Amherst-Massachusetts. Selain penilaian positif tentang Nabi Muhammad oleh Michael Hannahan, sesungguhnya tidak terlalu sulit untuk menemukan pernyataan-pernyataan positif tentang Nabi Muhammad dari para sarjana Barat. Tetapi, sangat mungkin, pernyataan-pernyataan itu jarang sampai kepada umat Islam di Indonesia. Pernyataan-pernyataan tersebut antara lain juga mengisyaratkan tentang akhlak seorang pemimpin yang harus mau menanggung rasa sakit. Haji Agus Salim sering mengutip pepatah kuno Belanda, leiden is leijden, memimpin itu menderita.
Teladan kepemimpinan politik ini juga bisa direkam melalui kesimpulan yang ditulis oleh William Montgamerry Watt yang menyebut Muhammad sebagai pemimpin dengan integritas. “His readiness to undergo persecutions for his beliefs, the high moral character of the men who 74 believed in him and looked up to him as leader, and the greatness of his ultimate achievement –all argue his fundamental integrity. To suppose Muhammad an impostor raises more problems than it solves. Moreover, none of the great figures of history is so poorly appreciated in the West as Muhammad.” (W. Montgomerry Watt, Muhammad at Mecca, Oxford University Press, 1958, 52.).
Pandangan positif tentang Nabi Muhammad juga bisa dilihat melalui pernyataan George Bernard Shaw (1936) yang mempercayai Nabi Muhammad adalah orang yang mampu mendatangkan solusi masalah-masalah manusia modern, seandainya, dia saat ini masih ada dan memegang tampuk kepemimpinan manusia modern. Bukan hanya sekadar solusi, melainkan solusi yang benar-benar dibutuhkan dan membawa kebahagiaan bagi semua orang. Bahkan, Bernard juga mengusulkan agar Nabi Muhammad diberikan julukan sebagai “the Savior of Humanity” atau Penyelamat Kemanusiaan.
“I have prophesied about the faith of Mohammad that it would be acceptable the Europe of tomorrow as it is beginning to be acceptable to the Europe of today,” kata Bernard. Publik Islam di Indonesia, sangat akrab dengan pernyataan Bernard Shaw, “Jika ada agama yang bisa menaklukkan Eropa pada masa 100 tahun mendatang, maka tidak lain, agama itu adalah Islam.”
Pengakuan positif tentang Nabi Muhammad bahkan juga terlihat di Gedung Mahkamah Agung Amerika Serikat atau U.S. Supreme Court Building. Dalam gedung itu, terdapat salah satu ruangan yang didedikasikan bagi para peletak hukum dari zaman ke zaman. Di dinding sebelah selatan, terdapat patung para peletak dasar dan penegak hukum pada zaman kuno seperti Hammurabi, Musa, Sulaiman, dan Confucius. Sementara di dinding sebelah utara adalah patung atau lukisan pahat tokoh-tokoh hukum Abad Pertengahan.
Pada jajaran pahatan itulah terdapat gambaran Nabi Muhammad. Digambarkan di situ, Nabi Muhammad memegang Qur’an dengan tangan kanan, dan pedang di sebelah kiri. Patung atau lukisan pahatan tokoh-tokoh hukum dunia dari masa terdahulu itu dibuat dan didirikan pada zaman Presiden Franklin D. Roosevelt, tahun 1935. Tentu saja, karena dalam Islam terdapat pemahaman bahwa menggambarkan bentuk fisik Nabi Muhammad tidak diperbolehkan, sehingga pada tahun 1997 Council on American-Islam Relations, meminta agar penggambaran Nabi Muhammad dalam patung di Gedung Mahkamah Agung Amerika Serikat itu dibatalkan.
Tetapi, Jaksa Agung Amerika pada saat itu, Hakim William Rehnquist menolak permintaan, dengan alasan bahwa penggambaran itu hanya sebagai representasi pengakuan dan penghargaan yang tinggi dari Mahkamah Agung Amerika Serikat kepada Muhammad sebagai salah satu pencipta dan penegak hukum dunia dalam sejarah kemanusiaan. William menyebut, ini sama sekali tidak dimaksudkan sebagai salah satu bentuk penyembahan pada berhala. Setelah peristiwa itu, ditambahkan catatan tentang patung Nabi Muhammad itu, yang berbunyi:
Muhammad (c. 570 – 632) The Prophet of Islam. He is depicted holding the Qur’an. The Qur’an provides the primary source of Islamic Law. Prophet Muhammad’s teachings explain and implement Qur’anic principles. The figure above is a well-intentioned attempt by the sculptor, Adolph Weinman, to honor Muhammad, and it bears no resemblance to Muhammad. Muslims generally have a strong aversion to sculptured or pictured representations of their Prophet.
Sebuah pencapaian sepanjang itu dimaksudkan sebagai pengabdian kepada kemanusiaan, adalah bagian dari nilai universal. Maka nilai itu akan abadi sepanjang sejarah kemanusiaan berlangsung. Barangkali ada sementara umat Islam yang marah, sedih dan pesimis dengan sikap-sikap dan reaksi-reaksi negatif yang sering ditunjukkan oleh sebagian kecil kalangan masyarakat Barat tentang Nabi Muhammad. Tetapi, satu hal yang mesti diyakini adalah, sikap-sikap itu lahir dari ketidaktahuan. Buktinya, mereka yang dengan sungguh-sungguh dan tanpa prasangka telah mengkaji Islam dan kehidupan pribadi Nabi Muhammad, justru menemukan mutiara-mutiara yang nyatanya tak bisa dilihat oleh “mata” biasa. Mutiara kehidupan Nabi Muhammad hanya bisa dilihat melalui “mata” hikmah.
Selain itu, sesungguhnya ada sesuatu yang sangat fundamental ketika mendengar pernyataan-pernyataan positif tentang Nabi Muhammad dari kalangan non-Muslim ini. Hal tersebut adalah hendaknya kebanggan umat Islam atas berbagai hal positif pada Nabi Muhammad itu tidak berhenti sebagai kebanggaan. Nabi Muhammad mengajarkan kesantunan. Itu pula salah satu faktor penting yang membuat para pengkaji Islam terpesona. Maka kebanggaan kaum Muslimin kepada Nabi Muhammad, hendaknya juga bermakna menghidupkan nilai kesantunan dalam kehidupan nyata. Jika kekaguman sarjana-sarjana Barat pada Nabi Muhammad itu adalah karena kecerdasannya dalam berpolitik, itu justru merupakan sebuah peringatan kepada umat Islam untuk melakukan tindakan-tindakan politik yang cerdas, politik tanpa kegaduhan, sehingga bisa menangkap ikan tanpa harus membuat air menjadi keruh.
Dalam pemahaman saya, itulah makna ber-sunnah yang lebih penting, memaknai sunnah secara lebih substansial. Ini tak berarti bahwa memaknai sunnah-sunnah Nabi yang bersifat fisik dan kasat mata tidak boleh; tetapi sunnah Nabi itu akan lebih bermakna manakala teladan-teladan kemanusiaan Nabi Muhammad dihadirkan dalam kehidupan masyarakat modern sekarang ini. Inilah yang lebih penting ketimbang sekadar memperdebatkan apakah jenggot dan gamis itu sunnah apa bukan. (Pradana Boy ZTF)
Sumber: Majalah SM Edisi 23 Tahun 2017