir yang sudah ada, sesungguhnya tidak sejalan dengan keputusan Tarjih sendiri. Di samping itu juga tidak sejalan dengan prinsip pokok yang telah diterima luas di kalangan ahli hadits dan ahli usul fikih bahwa tidak hanya hadits sahih mutawatir saja yang diterima sebagai hujjah agama, tetapi juga hadits sahih yang masyhur dan yang ahad, bahkan juga hadits hasan.

Memang para mujtahid dan ulama dihadapkan kepada pertanyaan bahwa apabila kita telah sepakat untuk menerima sunnah sebagai sumber syariah, lalu sunnah yang bagaimana yang dapat kita pegangi. Menghadapi pertanyaan ini para ulama Islam berpegang kepada prinsip “pragmatisme amal” dan “ekonomi kepastian” seperti halnya yang dipegangi oleh para ahli logika. Menurut para ahli logika, untuk mengambil suatu kesimpulan mengenai kebenaran sesuatu, secara ideal kita memang seharusnya mendasarkan diri kepada bukti-bukti yang komplit dan sempurna sehingga kesimpulannya bersifat konklusif dan pasti.

Namun dalam kehidupan kita dalam banyak kasus kita tidak selalu mempunyai bukti yang sempurna dan komplit dan seringkali timbul kebutuhan untuk membuat kesimpulan berdasarkan bukti-bukti yang terbatas. Inilah yang kita lihat dalam logika induktif. Oleh karena itu kebenaran kesimpulannya tidak bersifat pasti dan konklusif, melainkan bersifat probabilitas. Meskipun begitu, logika induktif seperti itu harus kita terima demi memenuhi kebutuhan kita.

Demikian pula para ulama dan mujtahid dalam arus utama ilmu hadits dan usul fikih melihat bahwa untuk menerima sunnah Nabi saw secara ideal kita memang seharusnya membuktikannya dengan bukti-bukti yang sempurna, yakni dengan jalan mutawatir. Namun bukti-bukti semacam itu tidak selalu kita dapatkan. Sebaliknya kebutuhan kita mengharuskan kita untuk menerima sunnah yang pembuktiannya terbatas seperti melalui jalur masyhur atau ahad. Rasulullah saw sendiri cukup mengutus satu atau dua orang Sahabatnya untuk menyampaikan ajaran dan sunnah serta keputusannya kepada masyarakat di luar Madinah, dan masyarakat itu cukup menerima informasi dari satu atau dua orang itu untuk menerima ketentuan dan sunnah tersebut. Para Sahabat Nabi saw sepeninggal beliau juga cukup menerima pembuktian sunnah Nabi saw dengan jalan ahad atau masyhur bilamana pembuktian dengan jalan mutawatir tidak ditemukan.

Apabila kita hanya menerima hadits sahih yang mutawatir saja dan tidak menerima hadits sahih yang tidak mutawatir seperti hadits sahih yang masyhur dan ahad, maka akan banyak bagian dari agama yang harus dibuang, karena hadits mutawatir itu sedikit jumlahnya. Dalam kitab Nazmul-Mutanatsir yang mencoba menghimpun hadits-hadits mutawatir sebagaimana disinggung di atas hanya dapat dihimpun sebanyak 310 hadits yang menurut al-Kattani adalah mutawatir. Jumlah ini jauh lebih sedikit dari jumlah ayat al-Quran yang seluruhnya adalah 6236 ayat, dan jauh lebih kecil lagi jumlahnya dibandingkan dengan jumlah keseluruhan hadits yang mencapai puluhan ribu. Ini belum dikurangi dengan jumlah yang diklaim oleh al-Kattani sebagai mutawatir, sementara menurut banyak ulama lain adalah tidak mutawatir.

Sebagai contoh adalah hadits “innamal a‘malu bin-niyyat” (sesungguhnya amal itu berdasarkan niyat). Menurut al-Kattani, hadits ini adalah mutawatir dan menempati urutan pertama dalam bukunya. Menurut para ulama lain hadits ini tidak mutawatir. Ibn ash-Shalah (w. 643 H/ 1245 M) menyatakan bahwa hadits ini tidak dapat dikatakan mutawatir karena jalur periwayatannya adalah ahad pada awal isnadnya. Mutawatir baru ada pada pertengahan dan ujung isnadnya. Bahkan as-Sakhawi menegaskan bahwa hadits ini tidak dapat menjadi contoh hadits masyhur, apalagi dijadikan contoh hadits mutawatir. Alasan semua ulama yang menolak kemutawatiran hadits ini adalah sama, yaitu awal sanadnya adalah ahad bahkan berturut-turut beberapa generasi. Mutawatir baru terdapat pada pertengahan hingga ujung isnad.

