Perbedaan Muhammadiyah dan Salafi Wahabi
Gerakan pembaharuan Muhammadiyah memadukan gagasan besar: Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, hingga Ibn Wahab, yang diramu oleh KH Ahmad Dahlan. Muhammadiyah melakukan purifikasi aspek akidah dan ibadah, dalam muamalah melakukan modernisasi atau dinaminasi. Wahabi penekanannya pada purifikasi.
Muhammadiyah memahami Qur’an dan Sunnah dengan akal pikiran yang sesuai jiwa ajaran Islam, sementara Salafi memahami secara literal. Muhammadiyah menerima kemoderenan serta melakukan modernisasi. Salafi menolak modernisasi, tapi menerima teknologi. Muhammadiyah menerima budaya Barat dan lokal yang sesuai ajaran Islam, serta melakukan islamisasi terhadap budaya lokal yang tidak islami. Salafi menolak budaya Barat dan lokal, serta mengacu pada budaya Arab yang tergambar dalam hadis.
Muhammadiyah berdakwah kepada Muslim dan non-Muslim dengan prinsip hikmah. Kepada non-Muslim didakwahi agar mengerti Islam, kepada Muslim agar menjadi muslim ideal. Salafi berdakwah kepada muslim saja agar bermanhaj salaf, non-Muslim dipandang kafir. Muhammadiyah ber-amar makruf nahi munkar. Secara individual melalui pengajian dan tabligh. Secara kelembagaan dilakukan sistematis melalui AUM dan filantropi. Salafi melakukannya dengan tahzir dan hajr al-mubtadi’ (mengisolasi atau menyingkirkan pelaku bid’ah).
Muhammadiyah turut mendirikan Indonesia dan memperjuangkan negara baldatun thayyibatun wa rabbun ghofur. Indonesia sebagai Dar al-Ahdi wa al-Syahadah, tinggal mengisinya agar sesuai ajaran Islam. Salafi yamani patuh pada pemerintah, tetapi pasif. Salafi yamani berprinsip apolitik, tetapi mengidolakan kehidupan berbangsa seperti zaman Nabi. Salafi haraki dan jihadi menyimpan harapan menjadikan Indonesia sebagai negara Islam.
Muhammadiyah berpandangan bahwa akal adalah perangkat yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia untuk bisa survive serta memahami alam semesta dan teks keagamaan. Muhammadiyah menggunakan pendekatan bayani, burhani, dan irfani. Akal digunakan karena Islam diturunkan untuk semua manusia dengan berbagai latar budaya dan peradaban. Salafi mengabaikan peran akal dalam menafsirkan teks keagamaan. Bagi mereka, kebenaran itu tunggal dan terletak dalam wahyu dan respons manusia terhadap wahyu: taat dan ingkar.
Muhammadiyah berpandangan bahwa rasionalitas dan pengembangan ilmu sosial diperlukan untuk memahami teks dan untuk membangun peradaban manusia yang maslahah. Salafi mengharamkan filsafat dan tasawuf.
Menurut Muhammadiyah, perempuan punya peran domestik dan publik. Perempuan boleh menjadi pejabat publik dan bepergian tanpa mahram bila aman dan terjaga dari fitnah. Muhammadiyah memfasilitasi perempuan berorganisasi melalui Aisyiyah. Perempuan sebagaimana laki-laki, harus mendapatkan pendidikan setinggi-tingginya di semua bidang. Muhammadiyah mendukung pernikahan monogami untuk menciptakan keluarga sakinah, walaupun tidak mengharamkan poligami.
Menurut salafi, peran perempuan di sektor domestik. Perempuan bepergian harus didampingi mahram. Perempuan perlu mendapatkan pendidikan keagamaan dan bidang yang menopang peran domestiknya. Salafi mendukung poligami.
Bagi Muhammadiyah, berpakaian yang penting adalah menutup aurat. Boleh memakai pakaian tradisional, lokal, Arab ataupun Barat. Cara berpakaian salafi membiasakan empat identitas: jalabiya (baju panjang terusan atau jubah), tidak isbal (celana di atas mata kaki), lihya (memelihara jenggot), dan niqab (memakai cadar bagi perempuan).
Bidang seni semisal aktivitas bermusik, bernyanyi, bermain drama, menurut Muhammadiyah, bisa menjadi media dakwah. Bagi salafi, seni adalah bid’ah dan haram. Menonton TV, bermusik, dan hiburan adalah terlarang.
Dalam penentuan Ramadhan dan Idul Fitri, menurut Muhammadiyah, metodenya ilmu hisab. Salafi menggunakan metode rukyat dan Idul Adha mengikuti ketentuan wukuf di Arafah. Muhammadiyah membolehkan zakat fitrah dengan uang dalam keadaan tertentu. Menurut salafi, zakat fitrah harus makanan pokok. Muhammadiyah berpandangan zakat bisa diberikan untuk kesejahteraan umum. Menurut salafi, zakat harus kepada 8 asnaf.
Peringatan maulid Nabi, menurut Muhammadiyah, boleh dilakukan jika membawa mashlahat. Maulid termasuk bidang muamalah. Menurut salafi, peringatan maulid Nabi mutlak haram. (ridha)
Selengkapnya Muhammadiyah dan Salafi Wahabi
Tulisan ini disarikan dari hasil wawancara wartawan SM dan paparan materi Agung Danarto dalam acara Rapat Konsolidasi PWM Aceh Bersama PDM se-Propinsi Aceh, Majelis, Lembaga dan Ortom tingkat wilayah Propinsi Aceh, tanggal 27-28 Juli 2019.
Tulisan ini dimuat pertama kali di Majalah Suara Muhammadiyah secara berseri pada rubrik Pedoman edisi 22 (16-30 November 2019)