Tuntunan Idul Adha dan Kurban pada Masa Darurat Pandemi Covid-19
Lampiran Edaran Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Nomor : 05/EDR/I.0/E/2021
Tanggal : 21 Zulkaidah 1442 H/2 Juli 2021 M
TUNTUNAN SALAT IDULADHA DAN KURBAN
PADA MASA DARURAT PANDEMI COVID-19
Situasi terkini pandemi Covid-19 di Indonesia, berdasarkan data Pemerintah melalui website covid19.go.id, terjadi peningkatan penambahan kasus per hari yang sangat tinggi sejak bulan Maret 2020. Pada tanggal 1 Juli 2021 mencapai 24.836 kasus Covid-19 dalam sehari yang tersebar pada 33 provinsi, sehingga total pasien yang terjangkit virus corona di Indonesia kini mencapai 2.203.108 orang terhitung sejak kasus pertama diumumkan pada 2 Maret tahun lalu. Tercatat, ada lima provinsi dengan penambahan kasus baru Covid-19 tertinggi. Kelima provinsi itu yakni DKI Jakarta (7.541 kasus baru), Jawa Barat (6.179 kasus baru), Jawa Tengah (2.624 kasus baru), Jawa Timur (1.397 kasus baru), dan DIY (895 kasus baru). Angka positif rate juga mengalami peningkatan tajam menjadi >25% di Indonesia (sumber: vaksin.kemkes.go.id).
Peningkatan jumlah kasus secara tajam mengakibatkan risiko kolapsnya fasilitas layanan kesehatan (fasyankes) di Indonesia karena kurangnya ruang perawatan pasien Covid-19, kurangnya jumlah tenaga kesehatan dan kurangnya suplai logistik medis seperti oksigen, alat pengaman diri (APD) beserta obat-obatan yang diperlukan. Bed Occupancy Rate (BOR) rumah sakit untuk pasien covid sudah mencapai >90% di sejumlah daerah. Sementara fasilitas isolasi mandiri (komunal/pribadi) di luar fasyankes yang layak masih sangat terbatas. Keterbatasan fasilitas isolasi mandiri ini menyebabkan banyaknya angka kunjungan ke rumah sakit dan menyebabkan rumah sakit tidak mampu menampung dan merawat pasien secara optimal. Banyak pasien harus menunggu di IGD dan bahkan banyak yang tidak bisa mendapat perawatan di rumah sakit karena rumah sakit sudah tidak bisa lagi menerima pasien covid.
Beberapa faktor yang menyebabkan kondisi ini adalah masuknya varian baru virus corona (Alpha, Beta, dan Delta) ke Indonesia dengan tingkat penularan yang sangat tinggi pada saat Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Mikro yang tidak efektif menekan mobilitas warga, baik yang masuk dari luar negeri maupun perpindahan antar daerah. Selain itu ketaatan warga terhadap protokol kesehatan tergolong rendah dan pencapaian vaksinasi Covid-19 masih minim.
Kondisi tersebut diperkirakan akan berlangsung sampai beberapa bulan ke depan, hingga pemberlakukan pembatasan mobilitas masyarakat efektif dilakukan dan angka pasien Covid-19 di fasyankes turun secara berarti.
Sehubungan dengan hal di atas, dan dengan merujuk kepada Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah tanggal 26 Rajab 1441 H / 21 Maret 2020 M yang menjadi Lampiran Edaran Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomor 02/EDR/I.0/E/2020 Tentang Tuntunan Ibadah Dalam Kondisi Darurat Covid-19, dan Fatwa tanggal 03 Zulkaidah 1441 H/24 Juni 2020 M yang menjadi Lampiran Edaran Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomor 06/EDR/I.0/E/2020 Tanggal 03 Zulkaidah 1441 H/24 Juni 2020 M, Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah memandang perlu untuk menetapkan fatwa tentang beberapa hal yang terkait pelaksanaan Salat Iduladha dan Kurban pada tahun 1442 H/2021 M, sebagai berikut:
Pertama: Salat Iduladha:
- Hukum asal pelaksanaan salat Iduladha adalah sunah muakkadah, dan dilaksanakan di lapangan (al-muṣallā).
- Oleh karena kondisi persebaran Covid-19 saat ini sangat tinggi dan cepat serta sangat membahayakan, maka pelaksanaan salat Iduladha tahun 1442 H dilaksanakan di rumah masing-masing.
