Kaum Muda dan Dinamika Muhammadiyah; Catatan Kongres 1937
Oleh: Mu’arif
Pada masa kepemimpinan KH. Ahmad Dahlan (1912-1922), faktor kharisma sang tokoh masih sangat kuat mempengaruhi keputusan Algemene Vergadering (Rapat Umum Terbuka) atau Jaarvergadering (Rapat Tahunan) begitu pula pada masa kepemimpinan KH. Ibrahim (1923-1933). Memasuki masa kepemimpinan H. Hisyam (1934), faktor kharisma tidak lagi berpengaruh dalam proses regenerasi kepemimpinan seiring dengan menguatnya sistem dan organisasi di Muhammadiyah.
Sebenarnya, pada masa kepemimpinan KH. Ahmad Dahlan dan KH. Ibrahim peran kaum muda sudah cukup strategis. Hanya saja, faktor kharisma kedua tokoh ini masih sangat kuat sehingga kiprah kaum muda belum begitu tampak. Keterlibatan kaum muda dalam jajaran HB Muhammadiyah terhitung sejak 1916 ketika tokoh-tokoh muda seperti R. Ng. Kartopringgo, R.Ng. Djojosoegito, Moh. Hoesni, R.Ng. Sosrosoegondo, dan lain-lain bergabung dalam jajaran HB Muhammadiyah (Djarnawi Hadikusuma, Matahari-matahari Muhammadiyah, t.t., h. 18).
Sampai memasuki kepemimpinan KH. Ibrahim, peran kader-kader muda yang direpresentasikan oleh tokoh-tokoh seperti Syujak, Fachrodin, Hisyam, Mochtar, Hadjid, Washool Dja’far, R. Doeri, dan lain-lain sangat signifikan. Sebab, peran-peran kepemimpinan HB Muhammadiyah justru lebih banyak diisi oleh kaum muda. Sampai memasuki periode kepemimpinan pasca KH. Ibrahim, dinamika kepemimpinan di tubuh HB Muhammadiyah mulai berubah. Kongres Akbar XXIII pada tahun 1934 di Yogyakarta berhasil memilih 9 formatur: MJ. Anies, H. Hisyam, H. Mochtar, H. Hadjid, H. Syujak, H. Faried Ma’ruf, H. Hadjam, H. Siradj Dahlan, dan H.M. Amjad. Dari 9 formatur inilah dipilih dan ditetapkan H. Hisyam sebagai President HB Muhammadiyah (lihat Boeah Congres XXIII, h. 7).
Pada masa-masa awal kepemimpinan H. Hisyam, struktur HB Muhammadiyah diisi oleh kader-kader inti hasil didikan KH. Ahmad Dahlan sehingga tidak tampak senioritas di antara mereka. Kepemimpinan tampak solid lewat penguatan institusi dan sistem di internal Muhammadiyah. Tetapi memasuki akhir masa kepemimpinan H. Hisyam mulai muncul tanda-tanda organisasi yang kurang sehat karena gejala senioritas mulai tumbuh. Otoritas kepemimpinan menumpuk pada tiga tokoh: H. Hisyam, H. Syujak, dan H. Mochtar. Meminjam istilah Djarnawi Hadikusuma, mereka dikenal dengan julukan “trio kaum tua.” Hal ini kemudian direspon oleh kaum muda yang dipelopori oleh antara lain Ahmad Badawi, Hasyim, M. Basiran, Abdul Hamid BKN, dan Farid Ma’ruf.
Dinamika Kongres 1937
Beberapa bulan sebelum pelaksanaan Kongres Muhammadiyah XXVI (1937) di Yogyakarta, kritik dari kaum muda semula diabaikan mulai semakin menajam. Di mata kaum muda, HB Muhammadiyah dinilai terlalu fokus mengembangkan program-program pendidikan, tetapi lemah menjalankan program dakwah. Pertumbuhan sekolah Muhammadiyah pada masa kepemimpinan H. Hisyam sangat pesat dan banyak mendapat subsidi dari pemerintah kolonial. Sebagai bentuk apresiasi pemerintah kolonial atas usaha Muhammadiyah memajukan pendidikan, sang president bersama tokoh-tokoh bumiputra lainnya mendapat anugrah bintang Ridder Orde van Oranje Nassau dari Kerajaan Belanda.
Ki Bagus melihat gelagat dan sepak terjang kaum muda yang terlalu tajam mengritik kaum tua dinilai kurang sehat dalam konteks budaya organisasi. Ia segera berdiskusi dengan Hadjid untuk menemukan jalan keluar. Menurutnya, sangat penting mendengar aspirasi kaum muda yang terus menerus mengritik HB Muhammadiyah yang direpresentasikan oleh trio kaum tua. Ki Bagus dan Hadjid inilah yang kemudian menyampaikan aspirasi dan sekaligus meyakinkan kaum tua agar mendengar aspirasi kaum muda.
