Bahasa Belanda Administratif di Muhammadiyah

Bahasa Belanda Administratif di Muhammadiyah

Oleh: Muhammad Yuanda Zara

Sepanjang seratus tahun terakhir, Muhammadiyah berinteraksi dengan berbagai bahasa asing di luar bahasa lokal (Jawa atau Minang, misalnya) dan nasional (awalnya dalam bentuk bahasa Melayu, lalu bahasa Indonesia). Tidak diragukan lagi, di luar bahasa Indonesia, bahasa Arab adalah bahasa asing yang paling banyak dipakai. Ini ada kaitannya dengan fungsi bahasa ini sebagai bahasa yang digunakan dalam berbagai ibadah serta bahasa yang menjadi pintu masuk memahami ajaran Islam dengan lebih dalam. Nama “Muhammadiyah” sendiri berasal dari bahasa Arab, dengan arti “para pengikut Nabi Muhammad SAW”. Demikian pula dengan lambang Muhammadiyah, dihiasi oleh kalimat syahadat dalam bahasa Arab. Berbagai penjelasan tentang agama Islam yang dibahas oleh warga Muhammadiyah juga menggunakan istilah dari bahasa Arab.

Di luar bahasa Arab, ada bahasa Belanda yang pernah mewarnai perjalanan sejarah Muhammadiyah. Ada berbagai cara menjadi modern di Indonesia zaman dulu. Di era abad ke-19 hingga dekade-dekade awal abad ke-20, bahasa Belanda adalah salah satu simbol modernitas di Hindia Belanda yang kelak menjadi Indonesia. Bahasa ini dijadikan oleh penguasa kolonial Belanda sebagai bahasa untuk menyebarluaskan gagasannya yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan, administrasi, teknik, dan hukum. Bahasa ini dipakai sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah bikinan Belanda. Walaupun ada penentangan juga pada pemakaian bahasa Belanda yang dianggap tidak memiliki akar kultural di Indonesia dan juga sebagai bentuk dominasi kultural atas orang Indonesia, namun bahasa ini berperan sebagai bahasa yang menjadi jembatan untuk masuknya ide-ide baru dari Barat, khususnya Eropa.

Di kalangan Muhammadiyah awal, bahasa pengantar yang dipakai adalah bahasa Jawa, sesuatu yang masuk akal mengingat bahwa organisasi ini lahir dan eksis terutama sekali di di inti kultural Jawa, Yogyakarta. Bahasa Melayu, dan kemudian bahasa Indonesia, menjadi bahasa pengantar utama tatkala Muhammadiyah memperluas jangkauan cabang serta pengaruhnya hingga ke luar Yogyakarta, bahkan ke luar Jawa. Di tengah penggunaan bahasa-bahasa ini, bahasa Belanda dipakai pula, khususnya untuk mengacu pada istilah-istilah yang berasosiasi dengan administrasi. Belanda tak hanya memperkenalkan organisasi-organisasi modern ala Barat berikut pengelolaannya, tapi juga istilah-istilah khas mereka, yang kemudian diadopsi oleh berbagai lembaga yang didirikan kaum pribumi.

Istilah Bahasa Belanda

Di persyarikatan Muhammadiyah, ada sejumlah istilah-istilah keorganisasian yang berasal dari bahasa Belanda. Dulu, istilah ini lazim dipakai karena makna kemodernan yang dibawanya serta belum adanya padanan yang pas dalam bahasa Melayu maupun bahasa lokal lain. Seiring berakhirnya penjajahan Belanda serta usainya pengaruh kolonialismenya di Indonesia dan menguatnya peran bahasa Indonesia, sejumlah istilah itu kemudian menghilang dan diganti dengan istilah padanannya.