Kedua: Ibadah Kurban
- Melaksanakan ibadah kurban hukumnya sunah muakkadah.
- Bahwa pada masa pandemi Covid-19 yang saat ini sangat tinggi dan cepat serta sangat membahayakan, di mana banyak orang yang terdampak langsung, baik secara kesehatan, ekonomi dan keuangan, umat Islam pada khususnya dan warga masyarakat pada umumnya dituntut untuk meningkatkan tolong menolong, solidaritas sosial dan mengutamakan membantu mereka yang terdampak langsung oleh musibah ini.
- Bagi yang memiliki keterbatasan dana atau kemampuan keuangan dan hanya mampu melaksanakan salah satu dari keduanya (kurban atau infak) dianjurkan dengan sangat untuk memprioritaskan bantuan kepada mereka yang membutuhkan, sesuai dengan tuntunan hadis-hadis, khususnya hadis hadis riwayat Ibn ‘Umar bahwa orang yang paling dicintai Allah adalah orang yang paling banyak memberi manfaat kepada sesamanya dan bahwa amal yang paling dicintai Allah adalah memberikan kegembiraan kepada, membayarkan utang dari, dan memberikan santunan untuk sesama.
- Dalam kaitan dengan pelaksanaan ibadah kurban, bagi mereka yang memiliki kemampuan dana (keuangan) untuk melaksanakan ibadah kurban sekaligus melakukan infak guna membantu mereka yang membutuhkan, hendaknya melaksanakan keduanya (kurban dan infak) dengan ikhlas.
Ketiga: Tuntunan Teknis Penyembelihan Kurban
- Disalurkan melalui Lazismu supaya dapat ditasarufkan (didistribusikan) secara lebih luas ke banyak tempat.
- Dilakukan di Rumah Potong Hewan (RPH) dengan penerapan protokol kesehatan yang ketat.
- Apabila tidak dapat dilakukan di Rumah Potong Hewan (RPH), maka dapat dilakukan oleh panitia kegiatan kurban dengan penerapan protokol kesehatan yang ketat seperti pembatasan jumlah panitia yang terlibat, pembatasan jumlah hewan kurban yang akan disembelih, pengaturan atau pembagian waktu penyembelihan (tidak sekaligus), pembagian tempat pelaksanaan di beberapa lokasi dan pendistribusian daging kurban langsung disampaikan ke rumah-rumah serta aturan lainnya sesuai protokol kesehatan yang berlaku, misalnya mengukur suhu tubuh, memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, menyemprotkan disinfektan dan lain-lain yang perlu.
- Khusus untuk hewan kurban yang kecil seperti kambing atau domba, jika mampu penyembelihan dapat dilakukan di rumah masing-masing oleh pekurban.
Ketetapan tersebut dilandaskan pada dalil-dalil syariah sebagai berikut:
A. Dalil-dalil Terkait Pelaksanaan Salat Iduladha:
- Hukum salat ‘Idain (Idulfitri dan Iduladha) adalah sunah muakkadah, karena salat yang wajib itu hanya salat lima waktu, berdasarkan hadis berikut,
عَنْ طَلْحَةَ بْنِ عُبَيْدِ اللهِ قاَلَ جاَءَ رَجُلٌ إِلىَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا هُوَ يَسْأَلُهُ عَنِ اْلإِسْلاَمِ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلمَ خَمْسُ صَلَوَاتٍ فِي الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ فَقَالَ هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهاَ؟ قَالَ لاَ إِلاَّ أَنْ تَطَّوَّعَ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَصِيَامَ رَمَضَانَ قَالَ هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهُ؟ قَالَ لاَ إِلاَّ أَنْ تَطَّوَّعَ قَالَ وَذَكَرَ لَهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الزَّكاَةَ قاَلَ هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهَا قَالَ لاَ إِلاَّ أَنْ تَطَّوَّعَ فَأَدْبَرَ الرَّجُلُ وَهُوَ يَقُولُ وَاللهِ لاَ أَزِيدُ عَلَى هَذَا وَلاَ أَنْقُصُ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَفْلَحَ إِنْ صَدَقَ [رواه البخاري ومسلم ومالك وأبو داود والنسائي].