Apabila hadits ini dianggap tidak mutawatir, maka sesuai dengan pendapat narasumber yang ditanyakan oleh Pak Riadi, konsekuensinya hadits ini harus ditolak bersama banyak hadits lain yang juga harus ditolak karena tidak mencapai sahih mutawatir. Pandangan bahwa yang harus diamalkan adalah hadits yang sahih mutawatir saja tidak sejalan dengan putusan Tarjih sendiri, yaitu Keputusan Musyawarah Tarjih Ke-24 di Malang, yang kemudian disatukan dalam Keputusan Musyawarah Tarjih Ke-25 di Jakarta tahun 2000, yang menyatakan bahwa “Sumber ajaran Islam adalah al-Quran dan as-Sunnah as-Maqbulah.”

Rumusan as-Sunnah al-Maqbulah adalah perbaikan dan sekaligus penjelasan terhadap rumusan sebelumnya yang menyatakan sumber agama Islam adalah as-Sunnah as-Sahihah. Karena dengan rumusan lama itu timbul salah faham bahwa hadits hasan tidak dapat menjadi hujjah, pada hal maksud sunnah sahihah itu bukanlah demikian, maka rumusan lama itu diperbaiki sesuai dengan apa yang umumnya berlaku, yaitu hadits hasan juga merupakan hujjah. Karena itu rumusannya diperbaiki menjadi sunnah maqbulah yang berarti sunnah yang dapat diterima sebagai hujjah, yaitu hadits sahih dan hadits hasan. Bahkan sesungguhnya dalam Putusan Tarjih masalahnya lebih dari itu. Dalam Putusan Tarjih hadits daif dengan kualifikasi tertentu juga dapat menjadi hujjah dan diamalkan. Dalam hal ini dalam HPT (hlm. 300) terdapat kaidah hadits yang berbunyi,

الأَحاَدِيْثُ الضَّعِيْفَةُ يَعْضِدُ بَعْضُهاَ بَعْضًا لاَ يُحْتَجُّ بِهَا إِلاَّ مَعَ كَثْرَةِ طُرُقِهَا وَفِيْهَا قَرِيْنَةٌ تَدُلُّ عَلَى ثُبُوْتِ أَصْلِهَا وَلمَ ْتعُاَرِضَ اْلقُرْآنَ وَاْلحَدِيْثَ الصَّحِيْحَ.

Artinya: Hadits-hadits daif yang satu sama lain saling menguatkan tidak dapat dijadikan hujjah kecuali apabila banyak jalannya dan padanya terdapat karinah yang menunjukkan asalnya serta tidak bertentangan dengan al-Quran dan hadits sahih.

Kaidah ini dirumuskan tahun 1940 dan sempat menjadi perdebatan beberapa waktu kemudian. PWM Jawa Barat berpendapat bahwa kaidah ini harus ditolak karena tidak sesuai dengan rumusan bahwa sumber agama Islam adalah al-Quran dan sunnah sahihah. Berdasarkan penolakan terhadap kaidah ini, maka pada tahun 1973 PWM Jawa Barat membuat keputusan bahwa shalat Id takbirnya hanya satu kali, tidak 7-5, karena takbir 7-5 itu didasarkan kepada hadits-hadits daif. Hadits daif, menurut PWM Jawa Barat, tidak dapat menjadi dasar hukum dan hujjah agama, walaupun jumlahnya banyak. Oleh karena itu definisi agama Islam yang menerangkan sumber ajaran agama adalah al-Quran dan as-Sunnah ash-Shahihah harus dipegangi [SM, No. 9, 1977, hlm. 12].

