Ijtihad
Nabi Muhammad wafat dengan mewariskan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Jika Al-Qur’an merupakan wahyu dari Allah, Hadis dapat disebut penjelas wahyu. Setelah wafatnya Nabi, umat kehilangan figur rujukan untuk bertanya. Perbedaan pendapat semakin mencuat. Sementara wahyu telah berhenti, masalah-masalah hidup manusia yang kompleks terus bermunculan. Padahal, ayat-ayat dan hadis-hadis yang secara khusus berbicara tentang hukum tidak banyak jumlahnya. Abdul Wahab Khallaf mengatakan bahwa ayat tentang hukum berjumlah 228 ayat, Thantawi Jawhari mengatakan ada 150 ayat, Ibnu Arabi berpendapat 400 ayat, Imam Al-Ghazali menyebut 500 ayat.
Umat Islam diperintahkan untuk berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Hadis yang memuat norma-norma dasar bagi penetapan hukum. Dari sinilah, para ulama mencurahkan segenap kemampuan berpikir dan penalaran intelektualnya untuk menyelesaikan masalah-masalah di masyarakat yang penjelasannya belum dijabarkan dalam Al-Qur’an dan Hadis secara eksplisit atau penjelasannya memungkinkan banyak makna (zanni).
Umar bin Khattab termasuk sahabat yang banyak melakukan ijtihad, seperti usulannya untuk membukukan Al-Qur’an. Ijtihad mengalami perkembangan yang pesat pada abad ke-2 sampai ke-4 Hijriah. Di masa itu, bermunculan banyak mujtahid dan terjadi kodifikasi sunnah dan fikih, semisal: Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal.
Al-Syatibi berpendapat bahwa syarat seorang mujtahid adalah (1) memahami tujuan syara atau maqashid syariah (dharuriyat, hajiyat, tahsiniyat); (2) mampu melakukan penetapan hukum; (3) memahami bahasa Arab dan ilmu-ilmu terkait. Pada ulama lain berpandangan bahwa syarat seorang mujtahid di antaranya adalah menguasai Ulum Al-Qur’an, Ulum Al-Hadis, Bahasa Arab, Asbabul Nuzul, Nasikh Mansukh, Asbabul Wurud, Ushul Fikih, Maqashid Syari’ah, bersikap adil dan takwa.
Sebagai gerakan pembaruan, Muhammadiyah membuka lebar pintu ijtihad sebagai metode penetapan hukum. Dengan perangkat manhaj tarjih, Muhammadiyah mengembangkan tradisi intelektual baru yang dinamis dan responsif. Di antara 16 pokok manhaj tarjih dinyatakan, “Dalam memutuskan sesuatu keputusan, dilakukan dengan cara musyawarah. Dalam menetapkan masalah ijtihad, digunakan sistem ijtihad jama’iy. Dengan demikian, pendapat perorangan dari anggota majelis, tidak dapat dipandang kuat.”
Muhammadiyah tidak mengikatkan diri kepada suatu madzhab, tetapi pendapat-pendapat madzhab dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menetapkan hukum. Muhammadiyah, “Berprinsip terbuka dan toleran, dan tidak beranggapan bahwa hanya Majelis Tarjih yang paling benar. Keputusan diambil atas dasar landasan dalil-dalil yang dipandang paling kuat, yang didapat ketika keputusan diambil. Dan koreksi dari siapa pun akan diterima. Sepanjang dapat diberikan dalil-dalil lain yang lebih kuat. Dengan demikian, Majelis Tarjih dimungkinkan mengubah keputusan yang pernah ditetapkan.”
“Dalam hal-hal yang termasuk al-umur al-dunyawiyah yang tidak termasuk tugas para nabi, penggunaan akal sangat diperlukan, demi kemashlahatan umat.” Penggunaan akal rasional ini membuka ruang bagi penyelesaian berbagai masalah kekinian. Menurut Muchlas Abror dalam Suara Muhammadiyah No. 2 Tahun 2015, sejak tahun 1960-an, Majelis Tarjih mulai membahas masalah-masalah kontemporer, semisal: Keluarga Berencana, bank, bayi tabung, aborsi, perkawinan antar agama, tuntunan seni budaya Islam, pedoman hisab, fikih tata kelola (bebas korupsi), fikih air, fikih kebencanaan.
Tanfidz Keputusan Munas Tarjih XXV Lampiran I Bab III Manhaj Ijtihad Hukum, menyebut bahwa dalam memecahkan suatu permasalahan, Majelis Tarjih menggunakan metode bayani (semantik), yaitu metode yang menggunakan pendekatan kebahasaan; ta’lili (rasionalistik), yaitu metode penetapan hukum menggunakan pendekatan penalaran; dan istishlahi (filosofi), yaitu metode penetapan hukum dengan menggunakan pendekatan kemaslahatan. Pendekatan ijtihad yang digunakan adalah at-tafsir al-ijtimai’i al-mu’asir (hermeneutik), at-tarikhiyah (historis), as-susiulujiyyah (sosiologis) dan; al-antrubulujiyyah (antropologis). Teknik ijtihad yang digunakan adalah ijma’, qiyas, masalih mursalah, dan urf. Dalam perkembangannya, manhaj tarjih terus mengalami penyempurnaan. (muhammad ridha basri)
Sumber: Majalah SM Edisi 21 Tahun 2020