Islam, Keadilan, dan Bela Negara

islam

Di Timur, Klinik Apung Said Tuhuleley Berlayar Merawat Kesehatan dan Kebhinnekaan Foto Lazismu/SM

Islam, Keadilan, dan Bela Negara

Oleh: Benni Setiawan

“Keadilan sosial berarti pemenuhan hajat hidup manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan yang sempurna. Keadilan sosial berarti pemerataan kesejahteraan secara proporsional bagi seluruh rakyat, siapapun dan dimanapun mereka berada dengan tetap memberikan penghargaan kepada yang berprestasi, kesempatan yang terbuka bagi yang mau bekerja, pemihakan kepada yang lemah, dan perlindungan bagi yang tidak berdaya. Keadilan sosial berarti keseimbangan, tidak adanya ketimpangan yang menganga, dan dominasi oleh mereka yang digdaya”.

Itu adalah kutipan dari Resolusi Ambon yang ditanda tangani oleh Ketua Umum dan Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada 29 Jumadil Awal 1438 H atau bertepatan dengan 26 Februari 2017 M. Resolusi Ambon ini merupakan bentuk keprihatinan Muhammadiyah terkait kondisi kekinian khususnya dalam bidang ekonomi. Ekonomi bangsa saat ini masih timpang. Pasalnya, kekayaan empat orang sama dengan jumlah harta 100 juta penduduk Indonesia. Artinya satu persen orang kaya di Indonesia menguasai 49 persen kekayaan nasional.

Kondisi itu tentu menimbulkan masalah. Hal ini dikarenakan, akan banyak ketimpangan dan ketidakadilan saat hal tersebut dibiarkan begitu saja. Pembiaran terhadap penguasaan kekayaan negara dalam segelintir orang itu pun tidak sesuai dengan ajaran al-Quran. Dalam konteks pemaknaan riba misalnya, al-Qur’an melarang harta hanya dikuasai oleh segelintir orang. Harta perlu dibagi kepada semua orang agar tidak menimbulkan kecemburuan. Penguasaan harta di tangan segelintir orang juga bertentangan dengan Sila Kelima Pancasila, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Oleh karena itu perlu upaya sistematis agar kebangsaan dan kenegaraan tetap utuh. Salah satu jalannya adalah dengan konsep bela negara. Bela Negara berarti sebuah niat baik untuk mempertahankan kedaulatan negara dengan mengharap ridho Allah. Bela negara bukan saja dimaknai dengan perang angkat senjata (jihad fi sabilillah), namun upaya sistematis dan terencana dalam mewujudkan keadilan sosial.

Dalam Al-Qur’an, kata al-‘adl dalam berbagai bentuknya terulang dua puluh delapan kali. Salah satu makna adil Menurut Quraish Shihab dalam Wawasan al-Quran adalah perhatian terhadap hak-hak individu dan memberikan hak itu kepada setiap pemiliknya. Inilah yang sering dikenal dalam Islam dengan istilah wad‘ al-syai’ fî mah allih (meletakkan sesuatu pada tempatnya). Keadilan dalam hal ini dapat diartikan sebagai lawan dari kezaliman, dalam arti pelanggaran terhadap hak-hak pihak lain.

Konsepsi tersebut perlu dipahami dalam konteks bela negara. Artinya, negara perlu mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Pancasila dan UUD 1945 bukan sekadar hiasan atau simbol negara. Namun, selayaknya menjadi semacam pemandu arah agar kebangsaan dan kenegaraan tetap kokoh.

Saat ini bangsa Indonesia sedang berhadapan dengan penguasaan asset di tangan segelintir orang. Dalam upaya bela negara, maka pemerintah perlu memastikan bahwa bumi, air, tanah, dan udara Indonesia adalah milik bersama. Pemerintah selayaknya memastikan bahwa semua itu dapat diakses oleh seluruh rakyat. Kemudahan akses ini akan menimbulkan sebuah tatanan masyarakat yang harmonis. Sebaliknya, penguasaan asset pada segelintir orang hanya akan menimbulkan kecurigaan. Kecurigaan akan berbuah pada sikap tidak percaya yang bisa berujung pada anarkisme.

Negara dibangun oleh fuonding fathers dan mathers bukan untuk sekelompok kecil rakyat. Negara ini bahkan didirikan oleh terikan dan pekikan Takbir oleh para pahlawan bangsa. Pekikan Takbir bukan sekadar lantunan penyemangat, namun upaya mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Pahlawan bangsa meneteskan air mata dan darah untuk menjamin tegak dan berdirinya kedaulatan bangsa dan negara.

Dengan demikian, penguasaan aset dan kekayaan negara orang segelintir orang merupakan potret “kedholiman” terhadap perjuangan para pahlawan bangsa. Perbuatan dholim akan menyeret bangsa Indonesia pada ruang gelap, di mana kita sulit membedakan antara haq dan bathil. Padahal haq dan bathil itu sama-sama jelas, tidak bisa disatukan.

Oleh karena itu, Muhammadiyah melalui Resolusi Ambon menghimbau kepada semua pihak agar dapat bertindak adil. Resolusi Ambon merupakan bentuk rasa cinta air dan bela negara ala Muhammadiyah. Muhammadiyah terpanggil untuk terus mengawal bangsa dan negara menuju pada terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Resolusi Ambon dengan demikian menjadi ruh bagi Muhammadiyah untuk tetap berada dalam rel kebangsaan mewujudkan keadilan sosial bagi semua.

Lebih lanjut, pemeliharan terhadap negara yang aman, berkeadilan dan sejahtera merupakan bagian nilai-nilai nasionalisme. Jihad dalam membela negara dapat dilakukan dengan menciptakan suatu suasana yang harmonis antar berbagai komponen bangsa. Inilah jalinan persatuan dan kesatuan yang hakiki. Selain itu pengembangan demokrasi atas dasar musyawarah dan memberikan kebebasan berpendapat merupakan kerangka jihad aplikatif kebangsaan yang tidak boleh ditinggalkan. Muara dari semua itu penciptaan pemerataan pendapatan di mana tujuan mulia bangsa adalah menciptakan keadilan sosial (social justice) (Abdul Mustaqim, 2011).

Keadilan sosial (Sila Kelima) yang meminjam istilah Buya Syafii sebagai nilai utama Pancasila perlu mewujud dalam kebangsaan. Konsepsi bela negara perlu diarahkan pada bagaimana seluruh elemen bangsa secara bersama mendorong terjadinya cita mulia bangsa itu. Saat keadilan sosial masih saja menjadi narasi teks, maka ketimpangan dan penguasaan asset oleh segelintir orang akan terus terjadi. Hal itu dapat mengarah pada laju pelapukan bangsa. Dimana bangsa dan negara ini akan kering dari nilai-nilai kebangsaan yang pada gilirannya Indonesia akan roboh.

Pada akhirnya, spirit bela negara perlu mengarah pada perwujudan cita mulia itu. Keadilan sosial adalah perintah Allah, sehingga siapa yang berusaha mewujudkannya berarti ia telah berjihadi di jalan Allah.

Benni Setiawan, Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan P-MKU Universitas Negeri Yogyakarta, Anggota Majelis Pendidikan Kader Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Sumber: Majalah SM Edisi 22 Tahun 2017

Exit mobile version