Sementara itu Majelis Tarjih Pusat menyatakan bahwa as-Sunnah ash-Shahihah dalam definisi agama Islam itu bukanlah makudnya hadits sahih dalam pengertian ilmu hadits, melainkan adalah hadits maqbul yang meliputi hadits sahih, hadits hasan, bahkan hadits daif yang banyak dan saling menguatkan serta ada indikasi berasasl dari Rasulullah saw serta tidak bertentangan dengan al-Quran dan hadits sahih. Tahun 1977 Majelis Tarjih Pusat mengadakan pembahasan dalam diskusi panel tentang hadits daif dengan kualifikasi yang disebutkan terdahulu. Kesimpulannya adalah bahwa kaidah hadits daif tersebut sudah benar dan tidak perlu dikoreksi lagi [SM, No. 17, tahun 1977, hlm. 16].

Sering dikatakan bahwa hadits daif sekalipun banyak akan tetaplah daif. Jumlah yang banyak itu tidak dapat meningkatkan kualitasnya menjadi lebih kuat. Pendapat ini tidaklah sepenuhnya benar. Untuk menjelaskan ini kita dapat meminjam teori sistem dalam ilmu sosial. Menurut teori ini suatu keseluruhan yang terorganisasikan secara sistemik akan memunculkan suatu karakteriktik baru yang tidak ada pada bagian-bagian secara terpisah. Bagian-bagian, ketika masuk ke dalam keseluruhan, akan menjadi berbeda dengan ketika berada di luar sistem. Sebatang lidi tidak memiliki kekuatan apa-apa untuk menggerakkan sampah yang ringan dan kecil sekalipun. Akan tetapi apabila dikumpulkan menjadi satu kesatuan yang disebut sapu, lidi-lidi itu akan menghasilkan kekuatan besar dan mampu menggerakkan sampah-sampah yang berat.

Begitu pula seorang pendemo mungkin sebenarnya ketika sendirian di luar kelompok hanyalah seorang penakut, akan tetapi ketika berada di dalam kelompok demonstran berubah menjadi seorang pemberani dan beringas. Kombinasi hidrogen dan oksigen menghasilkan suatu yang baru berupa cairan tidak berwarna (air) yang tidak ada pada bagian-bagian secara terpisah. Jadi keseluruhan menghasilkan suatu properti baru sebagai hasil hubungan antar bagian-bagian, hubungan yang tercipta ketika bagian-bagian itu disatukan untuk membentuk suatu kesatuan organisasional yang sistemik [Polkingshorn, Methodology for Human Sciences, hlm. 137].

Dalam metodologi usul fikih teori sistem ini bukan suatu barang baru. Imam asy-Syathibi (w. 790 H / 1388 M), seorang filosof hukum Islam dari Cordova, Spanyol, telah mengupas teori ini dan memanfaatkannya untuk membangun filsafat maslahat dalam hukum Islam. Dalam kaitan ini ia mengatakan, “Keseluruhan memiliki kekuatan yang tidak dimiliki oleh bagian-bagian secara terpisah” [Al-Muwafaqat, I: 14]. Bila dibawa kepada hadits, keseluruhan sanad yang menopang hadits-hadits disertai dengan berbagai bukti sirkumstansial yang menyertainya memunculkan suatu kualitas baru pada kumpulan hadits-hadits itu yang tidak terdapat di dalam hadits yang berdiri sendiri-sendiri [Anwar, “Kontribusi,” Jurnal Profetika, hlm. 112]. Atas dasar itu hadits daif yang banyak dapat memiliki kualitas baru yang tidak terdapat pada masing-masing hadits secara sendiri-sendiri.

Kesimpulan dari semua yang dikemukakan di atas adalah:

  1. Bahwa dalam ilmu hadits dan sebagaimana dipakai oleh para ulama, hadits yang diamalkan bukan hanya hadits sahih yang mutawatir saja, tetapi juga hadits sahih lainnya, baik yang masyhur maupun ahad, dan juga hadits hasan.
  2. Hadits-hadits daif yang telah meningkat derajatnya menjadi hadits hasan lighairihi karena satu sama lain saling menguatkan, banyak jalannya, dan padanya terdapat karinah yang menunjukkan asalnya dari Rasulullah saw serta tidak bertentangan dengan al-Quran dan hadits sahih dapat menjadi hujjah dan dasar hukum agama.
  3. Putusan-putusan Tarjih Muhammadiyah tidak berbeda dengan pandangan yang merupakan arus utama ini.

Wallahu a’lam bish-shawab

Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Sumber: Majalah SM No 22 Tahun 2008

Exit mobile version