Ada beberapa istilah administratif dari bahasa Belanda yang dipakai oleh warga Muhammadiyah generasi awal. Pertama, kata yang berasosiasi dengan hoofd atau kepala. Ada beberapa contoh, umpamanya hoofdbestuur, kata yang lazim dipakai ketika menyebut suatu dewan tertinggi yang memimpin organisasi. Pengertian lainnya mengacu pada pengurus pusat atau pengurus utama, atau yang dalam istilah di Muhammadiyah kemudian, pengurus besar dan pimpinan pusat.

Walaupun padanan kata yang dipakai dalam bahasa Indonesia ada beberapa, maknanya secara administratif sebenarnya sama. Ini berbeda dalam penggunaan istilah bahasa Belanda di bidang hukum, yang penerjemahannya ke bahasa Indonesia memerlukan kehati-hatian dan pengetahuan tentang konteks bahasa dan budaya lokal. Di bidang jurnalistik sendiri, di Soewara Moehammadijah tahun 1920an, ditemukan istilah seperti hoofdredacteur (redaktur kepala, H. Fachrodin) dan hoofdadministratie (kepala bagian administrasi, H. Abdoel Hakim dan M. Zarkasi).

Sejumlah kata dari bahasa Belanda dipakai untuk hal-hal yang berkaitan dengan jalannya organisasi Muhammadiyah. Yang paling kentara adalah dalam kegiatan yang melibatkan banyak orang, misalnya pertemuan anggota Muhammadiyah maupun kongres Muhammadiyah, yang kini dikenal sebagai muktamar. Beberapa istilah yang sering dipakai ialah openbare vergadering (rapat umum/terbuka), voorzitter (ketua rapat/sidang), secretaris (sekretaris), lid (anggota) dan voorstel (usulan).

Selanjutnya, ada istilah-istilah yang berkaitan dengan administrasi perkantoran modern. Beberapa di antaranya ialah kantoor (kantor), directeur (direktur), administratie (administrasi), administratuuren (maksudnya administrateuren, para administrator), verslag (laporan), bord (papan tulis), telefoon (telepon), dan penningmeester (bendahara). Menggunakan istilah-istilah semacam ini oleh Muhammadiyah memperlihatkan pandangan lembaga ini bahwa kantor bukan hanya sekedar tempat bekerja, melainkan sebuah organisasi modern yang mesti dikelola secara profesional, dengan pembagian kerja yang rapi, serta fungsi-fungsi yang berbeda bagi setiap orang. Dengan demikian, pekerjaan bisa lebih produktif sekaligus mudah untuk dievaluasi.

Jurnalisme modern di Indonesia mendapat pengaruh besar dari Eropa dan khususnya Belanda. Jurnalisme Muhammadiyah awal juga tak luput dari pengaruh ini, setidaknya dari segi istilah kewartawanan (mengingat dari segi isi ataupun penampilan sudah pasti berbeda dibandingkan dengan media cetak yang dikeola orang Belanda tulen maupun Indo-Eropa). Beberapa istilah jurnalistik yang kerap muncul di tengah warga Muhammadiyah, khususnya yang berkaitan dengan jurnalisme, ialah redacteuren (para redaksi), advertentie (advertensi), reclame (iklan), cor[r]espondentie (korespondensi), notulen (notula/catatan tentang jalannya rapat) dan verslaggever (reporter).

Pemakaian sejumlah istilah yang diambil dari bahasa Belanda tak sekedar hanya meminjam kata saja, melainkan juga ilmu tentang pengelolaan administrasi secara modern yang memang diinisiasi oleh Belanda. Di sisi lain, hal ini juga menunjukkan bahwa hingga taraf tertentu di antara warga Muhammadiyah yang berpendidikan ada yang memahami bahasa Belanda, setidaknya untuk keperluan praktis dan keilmuan. Namun, untuk pembicaraan sehari-hari warga Muhammadiyah di era 1920an tidak memakai bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Yang dipakai adalah bahasa Melayu, yang kemudian dikenal sebagai bahasa Indonesia.

Muhammad Yuanda Zara, Dosen Ilmu Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta

Sumber: Majalah SM Edisi 18 Tahun 2019

Exit mobile version