Dari Ṭalḥah Ibn ‘Ubaidillāh (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah saw lalu serta merta bertanya kepada beliau tentang Islam. Lalu Rasulullah saw menjawab: Lima salat diwajibkan sehari semalam. Ia bertanya lagi: apakah ada kewajiban (salat) lainnya? Rasulullah saw menjawab: Tidak, kecuali salat-salat tatawuk (sunah). Rasulullah saw kemudian meneruskan: Juga diwajibkan puasa Ramadan. Lalu ia bertanya lagi: apa ada kewajiban (puasa) lainnya? Rasulullah menjawab: Tidak, kecuali puasa tatawuk (sunah). (Abū Ṭalḥah melanjutkan): Lalu Rasulullah menyebutkan kewajiban (membayar) zakat. Orang itu bertanya lagi: apa ada kewajiban (pembayaran) lainnya? Rasulullah saw menjawab: Tidak, kecuali (infak) tatawuk (sunah). Lalu laki-laki itu pergi sambil berkata: Demi Allah saya tidak akan tambahi dan kurangi ini. Kemudian Rasulullah saw berkata: Orang itu beruntung, jika dia benar [HR al-Bukhārī, Muslim, Mālik, Abū Dāwūd, dan an-Nasā’ī].
Rasulullah saw tidak pernah meninggalkan salat ‘Idain selama sembilan kali Syawal dan Zulhijah setelah disyariatkannya, tetapi juga tidak adanya sanksi hukum atas tidak mengerjakannya. Oleh karena itu, dari sini disimpulkan hukumnya sunah muakkadah.
- Salat ‘Idain dikerjakan di lapangan dua rakaat, sebelum khutbah, tanpa azan dan tanpa ikamah, serta tidak ada salat sunah sebelum maupun sesudahnya, dasar hukumnya adalah hadis-hadis berikut ini,
Hadis Abū Saʻīd,
عَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ اْلخُدْرِيِّ قاَلَ كاَنَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ اْلفِطْرِ وَاْلأَضْحَى إِلىَ اْلمُصَلَّى فَأَوَّلُ شَيْيءٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلاَةُ ثُمَّ يَنْصَرِفُ فَيَقُوْمُ مُقاَبِلَ النَّاسِ وَالنَّاسُ جُلُوْسٌ عَلَى صُفُوْفِهِمْ فَيَعِظُهُمْ وَيُوْصِيْهِمْ وَيَأْمُرُهُمْ [رواه البخاري].
Dari Abū Saʻīd al-Khudrī r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw keluar ke lapangan tempat salat (muṣallā) pada hari Idulfitri dan Iduladha, lalu hal pertama yang dilakukannya adalah salat, kemudian ia berangkat dan berdiri menghadap jamaah, sementara jamaah tetap duduk pada saf masing-masing, lalu Rasulullah menyampaikan wejangan, pesan, dan beberapa perintah … [HR al-Bukhārī].
Hadis Aḥmad dan an-Nasā’ī,
عَنْ جَابِرٍ قَالَ شَهِدْتُ الصَّلَاةَ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي يَوْمِ عِيدٍ فَبَدَأَ بِالصَّلَاةِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلَا إِقَامَةٍ [حديث صحيح رواه أحمد والنسائي].
Dari Jābir (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Saya mengikuti salat bersama Rasulullah di suatu hari Id. Beliau memulai salat sebelum khutbah, tanpa azan dan tanpa ikamah [Hadis sahih, riwayat Aḥmad dan an-Nasā’ī].
Hadis Ibn ‘Abbās,
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ اَلنَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى يَوْمَ اَلْعِيدِ رَكْعَتَيْنِ لَمْ يُصَلِّ قَبْلَهَا وَلَا بَعْدَهَا [رواه السبعة واللفظ للبخاري].
Dari Ibn ‘Abbās (diriwayatkan bahwa) Nabi saw salat Id pada hari Id dua rakaat tanpa melakukan salat lain sebelum dan sesudahnya [HR tujuh ahli hadis, dan lafal di atas adalah lafal al-Bukhārī].
- Bahwa salat Iduladha dapat dilaksanakan di rumah karena adanya masyaqqah untuk dilaksanakan di lapangan didasarkan kepada,
- Nilai dasar ajaran Islam tentang perwujudan maslahat yang mengharuskan pelaksanaan perlindungan lima kepentingan pokok di antaranya adalah perlindungan jiwa (ḥifẓ an-nafs) dan dalam mewujudkan ḥifẓ an-nafs itu pelaksanaan salat Iduladha dalam kondisi Covid-19 sekarang ini dilakukan di rumah masing-masing.
