Pemimpin Memikul Tanggungjawab Besar

Pemimpin Memikul Tanggungjawab Besar

Oleh Prof Dr Haedar Nashir, MSi

Pemimpin itu ibarat jantung dan kepala dari tubuh manusia. Dia menjadi penggerak segala urusan yang dipimpinnya. Jika berhenti saja tidak berdetak, maka urusan orang banyak akan berhenti pula. Pepatah mengatakan, ikan busuk dimulai dari kepala, artinya baik dan buruk urusan umat dan bangsa tergantung pada para pemimpinnya. Sungguh penting dan strategis posisi serta peran para pemimpin di manapun mereka berada.

Nabi Muhammad dan para Nabi sebelumnya merupakan figur-figur pemimpin umat manusia yang menjadi uswah hasanah dan menebar rahmat bagi semesta. Umar bin Khattab, Umar bin Abdul Azis, Iskandar Dzulqarnain, Mahatma Ghandhi, Nelson Mandela, dan para pemimpin dunia lainnya telah menggoreskan tinta emas yang mencerahkan dunia. Rakyat, negara, dan umat manusia menjadi aman, damai, adil, makmur, bermartabat, dan berdaulat karena kemuliaan para pemimpinnya.

Sebaliknya karena ulah tangan pemimpin ugal-ugapan seperti Fira’un, Hitler, Mussolini, Pol Pot, serta sederet para diktator dan pemimpin tiran yang ultra-keras dan psikopat, maka kehidupan manusia dan lingkungannya porak poranda dan mengalami kehancuran. Kehidupan menjadi anarki dan kacau karena jiwa, pikiran, dan tindakan wewenang-wenang dari para pemimpinnya yang haus kuasa, rakus, dan  berbuat sekehendaknya.

Pemimpin Beramanah

Muhammad Rasulullah adalah uswah hasanah, baginda adalah  pemimpin sejati  sebagai uswah hasanah (QS Al-Ahzab: 21), berakhlak agung (QS Al-Qalam: 4), dan menebar rahmat bagi semesta alam (QS Al-Anbiya: 107).  Kesaksian Aisyah membuktikan Nabi sebagai Al-Quran yang hidup, yang keteladanannya terus berjalan dalam segala zaman dan keadaan. Akhlak Nabi sungguh mulia, kata sejalan tindakan, dan memancarkan pencerahan bagi semesta. Inilah sang pemimpin segala umat dan zaman nan sejati. Menurut Mohammad Iqbal Nabi tidur di alas tikar bersahaja,  tetapi pengaruhnya mengguncang tahta Kisra.

Para pemimpin muslim sebagai penerus dan pengikut Nabi tentu niscaya meneladani kepemimpinan Nabi. Para pemimpin umat dan bangsa bukan hanya jiwa dan pikirannya yang menjadi teladan terbaik, bahkan ujaran atau lisan dan tindakannya pun niscaya memancarkan keteladanan utama. Dari lisannya lahir ujaran damai, halus kata, menenteramkan, dan memancarkan pencerahan bagi umat dan sesama. Pemimpin muslim mesti menampilkan teladan antara kata dan perbuatan, bukan sebaliknya indah di ujaran dan retorika tetapi miskin keteladanan.

Para pemimpin umat dan bangsa juga bertindak yang jujur, amanat, tablig,  dan fathanah sebagaimana akhlak utama Muhammad sang teladan. Dari perbuatan para pemimpin umat dan bangsa dibuat bajik lahir dan batin, aman sentausa, makmur dan segala martabat kemuliaan hidup. Lebih-lebih dalam masyarakat partrimonial yng menempatkan figur pemimpin segala-galanya, maka hadirkan perangai para pemimpin nan mencerahkan.

Para pemimpin tidak memperbodoh dan membiarkan umat serta bangsanya terus bodoh dengan cara memimpin menara gading yang bersinggasana di atas takhta tinggi tanpa menginjak bumi. Tidak pula bak burung Merak yang mengepak-ngepakkan sayap dan bulunya yang indah hanya untuk meninabobokan dan bangsanya dalam segala mimpi millenari yang membuat umat dan bangsa terbuai tak kenal henti oleh keagungan semu para pemimpinnya.

Para pemimpin ketika hadir di tengah-tengah umat dan bangsa niscaya tulus dan terpercaya, tidak semu bermain citra dan umbar janji palsu.  Para pemimpin pun tak patut ugal-ugalan dalam ujaran dan tindakan. Segala yang dilakukan para pemimpin akan memantul pada umat dan bangsa yang dipimpinnya. Ketika umat dan rakyat garang, keras, dan pemarah maka boleh jadi pantulan dari gesture dan tampilan para pemimpinnya.

Para pemimpin apapun niscaya menunaikan amanat kepemimpinannya. Amanat itu bukan sekadar transmisi suara politik rakyat sebabai mandat kuasa semata. Artinya mandat rakyat yang mengantarkan dirinya menjabat sebagai pemimpin negeri dan wakil rakyat itu harus menjadi amanat yang wajib ditunaikan dengan komitmen tinggi, sehingga mandat kuasa itu benar-benar dikonversi menjadi kewajiban dan tanggungjawab poliik selaku pemimpin seluruh rakyat. Jangan mengkonversi suara politik dengan mengabdi kepada pihak selain rakyat apakah mereka cukong, bohir, dan siapapun sebagai pembayaran hutang-politik.

