Thagut

Thagut

Dok Ilustrasi

Ada yang mengatakan: Pancasila adalah thagut. Konsekuensi dari keyakinan ini adalah pengelompokan manusia menjadi: (1) ansharu-thagut, yaitu orang yang berhukum kepada selain hukum/syariat Allah (dalam makna sempit atau legal-formal), termasuk menjadikan Pancasila sebagai landasan negara; (2) ansharu-tauhid, yaitu mereka yang melawan selain hukum Allah, termasuk Pancasila dan UUD 1945.

Dengan merujuk beberapa ayat yang dipahami parsial dan literal, mereka menyimpulkan bahwa ansharu-tauhid wajib memerangi ansharu-thagut karena telah kafir, murtad, zindiq (Al-Maidah: 44). Persoalan kafirnya orang yang tidak berhukum pada hukum Allah ini menjadi perdebatan, termasuk di kalangan ulama Salafi-Wahabi [semisal dalam Muraja’at fi Fiqhil Waqi’ As-Siyasi wal Fikri ‘ala Dhauil Kitabi wa Sunnah, (edisi Indonesia: Koreksi Total Masalah Politik & Pemikiran dalam Perspektif Al-Qur’an & As-Sunnah), Penulis: Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Shalih bin Ghanim As-Sadlan, Penyusun:  Abdullah bin Muhammad Ar-Rifai, Penerjemah: Abu Ihsan Al-Atsari]. Menurut Shalih bin Ghanin As-Sadlan, menghalalkan selain hukum Allah dan meyakini bahwa syariat Islam tidak layak diterapkan adalah keliru, namun pemberontakan adalah tindakan bodoh dan menimbulkan mudharat lebih besar.

Kalangan Salafi-Jihadi menyakini bahwa orang yang loyal pada sistem negara bangsa (produk pikiran manusia) adalah ansharu-thagut yang harus diperangi. Karena itu, dalam beberapa kasus terorisme, pelaku ‘amaliah’ meneriakkan kata: thagut! Di tahun 2017, misalnya terjadi penyerangan terhadap polisi yang shalat isya di Masjid Falatehan Kebayoran Baru Jakarta Selatan, sebab polisi dinilai bekerja pada negara thagut.

Ayat yang sering dikutip, “Orang-orang beriman berperang di jalan Allah, orang-orang kafir berperang di jalan thagut. Karena itu, perangilah wali-wali (ada yang menerjemahkan: teman atau pemimpin) setan itu,” (Qs. An-Nisa: 76). Oleh mereka, ayat yang menggunakan pola (khabariyah dan insyaiyah) ini dipahami sebagai perintah abadi dan terus-menerus untuk memerangi sistem thagut dan pendukungnya sebagai ikhwan/aulia syaithan.

Kata thagut dalam Al-Baqarah: 256-257, menurut Quraish Shihab, adalah  segala sesuatu yang menindas manusia dan menyesatkan dari jalan yang benar. Asal kata thaga dalam Qs. Al-Haqqah: 11 digunakan sebagai makna meluapnya air sehingga mencapai tingkat membahayakan, dalam konteks menjelaskan peristiwa air bah di masa Nabi Nuh. Jadi, thagut bermakna meluap atau melampaui batas kedurhakaan.

Rasyid Ridha dan Muhammad Asad memiliki pandangan bahwa thagut adalah kekuatan atau dorongan jahat yang menguasai pikiran dan hati manusia (powers of evil). Menurut Ibnu Manzur dalam Lisan al-‘Arab, thagut berarti melampaui batas dalam kemaksiatan dan kekafiran. Pendapat At-Thabari dalam Jami’ul Bayan, bahwa thagut mengeluarkan manusia dari cahaya iman menuju kepada kegelapan dan kekafiran, yang melahirkan keraguan terhadap bukti kebenaran, menghalangi penglihatan hati dan cahaya iman.

Dalam menafsirkan An-Nisa: 76, Buya Hamka menyebut thagut sebagai setan. Pada Al-Baqarah: 257, Hamka menjelaskan bahwa setan adalah sumber asli dari segala macam thagut, disebut juga dalam Ali Imran: 175 dan Al-A’raf: 30. Tauhid berfungsi membebaskan jiwa manusia dari pengaruh thagut yang menghilangkan nilai manusia dan kemanusiaan, berganti dengan nilai rendah kebinatangan.

Kata thaga (طغى) dengan beragam kata turunannya disebut (minimal) 19 kali dalam Al-Qur’an, dengan makna beragam, baik sikap individu maupun kelompok, di antaranya: melanggar batas, sewenang-wenang, zalim, kejam, menindas, membuat kerusakan, durhaka (semisal Fir’aun dalam An-Nazi’at: 17, Thaha: 24 dan 43). Dalam Al-Alaq: 6, disebut: kallā innal-insāna layaṭgā, yang sering diterjemahkan: manusia benar-benar melampaui batas. (muhammad ridha basri)

Sumber: Majalah SM Edisi 19 Tahun 2020

Exit mobile version