Beretika Muhammadiyah saat Pandemi
Oleh: Dani Yanuar Eka Putra, S.E, A.k
Sudah lebih dari enam belas bulan bangsa Indonesia dan hampir seluruh wilayah belahan bumi mengalami Pandemi. Pandemi begitu menghentak kehidupan yang berdampak pada hampir semua lini kehidupan. Mulai dari Kesehatan, ekonomi, politik, hingga peradaban budaya masyarakat. Tentu kita semua berbahagia jika dampaknya adalah positif, namun justru yang terjadi adalah sebaliknya.
Dalam menghadapi pandemi Muhammadiyah telah melahirkan sikap atau pandangan dalam bentuk maklumat atau edaran. Sikap atau pandangan Muhammadiyah dilahirkan berdasarkan manhaj komprehensif, integratif, dan secara kolektif. Memadukan pendekatan Bayani, Burhani, dan Irfani disertai mengurangi subyektivitas individu dengan cara ijtihad jama’iy. Berpijak pada teks skriptural, mengoptimalkan akal fikiran, serta menggunakan intuisi secara kolektif.
Sebenarnya tak hanya soal Pandemi, Muhammadiyah dalam merespon setiap dinamika zaman selalu berpijak berdasarkan manhaj di atas sebagai identitas gerakan dakwah dan keagamaan. Selain itu, manhaj di atas juga menunjukkan bahwa Muhammadiyah memiliki pemahaman bahwa iman dan ilmu pengetahuan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari spirit menjalankan agama dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah dan suksesi fungsi kekhalifahan menghadirkan kasih sayang bagi semesta alam. Pondasi manhaj tersebut telah diletakkan langsung oleh pendirinya yaitu KH. Ahmad Dahlan pada saat meluruskan arah kiblat. Saat itu KH. Ahmad Dahlan mengintegrasikan nash agama dengan ilmu astronomi.
Sejak awal Pandemi, Muhammadiyah dengan melibatkan para ulama bidang keagamaan dan ulama bidang kesehatan termasuk epidemiolog melakukan musyawarah (pleno) dalam merespon pandemi. Hal ini dilakukan karena pandemi adalah kejadian dan peristiwa darurat luar biasa yang membutuhkan respon cepat. Para Ulama bidang keagamaan dalam hal ini adalah Majelis Tarjih dan ulama bidang kesehatan/epidemiologi yaitu para dokter-dokter Muhammadiyah.
Kolaborasi kedua bidang ulama menyatakan bahwa perintah menjaga keselamatan jiwa memiliki posisi yang sama dengan perintah menjaga agama. Hal tersebut sejalan dengan maqoshid asy-Syari’ah yang telah dirumuskan oleh Imam asy-Syatibi bahwa kelima hal yang harus dijaga adalah bagian yang tak terpisahkan dari tujuan disyariatkan agama ini. Saat Pandemi, jiwa yang terancam akan mengakibatkan terhalangnya proses dakwah yang juga bagian dari melanjutkan perjuangan Rasulullah Saw.
Muhammadiyah selain memiliki kader ulama keagamaan yang mumpuni, Muhammadiyah memiliki stok kader ulama bidang kesehatan yang melimpah. Sebelum negeri ini memiliki rumah sakit, Muhammadiyah telah memiliki layanan kesehatan yang diberi nama PKO dengan seorang inisiatornya bernama Kyai Sudjak. Bahkan jumlah layanan kesehatannya saat ini telah mencapai 364 layanan kesehatan sebagaimana dikutip dari PSDM bulan Desember tahun 2020.
Didasarkan atas pandangan di atas Muhammadiyah telah melahirkan sikap dalam bentuk edaran/maklumat sebagaimana disebutkan di atas. Harapannya erdaran atau maklumat menjadi rujukan dan panduan bagi warga persyarikatan ditengah kebimbangan atau kebingungan saat pandemi. Edaran memuat tentang berbagai norma yang harus dijalankan saat pandemi. Mulai etika dalam praktek peribadatan, sampai dengan panduang menggerakkan organisasi. Keseluruhan dari norma tersebut bertujuan agar keselamatan jiwa dan keimanan tetap terjaga meski saat pandemi.