- Asas bahwa pelaksaan ajaran Islam tidak boleh menimbulkan mudarat dan dalam pelaksanaannya diberi kemudahan sebagaimana ditegaskan dalam beberapa kaidah fikih. Berdasarkan kaidah tersebut untuk menghindari mudarat penularan Covid-19, maka salat di lapangan yang melibatkan kumpulan banyak orang harus dihindari, sehingga karenanya salat Iduladha dikerjakan di rumah. Kaidah dimaksud adalah:
- لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ (Tidak ada kemudaratan dan pemudaratan) [As-Sadlān, al-Qawāʻid al-Fiqhiyyah al-Kubrā, h. 493; kaidah ini berasal dari HR Ahmad dan Malik].
- الضَّرَرُ يُزَالُ (Kemudaratan harus dihilangkan) [Al-Asybāh wa an-Naẓā’ir, as-Suyūṭī, I: 3, al-Subki, I: 47, Ibnu Nujaim, I: 72].
- دَرْءُ الْمَفَاسِدِ أَوْلَى مِنْ جَلْبِ الْمَصَالِحِ (Mencegah mudarat lebih diutamakan daripada mendatangkan maslahat) [Al–Asybāh wa an-Nazā’ir oleh as-Sayūṭī, I: 105, 455].
- اْلأَمْرُ اِذَا ضَاقَ اتَّسَعَ وَاِذَا اتَّسَعَ ضَاَقَ (Segala sesuatu, jika sempit maka menjadi luas, dan jika (kembali) luas maka menjadi sempit [Al-Asybāh wa an-Naẓā’ir, Ibnu Nujaim, I: 72].
- المشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرُ (Kesukaran dapat mendatangkan kemudahan) [Al-Asybāh wa an-Naẓā’ir, as-Suyūṭī, I: 76, al-Subki, I: 44].
- Hadis Nabi saw, هَذاَ عِيْدُناَ أَهْلَ اْلإِسْلاَمِ (‘Ini adalah hari raya kita, pemeluk Islam’) sebagaimana disebutkan oleh al-Bukhārī. Meskipun sabab al-wurūd hadis ini adalah masalah menyanyi di hari raya, namun al-Bukhārī memegangi keumuman hadis ini, bahwa hari Id itu adalah hari raya umat Islam yang dirayakan dengan salat Id, sehingga orang yang tidak dapat mengerjakannya sebagai mana mestinya, yaitu di lapangan, dapat mengerjakannya di rumahnya. Hadis ini diriwayatkan oleh al-Bukhārī dengan lafal sedikit berbeda pada dua tempat lain, yaitu hadis nomor 909 dan 3716 dalam Ṣaḥīḥ-nya. Al-Bukhārī menyebutkan bahwa Sahabat Anas Ibn Mālik mempraktikkan seperti ini di mana ia memerintahkan keluarganya untuk ikut bersamanya salat Id di rumah mereka di az-Zāwiyah (kampung jauh di luar kota). Ibn Rajab (w. 795/1393) dalam kitab syarahnya terhadap al-Bukhārī, yaitu Fatḥ al-Bārī Syarḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, menyatakan bahwa salat Id di rumah itu dianut oleh para ulama terkemuka seperti Ibrāhīm an-Nakhaʻī (w. 96/715), Mujāhid (w.102/721), ‘Ikrimah (w. 107/725), al-Ḥasan al-Baṣrī (w. 110/728), Ibn Sīrīn (w. 110/729), ‘Aṭā’ (w. 114/732), Abū Ḥanīfah (w. 150/767), al-Auzaʻī (w. 157/774), al-Laiṣ (w. 175/791), Mālik (w. 179/795), asy-Syāfiʻī (w. 204/820), dan Imam Aḥmad (w. 241/855) [Ibn Rajab, Fatḥ al-Bārī Syarḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, IX: 75, bab 25].
- Suatu pertimbangan bahwa tidak pernahnya Nabi saw mengerjakan salat Id (baik Idulfitri maupun Iduladha) di rumah bukanlah sunah tarkiah karena memang tidak ada keperluannya untuk mengerjakannya di rumah pada zaman Nabi saw, sebab tidak ada musibah yang menghalangi pengerjaannya di lapangan. Karena tidak pernahnya Nabi saw mengerjakan salat Id di lapangan bukan sunah tarkiah, maka dibolehkan mengerjakannya di rumah.
