Khawarij

Khawarij

Khawarij

Di satu sisi, ada kalangan ekstrem yang mengaku membenci agama dan menginginkan hidup tanpa aturan wahyu yang dianggap membelenggu dan sudah tidak relevan dengan zaman yang semakin maju. Di sisi lain, ada kalangan ekstrem yang mengaku taat menjalankan hukum Tuhan secara totalitas dan menginginkan semua orang melaksanakan agama sebagaimana yang dia pahami. Dengan mengatasnamakan wahyu, ia kadang bertindak di luar kewenangannya. Kedua sikap ini bertentangan dengan ciri umat Islam sebagai umat pertengahan atau ummatan wasathan (Al-Baqarah: 143). Umat pertengahan mengedepankan sikap moderasi, adil dalam pikiran dan perbuatan, tidak berlebih-lebihan, senantiasa berdialog dengan semua kalangan, serta menjadi wasit dan teladan.

Sikap beragama secara ekstrem telah dimulai pada zaman Nabi. Sepulang dari fathu Makkah, Nabi dan pasukannya menghadapi pertempuran dengan kabilah Hawazin di lembah Hunain. Tidak hanya memenangkan perang, Nabi dan pasukan juga mendapatkan ghanimah atau harta rampasan perang yang cukup banyak.

Abu Said meriwayatkan, “Ketika kami sedang bersama Rasulullah saw yang membagi-bagikan ghanimah, datang Abdullah ibn Dzil Khuwaishirah at-Tamimi dan berkata: ‘Wahai Rasulullah, berlakulah adil.’ Rasulullah menjawab: ‘Celaka! Siapa bisa berbuat adil kalau saya saja (dianggap) tidak adil.’ Kemudian ‘Umar ibn Khattab berkata: ‘Wahai Rasulullah, biarkan saya penggal lehernya!’ Nabi menjawab: ‘Biarkan dia. Kelak dia akan punya banyak pengikut yang salat kalian tidak ada apa-apanya dibandingkan salat mereka, puasa kalian tidak ada apa-apanya dibanding puasa mereka. Mereka keluar dari agama seperti melesatnya anak panah dari busurnya,” (HR Bukhari dan Muslim). Sirah Nabawiyah Ibn Hisyam menyatakan, “Kelak dari jenis laki-laki ini lahir sekelompok orang yang berlebih-lebihan dalam agama sehingga keluar dari agama.”

Sesuai dengan ‘ramalan’ Nabi, di kemudian hari muncul golongan sebagaimana Abdullah ibn Dzil Khuwaishirah (Hurqush ibn Zuhair as-Sa’dy) yang digambarkan sebagai sosok yang taat secara ritual dan memegang slogan kedaulatan hukum di tangan Tuhan. Kelompok ini memberontak kepada Khalifah Ali bin Abi Thalib menuju lembah Harura, karena menganggap Ali telah mencampakkan Al-Qur’an dan menerima tahkim atau perundingan. Mereka menyatakan: la hukma illa lillah (tidak ada hukum kecuali hukum Allah), dengan mengutip Al-Maidah: 44. Ali menjawab: “Itu kalimat yang benar, tetapi diarahkan untuk kebatilan.”

Khawarij mengkafirkan kubu Ali bin Abi Thalib dan kubu Mu’awiyah bin Abu Sufyan, karena kedua pihak menempuh tahkim atau arbitrase untuk mengakhiri Perang Shiffin. Menurut Khawarij, tahkim sama dengan berhukum dengan aturan buatan manusia dan tidak berhukum dengan hukum Allah. Tindakan tidak berhukum dengan hukum Allah, bagi Khawarij, merupakan tindakan kufur dan pelakunya layak dibunuh. Dari sini, Abdurrahman bin Muljam (yang dikenal ahli ibadah dan penghafal Qur’an) membunuh Khalifah Ali. Mereka juga berencana membunuh Mu’awiyah dan Amru bin Ash, namun gagal.

Khalifah Ali pernah mengumpulkan orang sembari membawa salinan Qur’an. Ali menyentuh mushaf dan berkata, “Bicaralah kepada kita!” Tentu tidak ada jawaban. Ali lantas berkata: “Wa hadza al-Qur’an innama huwa khatthun masthur baina daffatain, la yanthiqu. Innama yatakallamu bihi al-rijal” (Al-Qur’an  adalah teks tertulis yang diapit dua sampul. Al-Qur’an tidak dapat berbicara. Manusialah yang berbicara melaluinya).

Dalam Islam, sumber untuk mengetahui Kehendak Tuhan yang tertinggi adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Semua kita berusaha memahami makna yang tersembunyi di dalam teks wahyu yang menggunakan perantara bahasa. Pemaknaannya tidak bersifat tunggal dan tidak pernah final. Diperlukan kerendahhatian dan pengendalian diri supaya tidak berlaku sewenang-wenang dengan mengatasnamakan Firman Allah ataupun Sabda Nabi untuk membenarkan kehendak kita. (muhammad ridha basri)

Sumber: Majalah SM Edisi 23 Tahun 2020

Exit mobile version