Asy-Syakur, Allah Yang Maha Menghargai
Asy-Syakur adalah salah satu sifat Allah atau Asma’ al-Husna. Asy-Syakur artinya Yang Maha Menghargai atau Yang Maha Menerima Syukur. Jika ada istilah abdan syakur, sebagaimana gelar yang diberikan kepada Nabi Musa dan Nabi Nuh, maka itu berarti hamba yang bersyukur. Dalam bahasa sederhana orang awam adalah orang yang tahu berterima kasih atau orang yang bisa menghargai pemberina orang lain. Lalu, apakah Allah mengucapkan terima kasih kepada manusia? Bukankah Allah tidak membutuhkan ketaatan, rasa syukur dan ketakwaan, apalagi sekedar ucapan terima kasih, dari manusia?
Ungkapan rasa syukur Allah kepada makhluk-Nya berbeda dari manusia. Asy-Syakur, bagi Allah, berarti Allah menerima rasa syukur manusia. Yaitu, Allah menghargai dan memberikan balasan yang berlipat-lipat kepada manusia yang melakukan kebaikan yang sedikit. Dalam kajian kebahasaan, ada istilah tetumbuhan atau hewan Syakur, yaitu tetumbuhan yang tumbuh walau dengan air yang sedikit, atau binatang yang menjadi gemuk dan sehat walau dengan sedikit makanan rumput dan dedaunan.
Kata Syakur dalam Al-Quran disebut sebanyak sepuluh kali. Beberapa di antaranya menunjukkan nama Allah. Dalam QS. Fathir: 34 disebutkan, “Dan mereka berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan duka cita dari kami. Sesungguhnya Tuhan Kami benar-benar Maha Pengampum lagi Maha Mensyukuri.”
Allah yang telah memberikan kenikmatan kepada manusia tanpa batas tidak pernah “sakit hati” atau terhina ketika manusia mengkufuri nikmat-Nya –meski manusia sering menggunakan nikmat-Nya untuk bermaksiat dan menentang ajaran-Nya. Itupun tidak akan mengurangi keagungan dan kemuliaan-Nya. Dalam QS Luqman: 12, “Dan Sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, Yaitu: “Bersyukurlah kepada Allah. dan Barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka Sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.”
Allah Asy-Syakur membalas rasa syukur manusia dengan menambahkan nikmat-Nya lebih banyak kepadanya (QS. Ibrahim: 7). Hanya saja, tambahan nikmat itu seringkali hanya dipahami dengan tambahan uang dan harta kekayaan. Justru kenikmatan yang tak terlihat itu sebenarnya lebih banyak dan besar nilainya dibandingkan dengan harta benda kekayaan.
Asy-Syakur memberi pelajaran bagi kita untuk tidak mudah mengaharapkan imbalan, pamrih dan upah dari manusia dan tidak menyandarkan kebaikan yang kita lakukan kepada upah yang sifatnya sementara saja. Kebaikan semestinya disandarkan kepada upah dan imbalan dari Allah yang kekal di Hari Akhir. Atas dasar keyakinan yang demikian, tujuan akhir yang sesungguhnya dari seluruh kebaikan yang kita lakukan adalah mencari ridha Allah. Kebaikan itu akan menjadi sangat murah jika ditukar dengan hal-hal yang hanya berlaku di dunia. Wallahu a’alam.
Bahrus Surur-Iyunk, penulis buku Agar Imanku Semanis Madu (2017), Kepala Sekolah SMA Muhammadiyah I Sumenep
Sumber: Majalah SM Edisi 14 Tahun 2018