- Pelaksanaan salat Iduladha di rumah tidak membuat suatu jenis ibadah baru. Salat Iduladha ditetapkan oleh Nabi saw melalui sunahnya. Salat Iduladha yang dikerjakan di rumah adalah seperti salat yang ditetapkan dalam sunah Nabi saw. Hanya tempatnya dialihkan ke rumah karena pelaksanaan di tempat yang semestinya, yaitu di lapangan yang melibatkan konsentrasi orang banyak, tidak dapat dilakukan. Juga tidak dialihkan ke masjid karena halangannya adalah ketidakmungkinan berkumpulnya orang banyak di suatu tempat. Oleh karena terhalang di tempat yang semestinya, yakni di lapangan, maka dialihkan ke tempat di mana mungkin dilakukan, yakni di rumah.
- Dengan meniadakan salat Iduladha di lapangan maupun di masjid karena adanya ancaman Covid-19 tidaklah berarti mengurang-ngurangi agama. Ketika dibolehkan salat Iduladha di rumah bagi yang menghendakinya, pertimbangannya adalah melaksanakannya dengan cara lain yang tidak biasa, yaitu dilaksanakan di rumah, karena dituntut oleh keadaan di satu sisi, dan di sisi lain dalam rangka mengamalkan bagian lain dari petunjuk agama itu sendiri, yaitu agar selalu memperhatikan riʻāyat al-maṣāliḥ, perwujudan kemaslahatan manusia, berupa perlindungan diri, agama, akal, keluarga, dan harta benda dan menjaga agar tidak menimbulkan mudarat kepada diri dan orang lain. Bahkan sebaliknya, tidak ada ancaman agama atas orang yang tidak melaksanakannya, karena salat Id adalah ibadah sunah. Dalam pandangan Islam, perlidungan diri (jiwa dan raga) sangat penting sebagaimana Allah menegaskan dalam Al-Qur’an, yang artinya “Barangsiapa mempertahankan hidup satu manusia, seolah ia memberi hidup kepada semua manusia” [QS al-Māidah (5): 32]. Menghindari berkumpul dalam jumlah banyak adalah upaya untuk memutus rantai pandemi Covid-19 dan berarti pula upaya menghindarkan orang banyak dari paparan virus korona yang sangat mengancam jiwa ini. Semoga Allah senantiasa melindungi umat Islam dan bangsa Indonesia dari segala bahaya serta selalu dalam limpahan rahmat dan karunia-Nya.
B. Dalil-dalil Terkait Pelaksanaan Ibadah Kurban (Uḍḥiyyah) di Masa Pandemi
Terkait dengan penyelenggaraan ibadah kurban pada saat penularan Covid-19 terus mengalami peningkatan yang signifikan, maka Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah menuntunkan sebagai berikut:
- Hukum ibadah kurban adalah sunah muakkadah berdasarkan beberapa hadis berikut,
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَال إِذَا دَخَلَتِ الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّىَ فَلاَ يَمَسَّ مِنْ شَعَرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا [رواه مسلم].
Dari Ummu Salamah (diriwayatkan), bahwasanya Nabi saw bersabda: Apabila telah masuk hari kesepuluh (bulan Zulhijah), dan salah seorang darimu ingin berkurban, maka ia tidak memotong rambut dan kukunya [HR Muslim].
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ ثَلاَثٌ هُنَّ عَلَىَّ فَرَائِضُ وَهُنَّ لَكُمْ تَطَوُّعٌ الْوِتْرُ وَالنَّحْرُ وَصَلاَةُ الضُّحَى [رواه أحمد].
Dari Ibn ‘Abbās (diriwayatkan) ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: Ada tiga hal yang wajib untukku dan sunah untukmu yakni salat witir, menyembelih kurban dan salat duha [HR Aḥmad].
عَنْ عَمْرِو بْنِ أَبِي عَمْرٍو أَخْبَرَنِي مَوْلَايَ الْمُطَّلِبُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ حَنْطَبٍ أَنَّ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ صَلَّيْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِيْدَ اْلأَضْحَى فَلَمَّا انْصَرَفَ أَتَى بِكَبْشٍ فَذَبَحَهُ فَقَالَ بِسْمِ اللهِ وَاللهُ أَكْبَرُ اَللّهُمَّ هَذَا عَنِّى وَعَمَّنْ لَمْ يُضَحِّ مِنْ أُمَّتِى [رواه أحمد وأبو داود والترمذى].
