Penerbit Kitab Klasik Yang Prolifik

Penerbit Kitab Klasik Yang Prolifik

 Oleh Hajriyanto Y. Thohari

Ini sebuah cerita ringan alias enteng-entengan saja. Saya berkunjung ke sebuah penerbit buku (dar al-nasyr, publishing house) yang besar sekali, tapi bukan yang terbesar di Beirut. Saking besarnya mungkin kalau dibandingkan dengan penerbit buku yang paling besar di Indonesia saya kira masih lebih besar lagi. Penerbit yang sudah berusia hampir tujuh dasawarsa itu namanya Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi  (دار احياء التراث العربي), selanjutnya saya singkat DITA.

Frase dar ihya’ al-turats al-‘arabi itu sendiri artinya kurang lebih “Rumah (penerbit buku) untuk menghidupkan kembali khazanah warisan intelektualisme Arab”. Sesuai dengan namanya penerbit ini berkonsentrasi pada penerbitan karya-karya warisan intelektual Arab klasik alias al-turats dari seluruh dunia Arab. Karya-karya sarjana Arab klasik sejak ratusan dan malah seribuan tahun yang lalu diterbitkan oleh penerbit ini.

Para ahli filologi (baca: ahli naskah-naskah kuna) didorong dan difasilitasi oleh penerbit ini untuk menggarap naskah-naskah lama yang banyak di antaranya berupa manuskrip-manuskrip tulisan tangan. Para filolog tersebut mengumpulkannya, mensistematisasikannya, meng-i’dad-nya dan atau men-tahkik-nya, dan kemudian penerbit DITA mencetaknya, menerbitkannya dan memasarkannya.

Ketika berkunjung ke DITA saya diterima dengan hangat oleh pemilik dan jajaran direksi  yang nota bene masih satu keluarga, yaitu keluarga Fouladkar (Fouladkar Family). Didampingi oleh beberapa staf di antaranya adalah Haitham, saya mengelilingi bangunan besar berlantai empat seluas 5000 M2 yang terdiri dari dua lantai paling bawah sebagai tempat mesin cetak yang serba otomatis, dan dua lantai lainnya sebagai tempat pengemasan, penyimpanan, dan pengepakan. Perlu diketahui 95% produksi buku adalah untuk konsumsi ekspor.

Pak Haitham yang sudah bekerja di penerbit itu tak kurang dari 51 tahun. Tak heran jika dia hapal di luar kepala judul-judul buku, nama penulisnya, dan isinya per bab. Saya terpukau oleh daya ingatnya yang luar biasa bagaikana bibliografi berjalan (living bibliography)

itu. Dia hafal semua kitab Ibnu Arabi: isinya, babnya, nama pentahkiknya, berapa jilid, dan (jangan ketawa..!) di lantai berapa serta tumpukan mana posisi sebuah buku itu berada.

Padahal di empat lantai yang ribuan meter persegi itu terhampar kitab-kitab sejauh mata memandang! Saya memerlukan waktu berjam-jam hanya sekedar berjalan di tengah-tengah hamparan kitab itu. Saya tidak bisa membayangkan berapa hari saya harus menyisihkan waktu untuk sekadar mengenali satu satu per satu buku yang ada di sana! Perlu berapa minggu untuk membaca daftar isinya? Apatah lagi kalau membaca daftar isinya dan pendahuluan masing-masing buku!

Beberapa hari setelah kunjungan saya ke DITA itu, Mr. Mohammad Fouladkar salah seorang direksi yang waktu saya berkunjung ke sana itu sedang berada di luar negeri, ganti berkunjung menemui saya ke KBRI di Beirut bersama anaknya yang master bidang bisnis. Kami melanjutkan mengobrol dengan santai dan akrab tentang sejarah pendirian DITA sekalian saya ingin menyelami apa kira-kira idealisme dan ideologi dari penerbitan buku-buku turats yang agak langka ini.

Saya menyebutnya langka oleh karena penerbit buku seperti ini –di mana pun dan kapan pun–  memang langka. Sebuah penerbit buku yang fokus dan berkonsentrasi pada penerbitan kitab-kitab lama, kuno dan klasik, biasanya langka. Penerbit buku biasanya hanya ingin menerbitkan buku-buku yang memiliki prospek pemasaran bagus lebih demi keuntungan bisnis belaka. Syukur bage yang larisnya seperti pisang goreng!

Saya mempunyai firasat bahwa bapak pendiri penerbitan buku semacam ini adalah simpatisan Gerakan Al-Nahda atau tepatnya dan lengkapnya Al-Nahdhah Al-‘Arabiyah (gerakan kebangkitan Arab) yang mulai marak pada awal abad 20. Atau jangan-jangan malah merupakan bagian, langsung atau tidak langsung, dari proyek kebangkitan Arab tersebut. Setidaknya, sependek pengamatan saya, pendiri DITA adalah pendukung protagonis proyek kebangkitan dan modernisasi Arab.

Penerbit ini benar-benar memiliki idealisme tinggi, bukan semata-mata bisnis. Jika bisnis belaka rasanya orang akan berpikir dua kali menekuni penerbitan buku-buku warisan lama ini. Kehebatannya adalah penerbit ini bisa menadukan idealisme yang sangat mengesankan tersebut dengan bisnis moderen. Kenyataannya usaha mereka itu tetap bertahan dan berjalan dengan baik sampai sekarang.

Ini berarti usaha tersebut menguntungkan: buktinya mampu bertahan setelah puluhan tahun, bahkan sampai sekarang. Penerbit buku-buku kuno ini bukan hanya tetap eksis dan bertahan (survive), melainkan berkembang baik. Sebuah penerbit buku klasik yang prolific! Managemen perusahaan juga mampu menatap masa depan dengan penuh keyakinan bahwa bidang ini memiliki prospek yang cukup menjanjikan.

Memang, untuk bangkit kembali menuju kejayaan, suatu bangsa memang kadang perlu menengok ke warisan lama yang sudah menjadi masa lalu. Tradisi masa lalu itu penting, apalagi tradisi intelektual. Asalkan tradisi intelektual itu disikapi dan dipelajari secara kritis. Jangan pernah membuang tradisi intelektual, tapi jangan juga membebek saja. Belajar pada masa lalu secara kritis untuk bekal menghadapi masa depan.

 

Exit mobile version