Dalam persepektif Islam, mandat atau amanat kekuasaan itu bukan hanya urusan dengan sesama manusia, tetapi juga dengan Allah Yang Maha Kuasa. Menjadi 0emimpin harus amanah dan adil yang harus dipertanggujawabkan kepada Allah (QS An-Nisa: 58). Nabi bahkan memmberi peringatan keras, siapa yang diberi amanat mengurus urusan rakyat sedangkan ia menyia-nyiakan dan mengkhianatinya, maka bagi mereka terlahang jalan ke surga. Pemimpin bahkan harus menjadi suri teladan 6ang baik mengikuti uswah hasnah Nabi   (QS. Al-Ahzaab: 21). Maka, betapa penting dan berat menjadi pemimpin umat maupun bangsa.

Memajukan Kehidupan

Menjadi pemimpin Indonsia sangatlah berat, sehingga siapapun yang diberi mandat wajib menunaikannya secara bertanggungjawab. Amanat konstitusi untuk menjadikan Indonesia sebagai bangsa dan negara yang benar-benar merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Pemerintah yang dipilih sebagai pemimpin eksekutif maupun mereka yang di legislatif dan yudikatif memiliki kewajiban konstitusional yang berat untuk melindungi bangsa dan tumpah darah Indonsia, memajukan kesejahteraan umum, mencrdaskan kehidupan bangsa, dan menciptakan perdamaian dunia.

Para pemegang mandat rakyat itu juga harus menjaga dan memakmurkan alam Indonesia yang sangat kaya. Potensi anak-anak bangsa bangsa pun luar biasa, bahkan banyak yang berkarya inovatif dan berperestasi mengharumkan Indoneia di mancanegara. Di sinilah Indonesia memerlukan para pemimpin dari pusat sampai daerah yang transformasional, mampu menggerakkan potensi dan perubahan ke arah kemajuan. Diperlukan para elite negeri yang berkemajuan di mana jiwa, pikiran, dan tindakannya sepenuhnya memperjuangkan bangsa dan negara.

Ketika kontestasi politik 2019 usai maka di depan mata justru terletak tanggungjawab yang sangat berat. Mereka yang menang justru memiliki beban untuk menunaikan amanatnya, sementara yang kalah akan diuji kenegarawanannya, apakah semuanya mementingkan negara dan bangsa? Mestinya para elite negeri miris dengan amanat berat, mereka mesti betul-betul menghayati mandat atau amanat sebagai sesuatu yang harus ditunaikan dengan komitmen tinggi dan tindakan nyata.

Karenanya jangan menjadikan para pemimpin dan calon pemimpin Indonesia itu sebagai ratu adil yang gagah perkasa dan akan menyelesaikan segalanya, karena demikian berat amanat dan beban yang harus ditunaikan di dunia nyata. Sejarah Indonesia pasca kemerdekaan telah diberi para pemimpin yang hebat atau digdaya secara personal. Di balik kursi yang diperebutkan itu justru terletak amanat yang wajib ditunaikan, yang jika salah nenanggungnya dapat menjerat leher sendiri sebagai fitnah dan masalah.

Para pemimpin Indonesia itu juga akan sukses atau gagal tergantung sistem, sikap rakyat, lingkungan, dan situasi yang membentuk atau mempengaruhinya. Para pemimpin siapapun bahkan manakala diberi kekuasaan yang berlebihan justru akan jatuh pada hukum penyimpangan, kesewenang-wenangan, dan penyalahgunaan. Dengan demikian jangan berikan mandat dan harapan berlebihan kepada para pemimpin di negeri ini agar mereka tidak menjelma menjadi ratu adil, lebih-lebih ratu adil yang semu!

Pemimpin pemerintah Indonesia tak kalah penting ialah komitmen dan visi kenegaraan untuk menempatkan kepentingan  bangsa dan negars di atas kepentingan diri, kroni, apalagi dinasti. Para pemimpin negeri juga niscaya mendidik rakyatnya agar makin cerdas, maju, dan berakhlak mulia. Bung Hatta pernah berpesan penuh hikmah, “Rakyat hampir selalu lapar bukan karena panen buruk atau alam miskin, melainkan karena rakyat tidak berdaya.”. Maka,  tidak perlu membangun heorisme kepemimpinan digdaya minus fungsi nyata, kemaslahatan, dan uswah hasanah bagi kemajuan dan masa depan Indonesia.

Karenanya untuk apa berebut tahta kuasa dengan hasrat berlebih, ekstrem, dan melampaui kewajaran sebab di balik mandat rakyat yang dikejar itu terletak beban amanat yang sangat berat dan wajib ditunaikan dengan sekuat jiwa-raga, pikiran, dan tindakan nyata. Apakah para elite di negeri ini mapun para pendukungnya menghayati betul makna amanat dan mandat rakyat yang sebenarnya sangatlah berat? Semua harus memahami beratnya tanggungjawab untuk menjadikan negeri tercinta ini bertumbuh menjadi makin berkemajuan sebagaimana cita-cita para pejuang dan pendiri Indonesia.  Maka, jangan buai para pemimpin bangsa di negeri ini menjelma sebagai pemimpin kultus dan ratu adil, yang bersinggasana di atas tahta fatamorgana!

Sumber: Majalah SM Edisi 8 Tahun 2019

Exit mobile version