Hingga saat ini Muhammadiyah masih konsisten. Konsistensi Muhammadiyah begitu terlihat hingga bulan keenam belas yang ditunjukkan dengan ketauladanan dari para Imamah (Pimpinan Pusat) Muhammadiyah. Pimpinan Pusat Muhammadiyah begitu konsisten untuk menjalankan sepenuhnya apa yang telah mereka lahirkan dalam bentuk maklumat ataupun edaran saat Pandemi.
Kita bisa memperhatikan para pimpinan kita dalam menjalankan roda organisasi. Mereka adalah manusia-manusia yang begitu tulus dalam memberikan katauladanan. Misalkan dalam kegiatan-kegiatan persyarikatan, Muhammadiyah selalu mengoptimalkan teknologi dalam rangka membatasi pertemuan secara langsung. Bahkan beberapa dari mereka menjelaskan dan langsung menjadi tauladan tentang pentingnya masjid dijadikan sebagai pusat ketauladanan dalam perlawanan terhadap pandemi.
Lalu bagaimanakah dengan kita, sungguh sangat disayangkan jika seandainya sebagian dari kita sebagai warga persyarikatan lebih senang, percaya, dan meyakini pandangan dari pihak, tokoh, atau golongan lain yang bersebrangan dengan sikap Muhammadiyah. Meski itu menjadi sah sebagai pilihan pribadi, namun dimanakah letak etika organisasi dalam berjamaah. Meskipun secara individu memiliki kebebasan, bukankah sebagai warga Muhammadiyah tetap melekat pada dirinya sampai dia berpindah kepada gerakan lain.
Ada juga sebagian yang berwajah suka memilih dan memilah sikap resmi untuk diikuti. Mana yang cocok menurut dirinya diikuti, mana yang tak cocok maka ditinggali. Seolah berMuhammadiyah layaknya pakaian yang bisa sekehendak pemiliknya untuk digunakan, dilepaskan, atau bahkan ditinggalkan. Sikap tersebut menunjukkan seolah bahwa pandangan pribadi yang penuh dengan subyektivitas lebih hebat dibandingkan dengan ijtihad jama’iy yang telah dilakukan oleh Muhammadiyah.
Selain itu, kita juga telah memahami bahwa Muhammadiyah telah melahirkan begitu banyak etika. Muhammadiyah memandang etika dengan makna seperangkat norma-norma yang telah dilahirkan secara resmi, berpijak pada aqidah, syariah, dan akhlak yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah Al-Maqbulah. Seluruh etika tersebut dilahirkan dengan tujuan untuk memberikan panduan kepada seluruh warga persyarikatan. Mengutip Prof. Haedar, ketaatan pada etika tersebut bertujuan “agar umat Muhammadiyah tidak centang-perenang” dalam gerakannya. Ataupun ungkapan pak AR Fachruddin yang berpesan “dahulukan pandangan resmi Muhammadiyah daripada pandangan pribadi, apalagi dari yang lain”.
Sebagai bagian dari isntrospeksi mari kita tanya pada diri kita masing-masing dimanakah posisi kita di antara jama’ah, Jam’iyyah, dan Imamah dalam konteks Muhammadiyah. Renungkan posisi-posisi tersebut dalam rangka menanamkan etika Muhammadiyah dalam diri kita masing-masing. Merendahkan ego diri kemudian melebur untuk berkomitmen pada norma Muhammadiyah adalah spirit dari etika Muhammadiyah.
Akhirnya, sebagai warga persyarikatan, mari kita upayakan dengan gigih dan sekuat tenaga untuk menjalankan dan menularkan seluruh arahan, edaran, dan kebijakan Muhammadiyah. Yakini bahwa hal tersebut sebagai bagian dari perintah agama yang menyelamatkan kehidupan dunia dan akhirat. Baik dalam aqidah, ibadah, ataupun mu’amalah dunyawiyah. Termasuk dalam merespon Pandemi. Jangan sampai kita termasuk warga persyarikatan yang niretika karena terlalu sering menyelisihi pandangan dan sikap resmi Muhammadiyah. Wallahu a’lam
Dani Yanuar Eka Putra, S.E, A.k, Ketua Bidang Organisasi Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah Kota Depok