Menjelang bulan Oktober 1937, para utusan kongres dari berbagai daerah telah datang ke Yogyakarta. Ki Bagus dan Hadjid menemui beberapa tokoh yang telah lebih dahulu hadir di Yogyakarta, seperti AR. Sutan Mansur (Konsul Muhammadiyah Minangkabau), Tjitrosoewarno (Konsul Muhammadiyah Pekalongan), KH. Mas Mansur (Konsul Muhammadiyah Surabaya), dan Moeljadi Djojomartono (Konsul Muhammadiyah Surakarta).
Kepada mereka disampaikan aspirasi kaum muda yang menghendaki peremajaan pimpinan di HB Muhammadiyah. Dengan integritas dan kepiawaian kedua tokoh Kauman tersebut dalam menyampaikan aspirasi kaum muda, maka keempat Konsul Muhammadiyah tersebut menyatakan sependapat sehingga perlu segera digelar forum pertemuan yang dapat memoderasi aspirasi tersebut. Maka forum permusyawaratan angkatan muda digelar beberapa hari sebelum pelaksanaan kongres dengan menghadirkan unsur-unsur kaum muda dan kaum tua sekaligus. Keempat Konsul Muhammadiyah bersama Ki Bagus dan Hadjid turut hadir memoderasi aspirasi peremajaan pimpinan di Muhammadiyah.
Pada mulanya, forum tampak kaku—karena faktor senioritas membuat sungkan para undangan dari kaum muda—tetapi setelah Ki Bagus dan Hadjid menjelaskan maksud dan tujuan forum tersebut, ketiga tokoh senior (H. Hisyam, H. Syujak, dan H. Mochtar) dapat menerima dengan tulus dan ikhlas. Bahkan, pernyataan tulus dari H. Hisyam sempat menciptakan suasana haru di kalangan kaum muda. “…bekerja dalam Muhammadiyah bukan untuk kedudukan, bukan untuk jabatan, dan bukan sumber penghasilan, melainkan amal dan jihad demi Allah semata-mata. Jika Muhammadiyah tidak memakai kami sebagai Pengurus Besar, maka kami bersedia ditempatkan di manapun dalam gerakan Muhammadiyah,” demikian pernyataan H. Hisyam sebagaimana direkam oleh Djarnawi Hadikusuma.
Sekalipun forum moderasi kaum muda dengan kaum tua telah berhasil, tetapi masalah tidak lantas selesai. Sebab, Muhammadiyah sudah memiliki mekanisme peralihan pimpinan yang harus disahkan lewat forum permusyawaratan tertinggi yang disebut kongres (sekarang muktamar). Sistem dan mekanisme pemilihan waktu itu akan kembali menempatkan nama H. Hisyam, H. Syujak, dan H. Mochtar sebagai tokoh yang mendapakan suara mayoritas. Untuk itu diselenggarakan pembentukan presidium dan menentukan calon president HB Muhammadiyah.
Di sinilah proses yang cukup alot terjadi. Semua perwakilan dari kalangan kaum muda tidak ada yang bersedia menjadi president. Begitu juga Ki Bagus dan Hadjid yang dinilai telah berhasil menjembatani kaum tua dan kaum muda tidak berkenan ditunjuk sebagai president. Lalu Ahmad Badawi, Abdul Hamid BKN, dan Hasyim menemui KH. Mas Mansur meyakinkan Konsul Muhammadiyah Surabaya ini agar bersedia ditunjuk sebagai president.
Awalnya, Mas Mansur sempat menolak, tetapi atas kegigihan ketiga tokoh muda Kauman tersebut, Mas Mansur—bersedia menjadi president dengan syarat: Ki Bagus Hadikusuma harus menjadi wakil ketua (vice president). Setelah melewati proses dialog yang cukup alot, Ki Bagus tetap tidak bersedia, tetapi ia berhasil meyakinkan KH. Mas Mansur agar Ahmad Badawi menempati posisi tersebut. Maka terbentuklah ‘Pengurus Besar Bayangan’ yang akan diperjuangkan di Forum Permusyawaratan Konsul-konsul Muhammadiyah (Sidang Tanwir) jelang kongres. Mereka adalah: KH. Mas Mansur, Ahmad Badawi, Farid Ma’ruf, Abdullah, Basiran Noto, Abdul Hamid BKN, Hasyim, Muhadi, dan R. Doeri.
Dalam sidang Tanwir tersebut, banyak aspek dalam organisasi Muhammadiyah yang ditinjau kembali, tidak hanya fokus pada regenerasi kepemimpinan semata. Sidang Tanwir itu sendiri berjalan dengan lancar sekalipun banyak agenda besar perubahan dalam organisasi. Dalam catatan Djarnawi Hadikusuma, kelancaran Sidang Tanwir dan kongres 1937, menjadi pertanda bahwa organisasi Muhammadiyah telah mapan sehingga agenda-agenda kecil seperti regenerasi kepemimpinan tidak membuat gejolak di internal.
Mu’arif, Pengkaji sejarah Muhammadiyah-‘Aisyiyah, mahasiswa program doktoral UIN Sunan Kalijaga
Sumber: Majalah SM Edisi 20 Tahun 2019