Dari Ibn Umar bin Abī Amr (diriwayatkan), telah memberitahukan kepadaku pelayan al-Muṭallib bin Abdillah bin Ḥanṭab bahwa Jābir bin ‘Abdillāh berkata:Saya salat Iduladha bersama Rasulullah saw, kemudian setelah selesai, kepada beliau diberikan seekor kibasy (kambing yang besar) lalu beliau menyembelihnya seraya berdoa: Bismillāhi wallāhu akbar, Allāhumma hāżā ‘annīy wa ‘an man lam yuḍaḥḥi min ummatīy (Dengan menyebut nama Allah, Allah Maha Besar, Wahai Allah, ini dariku dan dari orang yang tidak berkurban dari umatku) [HR Aḥmad, Abu Dāwūd, dan at-Tirmiżī].
- Mengutamakan membantu orang-orang yang terdampak langsung oleh Covid-19 di mana mereka mengalami kesulitan dan tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya yang pokok dari pada melaksanakan kurban didasarkan kepada nilai-nilai dasar dan asas-asas syariah sebagai berikut:
a. Nilai dasar al-mā‘ūn yang mengharuskan menyantuni orang dalam kesulitan seperti orang miskin dan lain-lainnya.
أَرَءَيۡتَ ٱلَّذِي يُكَذِّبُ بِٱلدِّينِ (1) فَذَٰلِكَ ٱلَّذِي يَدُعُّ ٱلۡيَتِيمَ (2) وَلَا يَحُضُّ عَلَىٰ طَعَامِ ٱلۡمِسۡكِينِ (3) [الماعون، 107: 1 – 3].
Tahukah engkau orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak mendorong memberi makan orang miskin [QS al-Mā’ūn (107): 1-3].
b. Nilai dasar saling membantu (at-taʻāwun), sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an,
وَتَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡبِرِّ وَٱلتَّقۡوَىٰۖ وَلَا تَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡإِثۡمِ وَٱلۡعُدۡوَٰنِۚ [المائدة، 5: 2].
Tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan takwa dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan [QS al-Māidah (5): 2]
c. Nilai dasar solidaritas sosial, sebagaimana ditegaskan dalam hadis-hadis Nabi saw,
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَاللَّهُ فِى عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِى عَوْنِ أَخِيهِ [رواه مسلم].
Dari Abū Hurairah (diriwayatkan) ia berkata: Rasulullah saw bersabda, barangsiapa membebaskan seorang mukmin dari suatu kesengsaraan dunia, maka Allah akan membebaskannya dari suatu kesengsaraan hari kiamat, dan barangsiapa yang memberi kemudahan kepada orang yang sedang mengalami kesukaran, maka Allah akan memberi kemudahan kepadanya di dunia dan di akhirat, dan barangsiapa yang menutupi (aib) seorang muslim, maka Allah akan menutupi (aibnya) di dunia dan di akhirat. Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba itu menolong sesamanya … [HR Muslim].
عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِى تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى [رواه مسلم].
Dari an-Nu‘mān ibn Basyīr (diriwayatkan), ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Perumpamaan orang–orang mukmin dalam sikap saling mencintai, mengasihi, dan menyayangi bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuhnya akan ikut merasakan sakitnya baik terjaga (tidak bisa tidur) dan demam [HR Muslim].
عَنْ أَبِى مُوسَى عَنِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الْمُؤْمِنَ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا [رواه البخاري].
Dari Abū Mūsā, dari Nabi saw (diriwayatkan bahwa) beliau bersabda: Sesungguhnya seorang mukmin dengan mukmin lainnya seperti sebuah bangunan yang satu dengan lainnya saling menguatkan [HR al-Bukhārī].
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ سُئِلَ رَسُوْلُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الأَعْمَالِ أَفْضَلُ؟ قَالَ أَنْ تُدْخِلَ عَلىَ أَخِيْكَ اْلُمسْلِمِ سُرُوْرًا أوْ تَقْضِيَ عَنْهُ دَيْنًا أوْ تُطْعِمَهُ خُبْزًا [رواه البيهقي].
Dari Abū Hurairah (diriwayatkan) ia berkata: Rasulullah saw ditanya tentang amal apakah yang paling utama? Beliau menjawab: Memasukkan rasa gembira kepada saudara muslim atau membantu menyelesaikan utangnya, memberinya roti atau makanan [HR al-Baihaqī, dalam kitab Syu‘ab al-Imān].
عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَجُلًا جَاءَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ أَيُّ النَّاسِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ وَأَيُّ الأَعْمَالِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَبُّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ أَنْفَعَهُمْ لِلنَّاسِ، وَأَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ سُرُورٍ تُدْخِلُهُ عَلَى مُسْلِمٍ، أَوْ تَكْشِفُ عَنْهُ كُرْبَةً، أَوْ تَقْضِي عَنْهُ دِينًا، أَوْ تُطْرَدُ عَنْهُ جُوعًا، وَلأَنْ أَمْشِيَ مَعَ أَخٍ لِي فِي حَاجَةٍ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَعْتَكِفَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ يَعْنِي مَسْجِدَ الْمَدِينَةِ شَهْرًا، وَمَنْ كَفَّ غَضَبَهُ سَتَرَ اللَّهُ عَوْرَتَهُ، وَمَنْ كَظَمَ غَيْظَهُ، وَلَوْ شَاءَ أَنْ يُمْضِيَهُ أَمْضَاهُ، مَلأَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ قَلْبَهُ أَمْنًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ مَشَى مَعَ أَخِيهِ فِي حَاجَةٍ حَتَّى أَثْبَتَهَا لَهُ، أَثْبَتَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ قَدَمَهُ عَلَى الصِّرَاطِ يَوْمَ تَزِلُّ فِيهِ الأَقْدَامُ [رواه الطبرني].
Dari Ibn Umar (diriwayatkan) ada seorang lelaki datang kepada Rasulullah lalu ia berkata: Siapakah manusia yang paling dicintai Allah dan amal apakah yang disukai Allah? Rasulullah saw menjawab: sebaik-baik manusia di hadapan Allah adalah yang memberikan manfaat bagi manusia lainya, dan seutama-utama amal di sisi Allah adalah memberikan rasa gembira kepada seorang muslim, membebaskan dari kesulitan, membantu menyelesaikan utangnya, menghilangkan rasa lapar darinya, seseorang yang berjalan untuk membantu saudaranya dalam suatu keperluan lebih Aku cintai dari ia beriktikaf di masjid ini yakni masjid Madinah selama satu bulan. Barangsiapa yang menahan dari murkanya maka Allah akan menutupi aibnya dan barangsiapa yang menahan marahnya sekali pun mampu untuk memperpanjang marahnya maka Allah akan memasukkan rasa aman ke dalam hatinya pada hari kiamat. Barangsiapa yang berjalan bersama saudaranya dalam membantu suatu keperluan hingga tetaplah baginya maka Allah akan menetapkan langkahnya menuju kepada jalan yang pada suatu hari yang ia akan berjalan padanya [HR aṭ-Ṭabrānī].
d. Berdasarkan kaidah fikih,
اَلْأَهَمُّ مُقَدَّمٌ مِنَ اْلُمهِمِّ.
Yang lebih penting didahulukan dari yang penting [Fakhruddīn ar-Rāzī, Tafsīr al-Fakhr ar-Rāzī (Mafātīh al-Gaib, 31: 55].
e. Berdasar pendekatan irfani dalam pemahaman dan pelaksanaan agama yang menuntut penajaman kepekaan nurani untuk menyadari mana amalan-amalan agama yang harus didahulukan dalam konteks tertentu, sehingga pengamalan agama itu tidak sekedar bersifat lahiriah tanpa mendalami substansi dan makna yang terkandung di baliknya. Dalam kondisi pandemi Covid-19 yang sangat mengkhawatirkan sekarang di mana banyak warga masyarakat yang terdampak langsung, baik secara kesehatan, ekonomi dan keuangan, sehingga mengalami kesulitan dan ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasarnya, maka penyaluran dana untuk infak kepada mereka yang terdampak tersebut dipandang lebih penting dan merupakan amal yang lebih utama seperti dikatakan dalam hadis yang dikutip di atas bahwa amal yang paling afdal adalah membebaskan saudaramu dari kelaparan.
Yogyakarta, 17 Zulkaidah 1442 H/28 Juni 2021 M
Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah,
Ketua, Sekretaris,
Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, M.A. Drs. Mohammad Mas’udi, M.Ag.
Download Selengkapnya Edaran PP Muhammadiyah Imbauan Perhatian Covid-19 dan Persiapan Iduladha 1442-2021